Berita kematian Lusi Rani mengguncang seluruh kampus US. Suasana mendadak muram; setiap lorong dipenuhi bisik-bisik, setiap tatapan menyimpan duka dan rasa tak percaya.
Diandra masih terpaku di kursinya—wajahnya pucat, matanya sembab. Ia belum bisa menerima kenyataan bahwa salah satu sahabat terdekatnya harus pergi dengan cara yang begitu tragis.
Diandra terdiam lemas, matanya kosong menatap langit. Ia masih belum bisa menerima kenyataan pahit itu. Salah satu sahabat terbaiknya, orang yang selalu menemaninya belajar dan tertawa bersama, kini sudah tiada. Air mata terus mengalir tanpa henti, membasahi pipinya yang pucat.
Tak hanya dia, Alena, Nella, Giovani, dan Santi Melgi pun larut dalam kesedihan. Mereka berenam dulu begitu dekat, seolah tak terpisahkan. Kini, lingkaran itu hancur—menyisakan ruang kosong yang tak akan pernah terisi lagi.
Dengan suara bergetar, Diandra berlari mencoba berbagi kesedihan dengan Yuta, sosok yang selama ini dijuluki “pangeran kampus” karena ketenangan dan pesonanya. Namun, bukannya memberi penghiburan, Yuta hanya menatapnya sekilas—tatapan dingin tanpa emosi—lalu kembali menunduk menatap layar ponselnya, seolah tak ada yang terjadi.
Amarah dan kecewa berbaur di dada Diandra. Ia mengepalkan tangan, menahan tangis yang semakin pecah.
“Apa kau tak kasihan, Yuta?!” teriaknya dengan suara bergetar. “Lusi baru saja meninggal! Mahasiswi pintar ketiga di kampus kita ini… Dan kau Cuma diam seperti itu?”
Suara Diandra menggema, membuat beberapa mahasiswa di sekitar menoleh.
Ia menatap Yuta tajam, matanya penuh duka dan amarah.
“Yuta…” Ucapnya lebih pelan kali ini, hampir berbisik. “Di mana hati nuranimu?”
Sementara itu, Yuta justru merasa kesal dengan sikap Diandra yang menurutnya berlebihan. Ia tak mengerti mengapa gadis itu terus mengikuti dan menuntut perhatiannya, seolah hanya dirinya yang bisa menenangkan duka yang sedang melanda.
“Yuta! Tunggu dulu!” teriak Diandra sambil berlari mengejarnya di lorong kampus. Suaranya menggema, menarik perhatian beberapa mahasiswa yang lewat.
Yuta berhenti sejenak, menghela napas berat. Ia berbalik, menatap Diandra dengan sorot mata jenuh. “Cukup, Diandra,” ucapnya datar. “Aku tahu kau sedih, tapi berhentilah membuat drama di depan semua orang.”
Air mata Diandra menetes lagi, tangannya bergetar. “Aku hanya… Ingin kau peduli sedikit saja. Lusi juga temanmu, Yuta. Kau bahkan tidak terlihat sedih!”
Namun bukannya menjawab, Yuta justru memalingkan wajahnya. Rahangnya mengeras, menandakan amarah yang berusaha ia tahan.
“Jangan ikut campur urusanku,” katanya dingin sebelum melangkah pergi.
Tindakannya itu membuat Diandra terpaku di tempat. Ia menatap punggung Yuta yang semakin menjauh—dan entah kenapa, rasa kehilangan yang tadi hanya untuk Lusi kini terasa semakin dalam.
Di sisi lain, Daffal dan Tomi hanya bisa saling pandang, menahan rasa kesal sekaligus iba melihat Diandra yang menangis di tengah lorong kampus.
Mereka tahu betul, Yuta memang tak pernah akrab dengan geng-nya Diandra. Tapi tetap saja—bersikap dingin seperti itu di saat semua orang sedang berduka terasa begitu kejam.
“Dia keterlaluan,” gumam Daffal pelan sambil mengepalkan tangan. “Sekalipun dia nggak suka sama mereka, Lusi tetap temannya juga.”
Tomi hanya mengangguk lemah, pandangannya tak lepas dari punggung Yuta yang berjalan menjauh tanpa sedikit pun menoleh.
“Biarin aja,” ucapnya lirih, “cewek itu nggak butuh kata-kata, dia Cuma butuh seseorang yang mengerti rasa sakitnya.”
Namun sebelum Daffal sempat membalas, Yuta lebih dulu membelok ke arah taman belakang kampus. Tanpa pikir panjang, Daffal memutuskan untuk mengikutinya—sementara Tomi masih berdiri mematung di tempat, menatap kosong ke arah Diandra yang kini berjongkok sambil menutupi wajahnya.
Di sisi lain, Yuta yang tampak tenang dan dingin di hadapan semua orang sebenarnya sedang diguncang rasa cemas yang hebat.
Pikirannya terus berputar, menolak percaya pada kenyataan yang ia dengar. Lokasi kecelakaan Lusi Rani... Berada tepat di depan rumah Arien.
Napasnya tertahan. Kedua tangannya mengepal di atas setir.
“Tidak... Ini bukan kebetulan,” gumamnya lirih, matanya menatap kosong ke arah jalanan malam yang mulai basah oleh gerimis.
Bayangan wajah ibu Arien terlintas di benaknya—tatapan aneh wanita itu, nada suaranya yang penuh kemarahan.
“Jangan-jangan... Wanita itu pelakunya?” pikirnya, rahangnya mengeras.
Tanpa pikir panjang, Yuta menyalakan mobil dan melaju keluar dari gedung Sonut dengan kecepatan penuh. Mesin meraung keras menembus keheningan jalan kota.
Sepanjang perjalanan, pikirannya kacau.