Menyelamatkanmu zero(sebelum kelahiran)

Saya seani
Chapter #1

Kehidupan

Anak kecil berusia enam tahun itu berlari dengan riang di bawah sinar mentari sore, tawa cerianya menggema di antara pepohonan. Tubuhnya yang gemuk berguncang lucu setiap kali ia melangkah, sementara pipinya yang chubby dan kemerahan tampak menggemaskan saat ia mencari kakaknya.

Di sisi lain, seorang remaja berusia dua belas tahun berlari tergesa, napasnya memburu. Wajahnya diliputi cemas, matanya liar mencari ke segala arah.

“Sira! Sira… Dimana kamu?!” teriaknya dengan suara bergetar.

Dialah Neali—kakakku. Meski usianya masih belia, ia memikul tanggung jawab sebesar dunia: menjadi kakak, menjadi ibu, sekaligus ayah bagiku. Namanya lembut, nyaris terdengar seperti nama perempuan, dan mungkin memang ayah dan ibu sengaja memberikan nama itu untuknya. Sebab di balik wajah tegar dan langkah kuatnya, hati Neali begitu lembut, ucapannya halus, dan penuh kasih sayang.

Di sisi lain, seorang anak laki-laki sebaya Neali tampak panik. Ia duduk di kursi roda, kedua tangannya bergetar saat mendorong rodanya perlahan di jalan berbatu. Wajahnya pucat, kulitnya seputih salju, seolah darah enggan mengalir di tubuhnya. Tatapannya terus menyapu jalan setapak yang mulai diselimuti kabut senja.

“Sira… Sira…” Suaranya menggema lirih namun putus asa, menembus keheningan sore yang mulai menakutkan. Suara itu seolah bergetar di udara, membawa rasa cemas dan kehilangan yang sulit dijelaskan.

Tak jauh dari sana, Pak Clif berdiri di sampingnya menatap tegas, namun ada kekhawatiran yang terselip di balik kerut wajahnya.

“Sudah malam, ayo kita pulang. Tidak baik untuk kondisimu sekarang Yuka” katanya pada keponakannya dengan nada yang tak bisa dibantah.

Namun anak itu masih menatap lurus ke arah jalan setapak—ke arah tempat di mana nama Sira baru saja memudar bersama angin malam.

“Bagaimana ini, Neali?” ucap Yuka cemas. Suaranya bergetar pelan, matanya menatap ke arah jalan setapak yang mulai gelap. Di sisi lain, ada ketakutan lain yang membayang di hatinya—ketakutan pada Pak Clif.

Sejak kedua orang tuanya tiada, lelaki paruh baya itu lah yang menjaganya, meski kasih sayangnya lebih terasa seperti pengawasan ketat daripada perhatian tulus.

“Pulanglah, Yuka. Biar aku yang mencari Sira,” kata Neali dengan senyum menenangkan, meski hatinya sendiri diliputi kekhawatiran. Ia tahu kondisi Yuka tak sekuat dirinya—terlalu berisiko jika ia terus berada di luar terlalu lama.

Namun belum sempat Yuka menjawab, dari kejauhan terdengar suara langkah kecil berlari.

Sosok mungil muncul di ujung jalan dengan wajah berseri, tangan kecilnya menggenggam sesuatu.

“Kakak!” teriaknya riang. “Lihat! Aku dapat ubi hangat!”

Neali terdiam sejenak—antara lega dan kesal. Ia berjongkok, menatap Sira dengan wajah separuh tersenyum, separuh marah.

“Kau kemana saja, Sira? Kami mencarimu ke mana-mana! Apa kau tahu Yuka dan Pak Clif juga ikut mencarimu?” suaranya bergetar menahan emosi dan kelelahan.

Yuka tersenyum lembut, mencoba menenangkan.

“Sudahlah, Neali. Yang penting Sira sudah ketemu,” ucapnya dengan nada halus seperti biasa.

Namun sebelum suasana bisa mencair, Pak Clif melangkah maju dengan wajah masam.

“Sudah malam. Ayo pulang, Yuka,” katanya dingin. Dengan kasar, ia memutar kursi roda keponakannya, menjauh dari dua anak lusuh yang berdiri di bawah cahaya lampu jalan.

Sebenarnya, sejak Yuka berteman dengan kami, Pak Clif tak pernah menyembunyikan ketidaksukaannya. Ia menganggap kami kotor, pembawa sial—tak pantas bersahabat dengan Yuka, pewaris tunggal keluarga kaya yang hidupnya serba berlebihan.

Yuka menatap kami dengan wajah sedih, bibirnya menahan kata-kata yang ingin keluar.

Akhirnya ia hanya berkata lirih, “Baiklah, Neali… Sira… Aku pamit dulu. Sampai besok, ya.”

Tangannya yang pucat melambai pelan, sementara kursinya berputar menjauh, meninggalkan kami dalam senja yang kian tenggelam.

Sejak kepergian Yuka dan Pak Clif malam itu, kami berdua tak pernah bertemu lagi dengan mereka.

Waktu berjalan lambat, dan dunia seolah melupakan keberadaan kami.

Sampai suatu malam—malam penuh hujan dan petir yang menggelegar di langit kota—sebuah mobil hitam berhenti di depan gubuk reot tempat kami berlindung dari dingin.

Cahaya lampunya menembus tirai hujan, memantul di genangan air yang berkilau redup.

“Pak… Pak Clif!” seru Neali dengan nada cemas.

Sebelum ia sempat melangkah lebih dekat, sosok tinggi besar itu keluar dari mobil dan langsung menarik Neali dengan paksa. Aku terpaku, membeku di tempat, menatap kejadian itu dengan dada berdebar.

Entah apa yang dikatakan pria itu, tapi aku melihat air mata mengalir deras di wajah kakakku—air mata yang tak pernah kulihat sebelumnya.

Sebelum pergi, Neali menatapku dengan senyum getir.

“Sira, tunggu di sini, ya. Kakak cuma ke rumah Yuka sebentar. Kakak janji… Kakak akan segera menjemputmu.”

Aku mengangguk pelan, mencoba menelan perasaan aneh yang menyesak di dada.

Aku melihat mereka berdua masuk ke mobil, dan dalam hitungan detik, mobil hitam itu melaju pergi di tengah hujan lebat—meninggalkan diriku seorang diri dalam gelap dan dingin.

Sehari berlalu. Dua hari.

Seminggu. Sebulan.

Lalu tahun demi tahun datang dan pergi… Tapi mobil itu tak pernah kembali. Begitu pula Neali—Neali El Karch, kakak yang dulu menjadi segalanya bagiku.

Kini, usiaku telah genap lima belas tahun. Aku tumbuh dengan kesepian sebagai teman, bertahan hidup dengan sisa harapan yang nyaris padam.

Namun malam itu, di bawah langit yang sama, aku melihat sesuatu—sebuah mobil hitam, berplat nomor yang sama, terparkir rapi di pinggir jalan.

Dari dalamnya keluar seorang pria berjas hitam, langkahnya cepat, tegas, dan wajahnya… Terlalu akrab untuk kulupakan.

Dialah Clif Han Raya.

Bukan lagi sosok penjaga dingin yang dulu membawa Yuka pergi, tapi kini seorang pengusaha besar—pemilik perusahaan minuman beralkohol yang tengah digemari para pemuda.

Minuman yang—ironisnya—menjadi pelarian banyak orang seperti aku ini.

Aku masih mengingat dengan jelas ucapan Yuka malam itu—suara lembutnya yang penuh semangat ketika ia bercerita tentang cita-citanya.

Katanya, ia dan Pak Clif tengah menjalankan usaha keluarga: penelitian obat-obatan herbal yang dapat melemahkan sel kanker, dan bahkan sedang mengembangkan obat untuk menyembuhkan cerebral palsy.

Aku masih bisa melihat pancaran harapan di matanya waktu itu—hangat, murni, dan begitu tulus.

Namun entah sejak kapan, semua itu berubah.

Usaha yang dulu didirikan atas dasar kasih dan kebaikan kini berganti menjadi bisnis minuman beralkohol. Nama keluarga Yuka yang dulu harum karena kedermawanan kini hanya dikenal lewat botol-botol kaca yang dijual murah di setiap sudut kota.

Hari itu, Pak Clif datang lagi.

Dengan wajah datar dan suara beratnya, ia berkata,

“Neali dan Yuka ingin bertemu denganmu.”

Dunia seolah berhenti berputar sesaat.

Aku menatapnya tak percaya—kata-kata itu menembus hatiku, menyalakan kembali nyala harapan yang telah lama padam.

Akhirnya… Setelah bertahun-tahun menunggu, hari itu tiba juga.

Tanpa pikir panjang, aku segera mengemasi barang-barangku yang tak seberapa: sehelai pakaian lusuh, sepotong kain, dan foto lama kami bertiga yang mulai pudar warnanya. Hatiku berdebar tak karuan, bibirku tak berhenti berdoa semoga semua baik-baik saja.

Namun, saat mataku bertemu dengan tatapan Pak Clif, semangatku perlahan meredup.

Ada sesuatu di sana—pandangan jijik yang tak berusaha ia sembunyikan.

Ia memintaku duduk di belakang mobil, jauh darinya, seperti dulu.

Dalam perjalanan, aku bisa merasakan tatapannya dari kaca spion.

Tatapan yang penuh heran… Seolah ia tak percaya bahwa aku masih hidup.

Tubuhku yang dulu gemuk kini tinggal bayangan—kurus, dengan sedikit otot di lengan akibat bertahun-tahun bertahan hidup sendiri.

Aku bisa merasakan pandangannya menilai, menimbang, seakan aku hanyalah hantu dari masa lalunya yang seharusnya tak pernah kembali.

Namun bagiku, hari itu tetap berarti.

Karena jika benar yang dikatakannya… Aku akan bertemu mereka lagi.

Yuka… Dan kak Neali.

Sesampainya di sana, mataku langsung terbelalak melihat rumah Yuka.

Begitu besar, luas, dan megah—berdiri anggun dengan dua lantai tinggi yang seolah menatapku dari atas. Hujan masih menetes pelan dari atapnya, memantulkan cahaya lampu halaman yang redup.

Pak Clif melangkah lebih dulu, sementara aku mengikutinya dari belakang.

Lihat selengkapnya