Arien El Luis.
Nama itu sering kali terlintas di kepalaku tanpa permisi.
Siswi cantik dengan tubuh tinggi semampai, wajah bulat yang memancarkan keceriaan, dan senyum manis yang entah kenapa selalu terasa menular. Suaranya… Bahkan tawa ringannya mampu membuat siapa pun ikut terhanyut.
Walaupun kami berada di kelas yang sama, aku belum pernah benar-benar berbicara dengannya. Tidak ada sapaan, tidak ada percakapan ringan—seolah ada jarak tak kasatmata yang memisahkan kami.
Sebenarnya, aku sudah lama menyimpan perasaan ini. Sejak kelas 1 SMA, entah bagaimana aku mulai jatuh cinta pada Arien. Ia tampak begitu hidup saat berada di lapangan voli—berlari, melompat, dan berteriak penuh semangat. Tatapan matanya berbinar setiap kali berhasil mencetak angka. Ia kuat, lincah, dan penuh ambisi untuk mengalahkan lawannya.
Namun segalanya berubah ketika kami naik ke kelas 2. Arien tiba-tiba murung, lesu, dan memilih keluar dari tim volinya. Aku kesal—padahal sebentar lagi sekolah kami berkesempatan meraih banyak pujian, bahkan nama JTI 2 bisa saja dilirik oleh sekolah-sekolah besar. Tapi semua itu seolah ia hancurkan sendiri.
Sejak memiliki pacar, Arien berubah. Ia jadi acuh, tak lagi bersinar seperti dulu, dan lebih sering menghabiskan waktunya dengan tidur di kelas. Perasaan kagumku pun mulai goyah.
Aku bahkan mencoba mendekati Mey, berharap bisa melupakan perasaan ini—melupakan segala kekaguman dan rasa sukaku pada Arien.
Sayangnya, usahaku melupakan Arien tak pernah benar-benar berhasil. Semenjak Sean datang ke kelas kami, semuanya jadi lebih rumit.
Awalnya aku sangat membencinya. Dia terlihat sok akrab dengan Arien, selalu muncul di sisinya seolah mereka punya ikatan yang dalam. Hatiku panas setiap kali melihat mereka bersama. Tapi, entah bagaimana, perlahan pandanganku terhadap Sean berubah.
Suatu hari, ia mulai bercerita tentang Arien. Kata-katanya sederhana, tapi mampu mengguncang hatiku. Dari Sean aku tahu, Arien memiliki hubungan buruk dengan keluarganya. Ia mulai jenuh dengan pacarnya yang sekarang. Bahkan, ia berencana kembali mengikuti ekstrakurikuler voli—dunia yang dulu membuatnya begitu hidup.
Yang lebih mengejutkan, Sean juga mengatakan bahwa Arien sama sekali tidak tertarik pada Ghali. Saat itu, entah kenapa, sebuah harapan kecil mulai tumbuh di dalam diriku.
Dan satu hal lagi yang membuatku sulit tidur malam itu—Sean mengatakan jika Arien sering menatapku tanpa aku sadari.
Aku gugup, hatiku berdebar tak karuan setiap kali menyebutkan namanya. Jika suatu hari keberanian itu benar-benar datang, aku ingin mengatakan dengan jujur—aku sangat menyukaimu, Arien.
Keesokan harinya, aku bersiap ke sekolah. Suasana ramai seperti biasa, suara langkah kaki dan tawa siswa bersahut-sahutan. Namun, di antara keramaian itu, ada satu hal yang membuat dadaku sesak: wajah Arien tak terlihat di mana pun.
Di kelas pun sama. Kursinya kosong, dan yang ada hanya Arza yang duduk murung.
Terus terang, aku sangat membencinya. Semua orang selalu menatapnya seolah dia adalah pusat dari segala kesempurnaan. Dia tampan, pintar, menarik, dan selalu bersikap ramah kepada siapa pun. Mereka kagum padanya, seolah lupa bahwa Arien-lah yang kucari, bukan dia.
Dan yang lebih membuatku muak adalah sikapnya. Setiap ada yang bertanya, “Di mana Arien? Kenapa dia tidak masuk? Apa yang terjadi dengannya?” Arza hanya terdiam membisu, seolah kata-kata itu tak pantas keluar dari mulutnya.
Aku menatapnya dengan perasaan campur aduk—cemburu, marah, sekaligus kecewa. Dalam hati kecilku aku ingin berteriak: Kalau kau benar-benar sempurna, kenapa kau tak bisa menjaga kakakmu?!
Aku melangkah cepat, dada terasa sesak oleh rasa tak sabar. “Di mana Arien?” suaraku terdengar menekan.
Arza hanya diam, tatapannya dingin.
“Aku tanya, di mana Arien?!” ulangku, kali ini lebih keras.
Dia menoleh, lalu tersenyum sinis—senyum yang membuat darahku mendidih.
“Brengsek!” teriakku. Tinju sudah kugenggam erat, hampir saja melayang ke wajahnya.
Namun teriakan Mey Lili memecah suasana. Bukannya menenangkanku, ia justru mencaciku di depan semua orang, seakan akulah penjahatnya. Padahal aku hanya tak terima diabaikan oleh cecunguk yang gemar menebar pesona murahan.
Kesabaranku pun runtuh. Dalam amarah, tanganku melayang—menamparnya. Mey Lili, wanita yang dulu pernah ku sukai… Kini berdiri sebagai orang yang pernah menolak cintaku mentah-mentah hanya karena Arza.
Kelas mendadak ricuh. Gadis-gadis berlarian mengerubungi Mey, suara mereka bising seperti lebah. Sementara itu, dari belakang, seorang siswa baru yang pendiam menarik lenganku dengan canggung, mencoba membawaku menjauh dari keributan.
“Apa yang kau lakukan, bodoh?!” hardikku, menatapnya dengan kesal.
Dia hanya diam.
Keheningan darinya membuatku semakin jengkel. Aku mendesis lirih, “Ada apa dengan mereka? Apa mereka semua sudah kehilangan mulutnya?”
Di tengah keributan, suara lantang tiba-tiba terdengar menusuk telinga.
“Arien sakit. Dia di rumah sakit,” jawab Arza datar.
Seketika kelas terdiam. Semua mata membelalak, suasana seakan membeku. Tanpa banyak bicara, Arza meraih tasnya lalu melangkah keluar. Tak biasanya ia bertingkah seperti itu—ini pertama kalinya ia meninggalkan jam pelajaran dan memilih pulang lebih awal.
Tatapan penuh tanda tanya langsung beralih padaku. Tidak terkecuali Sean dan pria besar di sampingnya.