Ini sudah sekian kalinya Lusi gemetar ketakutan, menutup diri rapat-rapat di dalam kamar setelah pertemuannya dengan Sean beberapa hari yang lalu.
“Sial! Sial!” gerutunya berulang kali, sambil mencengkeram rambutnya sendiri.
“Aku harus apa? Apa tidak ada jalan keluar?!”
Pikirannya kalut, langkahnya mondar-mandir, napasnya memburu.
Dan tiba-tiba—matanya membelalak.
“Tidak... Tidak!” bisiknya dengan suara parau.
“Sebelum dia menghancurkanku... Aku harus menghancurkannya dulu!”
Keesokan harinya…
Lusi duduk di balik kemudi, kedua tangannya mencengkeram setir erat, matanya tajam mengawasi setiap sudut jalan. Ia sudah bertekad—apa pun caranya, ia harus tahu rahasia siapa sebenarnya Arien dan ada hubungan apa dengan anak kecil( Sean)
“Mama… Tolong bantu aku kali ini…” Bisiknya lirih, seperti putus asa.
Tak lama kemudian, suara mesin menggeram dari arah gedung US. Sebuah mobil hitam mengilap meluncur keluar perlahan.
Jantung Lusi berdegup kencang.
Dengan cepat, ia menyalakan mobilnya. Ban berdecit pelan, lalu kendaraan tuanya meluncur mengikuti dari kejauhan.
Ia menjaga jarak. Tidak terlalu dekat agar tidak ketahuan, tapi juga tidak boleh kehilangan jejak.
Di kaca spion, mata Yuta fokus pada jalan, sama sekali tak menyadari kalau ada sosok penuh rahasia yang menempel di belakangnya.
“Ke mana kau akan pergi, Yuta…?” gumam Lusi, menggertakkan giginya.
Udara di dalam mobil terasa sesak. Peluh menetes di keningnya, tangannya berulang kali mengusap setir yang mulai licin karena keringat. Tapi ia tak peduli.
Hanya satu tujuan di kepalanya—mengungkap siapa sebenarnya Arien, dan apa kaitannya dengan Sean.
Mobil hitam itu berbelok ke arah jalan besar.
Lusi menelan ludah, menyalakan lampu sein, dan dengan hati-hati mengikuti langkah takdir yang sedang membawanya semakin dekat ke jawaban.
Namun, wanita itu hanya bisa menatap dalam diam, melihat betapa manisnya hubungan antara kakak dan adik itu.
Yuta… Dan Ghali?!
Tak biasanya Yuta menjemput Ghali sendiri. Dan ini… ini pertama kalinya Lusi bisa melihat sosok Ghali dari dekat.
Wajahnya tampan, bola matanya merah, rambutnya kemerahan—rusak, kusam, seolah terlalu sering terbakar oleh sinar matahari.
“Dia sama sekali tidak mirip dengan Yuta…” Batin Lusi.
Mobil hitam itu kemudian melaju perlahan meninggalkan gerbang JTI 2.
Lusi yang membuntuti dari belakang mulai resah.
Kenapa pelan sekali?
Apakah Yuta sadar aku mengikutinya…?
Dengan panik, ia segera mengurangi kecepatan, membiarkan beberapa mobil lain menyalip dan masuk di antara dirinya dan mobil Yuta.
Tangannya gemetar di setir, napasnya berat. Ia berdoa keras dalam hati agar penyamarannya tidak terbongkar.
Namun, saat ia mulai kehilangan jejak, tiba-tiba—
BRAKKK!
Rangkaian mobil di depannya mengerem mendadak!
Ban mobil Lusi berdecit keras, hampir saja ia menabrak bagian belakang mobil di depannya.
“Aish! Astaga!!” teriaknya panik, tubuhnya terhentak ke depan lalu kembali ke sandaran.
Suara klakson bersahut-sahutan. Beberapa pengendara keluar dari mobil mereka, memeriksa apa yang terjadi. Jalan menjadi kacau, penuh kerumunan.
Dan di tengah kekacauan itu—
Lusi sempat melihat sekilas mobil hitam Yuta.
Dengan cepat mobil itu melaju kencang, dan menghilang dari kerumunan.
Mata Lusi melebar.
“Tidak… Jangan! Jangan sampai aku kehilangan mereka!”
Tangannya mencengkeram setir dengan kuat, keringat menetes di pelipisnya.
Ia buru-buru menyalakan klakson, mencoba melewati kerumunan
Aku yang gugup mulai menancapkan gas, jantung berdegup kencang. Setelah beberapa menit penuh rasa panik, akhirnya—
Mobil Yuta kembali terlihat di ujung jalan.
Aku menarik napas lega. Syukurlah… Belum hilang.
Dari balik kemudi, mataku terus mengawasi setiap gerakan mereka. Mobil itu berhenti di depan sebuah rumah tua.
Yuta turun lebih dulu, lalu Ghali menyusul dengan langkah pelan, seolah ragu.
Apakah ini rumah Arien?
Atau… Rumah Sean?
Pikiranku hanya tertuju dengan dua nama itu.
Dari kejauhan, aku melihat seorang wanita keluar dari rumah itu.