Keesokan harinya, aku terbangun dengan jantung berdebar. Rasa penasaran dan harapan bercampur menjadi satu—hari ini, aku akan bertemu Ibu Dewi. Mungkin… Mungkin kali ini dia akan menepati janjinya.
Namun sebelum aku sempat bangkit sepenuhnya, sosok itu sudah berdiri di hadapanku.
Ibu Dewi.
Tatapannya tajam, dingin, tanpa seulas senyum pun di bibirnya.
Tanpa sepatah kata, ia meraih lenganku dengan kasar, menyeretku keluar kamar. Langkahnya cepat, seolah tahu persis ke mana harus membawaku. Hingga akhirnya kami tiba di sebuah ruangan gelap di ujung lorong bawah tanah—tempat di mana semalam aku melihatnya melakukan sesuatu yang… Entah apa.
Sial! Kenapa aku harus membersihkannya?
Wanita itu mendorongku masuk.
“Bersihkan sekarang!” perintahnya singkat.
Aku menoleh, ingin protes—tapi ia langsung mengunciku dari luar.
“Cih! Brengsek!” gumamku geram.
Ruangan itu pengap, lembab, dan bau menyengat menusuk hidung.
Setiap kali aku menyentuh lantai yang basah dan lengket, rasa mual semakin menjadi. Dalam hati, aku memaki berkali-kali—tempat ini menjijikkan.
Beberapa jam berlalu.
Suara langkah kaki mendekat, disusul suara pintu berderit terbuka.
Ibu Dewi berdiri di ambang pintu, menatapku diam.
Aku mendengus pelan, melewatinya tanpa menatap balik.
“Sira!” panggilnya.
Aku tak menoleh. Pikiranku kalut, dadaku sesak.
Aku sudah tak tahan lagi—semua ini bukan untukku.
Pertanyaan tanpa jawaban, janji yang hanya dilanggar… Semuanya membuatku muak.
“Kak Neali, Kak Yuta… Maaf,” bisikku lirih sambil melangkah pergi.
“Aku harus melanjutkan perjalananku.”
Sampai di atas, aku langsung menuju kamar. Tanpa pikir panjang, aku mengemasi semua bajuku ke dalam tas.
Kebetulan rumah sedang sepi—hanya aku dan Ibu Dewi.
Namun baru saja aku menutup resleting tas, suara lantang terdengar dari bawah.
“Mau ke mana kamu, Sira?!”
Ibu Dewi muncul di ambang pintu, wajahnya merah padam menahan amarah.
Sebelum aku sempat menjawab, ia merebut tasku dengan paksa, lalu—plak!—tamparannya mendarat di pipiku.
“Jangan pergi!” bentaknya tajam.
Aku menatapnya dengan mata yang tak bisa menahan emosi.
“Kenapa aku tidak boleh pergi?!”
“Lancang!” suaranya meninggi, matanya berkilat penuh murka. “Berani sekali kau membentak aku!”
Ia menarik napas dalam, lalu menatapku lebih dalam lagi.
“Kau ingin tahu di mana Yuka dan Neali, kan?”
Aku mendengus pelan, menahan air mata yang hampir jatuh.
“Tidak! Itu sudah tidak penting lagi! Aku hanya ingin pulang!”
Tanpa menunggu jawaban, aku berbalik menuju pintu. Tapi begitu gagang pintu kutarik, langkahku terhenti.
Di hadapanku berdiri seorang pria bertubuh besar — Pak Clif.
Mungkin Ibu Dewi telah menyuruhnya pulang lebih cepat.
Belum sempat aku bereaksi, bogem keras mendarat di perutku.
Udara seolah hilang dari paru-paruku, dan air liurku tersemprot keluar.
“Ah—sa... Sakit…” Desisku lirih, tubuhku nyaris ambruk ke lantai.
Aku mencoba melepaskan diri—merangkak, menendang, berusaha lari sejauh mungkin.
Tapi pria itu terus menghajarku tanpa ampun. Setiap pukulannya seperti palu besi menghantam tubuhku.
“Berhenti... Tolong...!” suaraku serak, tapi tak ada belas kasihan di matanya.
Tubuhku akhirnya lemas. Aku terkapar di lantai, napasku tersengal, darah hangat mengalir dari hidung dan mulutku.
Aku hanya bisa pasrah ketika Pak Clif kembali menyeretku—membawaku ke kamar peristirahatannya.
(Atas perintah Ibu Dewi, tentu saja.)
Lantai kamar itu dingin dan berdebu. Bau apek bercampur aroma besi dari darahku sendiri membuat perutku mual.
Tapi mereka berdua... Tidak sedikit pun menunjukkan rasa iba.
Ibu Dewi berdiri di sudut ruangan, menyilangkan tangan, sementara Pak Clif mendekat dengan tatapan tajam.
“Kau ingin tahu di mana Yuka dan Neali. bukan?” katanya, suaranya dalam dan mengancam.
Aku terdiam, hanya mampu menatapnya samar dari balik mata yang mulai membengkak.
Tiba-tiba tangannya yang besar mencengkeram rambutku dengan keras, menarik kepalaku ke atas hingga wajahku terangkat.
Aku meringis menahan sakit, tapi dia memaksa pandanganku ke arah meja di pojok ruangan.
“Lihat baik-baik, Sira.”
Dua kendi kecil terletak berdampingan. Masing-masing bertuliskan nama yang membuat jantungku nyaris berhenti berdetak—
Yuka dan Neali.
Aku membeku. Dunia seakan berhenti berputar.
Suara tawa pelan Ibu Dewi memecah keheningan, dingin dan mengerikan
Awalnya aku tak mengerti.
Dua kendi kecil itu tampak biasa—terbuat dari tanah liat, berdebu, dan sederhana.