Sebenarnya aku sudah terbiasa dengan bualan Key.
Bahkan untuk membuka mulut saja, rasanya aku malas.
“Ayolah, Sira!” keluhnya lagi.
(Entah sudah berapa kali—mungkin empat belas kali ia mengucapkan kalimat yang hampir sama.)
Dua minggu kemudian, saat aku membayar uang rokok seperti biasa, Key hanya diam.
Tidak ada sapaan, tidak juga senyum.
Aku merasa aneh.
Biasanya aku selalu menunduk, tapi kali ini—entah kenapa—aku menatap wajahnya.
Dan saat itu juga, Key tersenyum.
Senyum yang berbeda dari biasanya.
Tiba-tiba ia menarik tangan kananku dengan sangat kuat.
Tubuhku kehilangan keseimbangan dan aku jatuh tepat di hadapannya.
Key membisikkan sesuatu di telingaku—banyak hal, cepat, berdesakan seperti rahasia besar yang selama ini disembunyikan.
Dan setiap kata yang keluar dari bibirnya… Membuatku tercengang.
Setelah semuanya selesai, Key menatapku dan menepuk pipiku pelan.
“Jangan mati, Sira.” Katanya singkat.
Aku terdiam lama. Kata-kata itu terus bergema di kepalaku.
‘Jangan mati... Tapi bagaimana jika ini gagal?’
“Pak Clif pasti akan membunuhku...” Gerutuku lirih.
Pikiran itu berputar-putar, sampai aku tak menyadari kalau Dio sedang menungguku di halaman rumah.
“Apa yang kau pikirkan?” tanyanya tajam.
“Ti... Tidak ada,” jawabku terbata, berusaha menahan gemetar.
Aku melangkah pergi, tapi bisa kurasakan tatapan Dio masih mengikutiku bahkan dari kejauhan.
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.
Namun pikiran itu terus berputar—bagaimana jika aku gagal, dan mati?
Menjelang tengah malam, tepat pukul 23.00, aku melangkah pelan menuju kamar Miriane Renita—Reni, wanita muda berparas cantik, tapi tak memiliki hati nurani.
Aku mengetuk pintu kamarnya beberapa kali.
Awalnya tak ada jawaban, tapi setelah ketukan terakhir yang agak keras, pintu itu terbuka sedikit.
“Apa?” tanyanya ketus, dengan wajah kesal karena diganggu.
Aku tersenyum kecil, berusaha terlihat tenang.
“Apakah tidak ada pekerjaan untukku malam ini, Kak Reni?”
Reni mengerutkan kening, menatapku penuh curiga.
“Hah?” sahutnya sinis. “Kau bercanda?
Reni memutar bola matanya, jelas muak dengan kehadiranku.
Tanpa berkata apa-apa, dia langsung menutup pintu kamarnya.
Namun, dengan sisa tenaga yang kupunya, aku mendorong pintu itu kuat-kuat hingga terbuka paksa.
“Apa yang kau lakukan, bodoh?!” teriaknya keras.
“Ah! Kau ingin dipukul Ayah, ya?!” serunya lagi, bersiap berteriak memanggil Pak Clif.
Tapi sebelum suaranya sempat keluar, aku menutup mulutnya rapat-rapat dengan tangan gemetar.
Tubuhku bergetar, tapi aku mencoba memaksa diriku lebih tenang.
Aku mendekat, menatap matanya yang penuh amarah dan kaget, lalu berbisik pelan di telinganya:
“Jangan panggil siapa pun, Kak Reni... Atau semuanya akan tahu jika kau sedang hamil.”
Reni menatapku tajam, matanya membara penuh amarah.
Dengan cepat ia menepis tanganku dari mulutnya.
“Berani sekali, kau!” bentaknya, lalu mendorongku hingga terjatuh ke lantai.
Suara benturanku cukup keras, membuat punggungku terasa perih.
Aku tersenyum licik, bibirku pecah dan berdarah, tapi itu tak lagi penting.
Reni sekali lagi membeku.
Aku menatap matanya tepat, tak berkedip.
“Apakah Pak Clif akan menyayangi cucunya itu? Atau justru… Akan menghabisinya? Karena… Bayi itu tidak memiliki ayah?”
Reni menggertakkan giginya, wajahnya memerah oleh marah dan takut bercampur jadi satu.
“Berani sekali kau…!”
Tiba-tiba ia mencekik leherku.
Tangannya gemetar—bukan hanya karena marah, tapi karena terpojok.
Aku meronta, napasku tercekik, pandanganku mulai kabur…
Tapi aku masih tersenyum.
“Ada apa ini, Kak Reni…?” bisikku serak.
“Kenapa kau marah padaku? Bukankah seharusnya kau marah pada ibumu sendiri?”
Reni terhenti. Nafasnya terputus. Tangannya masih di leherku, tapi tidak menekan.
“Apa maksudmu?!” bentaknya, suaranya naik setengah oktav—panik.
“Bagaimana bisa kau tidak tahu, Kak Reni?”
Suaraku serak, tapi tegas.
“Ibumu… Dia sering membawa pria asing ke rumah ini.”
Reni diam, matanya bergetar.
“Selain Ibumu, siapa lagi yang mendatangkan orang-orang itu?”
Aku menatapnya tajam.
“Aku? Pak Clif? Dio adikmu?”
Aku menggeleng pelan.
“Kau saja tidak diizinkan membawa teman priamu masuk ke rumah ini.”
Reni mulai menggigit bibirnya — menyangkal, tapi tak punya dasar.
(Aku tahu selama ini memang Reni tak di izinkan untuk berpacaran oleh pak Clif)
“Tidak. Bukan Ibu yang salah!” katanya keras, hampir seperti anak kecil yang ketakutan.
Suara itu pecah. Rapuh.
Tapi aku melanjutkan.
“Lalu siapa?”
“Pria itu! (Anak muda yang pernah Sira lihat di kamar Ibu Dewi)”ucap Reni sangat kesal mengingat kejadian yang membuatnya trauma.
Tangannya langsung melepaskan leherku.
Ia melangkah mundur, wajahnya langsung pucat.
Air mata jatuh begitu saja, tanpa ia sadari.
Dalam sekejap… Dia teringat.
Malam itu.
Suara pintu.
Wajah yang sangat asing.
Bau menyengat di tubuhnya.
“Tidak… Tidak…” Bisiknya.
Tapi kebenaran sudah terlalu dekat.
Lalu, dengan suara pecah penuh kemarahan — “Aku harus membunuhnya.”
Tangannya mengepal.
Entah siapa yang dimaksudnya—
Diriku… Pria itu… Atau anak yang dikandungnya.
Reni menegakkan tubuhnya perlahan, tetapi tatapannya kosong—seperti seseorang yang baru saja ditampar kenyataan yang selama ini ia hindari.
“Apa yang kau pikirkan, Kak Reni?”
Aku mendekat selangkah, bukan dengan rasa takut, tapi dengan keberanian yang lahir dari luka yang terlalu dalam.
“Kenapa kau masih tidak mengerti juga?”
Dia menggeleng kecil, seolah menolak setiap kata, tapi tubuhnya gemetar.
“Jika saja ibumu tidak pernah membawa laki-laki itu datang kemari,” kataku pelan, namun tajam seperti belati.
“Mungkin saja semua ini tidak terjadi. Ayahmu tidak marah-marah setiap hari… Dan adikmu—Dio—tidak akan berkeliaran keluar rumah seperti anak jalanan.”
Reni menelan ludah, napasnya tersengal.
“Kau,” lanjutku, “seharusnya bisa mengajak kekasihmu berkunjung. Dan setelah lulus kuliah, kalian mungkin sudah merencanakan pernikahan.”
Aku menatap langsung ke matanya, memastikan setiap kata masuk ke dalam kepalanya.
“Tapi sekarang?”
Senyum kecil—kejam, nyaris tak terdengar—terbentuk di bibirku.