Prancis, Musim dingin awal 2024.
Setelah Dian menemukan percakapan mesra Essan dan seorang perempuan di aplikasi hijau di pertengahan tahun 2022 lalu, keadaan rumah tangganya tidak lagi seperti sebelumnya. Perdebatan demi perdebatan kerap menyelinap di antara mereka.
Namun, keputusan hari ini bukanlah karena sesuatu yang timbul dalam semalam. Rasa kecewa dan mungkin kerugian yang menumpuk bertahun-tahun telah menggelapkan pikiran yang tak lagi jernih. Seperti air yang terlanjur dilarutkan sesendok kopi tanpa gula, kelam dan pahit.
Tidak ada yang bisa menebak perjalanan hidup seseorang. Bahkan ketika merasa telah melewati segala rintangan, baik kerikil kecil atau badai, semuanya akan kembali normal. Namun sepertinya riak-riak itu tak ayal terus mendobrak benteng pertahanan mereka.
Sepasang kaki dan tangan mungil yang Dian lahirkan dengan penuh perjuangan, ternyata disangka duri. Di ruangan itu, di ruangan hijau yang dingin, terakhir kali Dian menatap mata lelakinya. Lelaki yang hampir sebelas tahun menjadi tempatnya pulang. Dapat dipastikan Dian ataupun Essan tidak akan lagi saling menatap selamanya.
Gerimis tipis di musim dingin berhasil membekukan seluruh aliran darah hingga menusuk belulang. Sekaligus membekukan hati dan harapan ibu satu anak itu. Tidak, ya, tidak ada lagi yang bisa diperjuangkan. Semuanya telah dibekukan amarah. Dalam sejarah, mungkin ini musim dingin paling menyakitkan yang pernah ia lewati.
Tiket sudah dipersiapkan sejak hari putusan dibacakan. Dian menerimanya di atas meja rias kamar. Dua tiket untuk satu kali perjalanan. Artinya tidak ada penerbangan kembali ke sini. Gerimis di mata perempuan itu pun mulai menderas. Satu rengkuhan dari tangan mungil yang kini mulai beranjak remaja cukup memberinya kehangatan.
"Where are we going?" Ucapan yang terlontar dari bibir mungil itu menyentak tubuh Dian yang kaku karena terlalu lama tercenung.
Ia pun makin terisak-isak seraya memeluk tubuh kecil yang saat ini menjadi satu-satunya yang bisa membuatnya nyaman.
"Maafkan Mama, Sayang. Sementara kita tinggal di rumah nenek, ya." Dian menjawab dengan dada masih sesak, tanpa menatap mata mungil di depannya. Tapi Dian tahu lelaki kecil itu mengangguk tanda setuju.
"Are we going to Indonesia?"