Sejak denting-denting di sudut hati kembali bersahutan, saat itulah pesan-pesanmu telah menjadi candu bagiku.
_Dian_
🍂🍂🍂
Sejak pemerintah setempat mengumumkan peringatan pembatasan kegiatan di masa pandemi tahun 2020, semua sendi kehidupan seperti jungkir balik. Dian yang sebelumnya tinggal bersama Essan di negaranya bekerja, terpaksa harus kembali ke tanah air untuk sementara. Mengikuti kebijakan pemerintah setempat.
Kehidupan jarak jauh pun dimulai dengan berbagai drama antara Essan dan Dian. Belum lagi menemukan kepastian tinggal untuk keluarga kecilnya, Dian harus menghadapi ujian berat ini. Berjauhan dengan suami bukan hal yang mudah bagi Dian apalagi ia hanya tinggal dengan putra semata wayangnya, Damara. Rasanya berat, sebab ia sadar akan mengulangi kehidupan keras seperti dulu sebelum menikah. Semuanya harus dikerjakan sendiri, berpikir sendiri, dan menghadapi berbagai kendala sendiri.
Bukan tak mudah, Dian sangat terbiasa dengan hal tersebut. Hanya saja, ia tak sampai hati mengingat Damara masih sangat kecil untuk memahami kondisi ini. Bisa jadi, dalam sembilan tahun terakhir sejak menikah dengan Essan, Dian terlalu dilenakan dalam kemanjaan sang suami. Meski akhir-akhir ini Dian merasa tertekan menghadapi Essan yang terkesan semakin tidak berjuang segigih dulu. Dian merasa ada yang berubah di diri suaminya itu, tapi entah apa. Atau mungkin itu hanya perasaan Dian saja yang makin terbiasa dengan sikap dan kebiasaan Essan yang dominan.
"Untuk saat ini, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ini bukan atas kehendakku. Kalian harus kembali dulu ke Indonesia sampai keadaan membaik dan aku akan membawa kalian kembali ke sini." Essan terlihat pasrah.
Dian tahu, raut itu menunjukkan penyesalan karena tidak dapat mempertahankan istri dan anaknya untuk tetap tinggal. Namun, jauh di dasar hatinya ada rasa kecewa, sebab diam-diam Dian mencari informasi di grup antar negara tentang hal tersebut. Mereka yang tinggal bersama keluarga di sana, masih tetap bisa mangajukan beberapa syarat dan ketentuan melalui Mandub, seseorang yang bertugas sebagai public relations keimigrasian. Dian merasa Essan kurang berusaha dan tidak mau mendengar usulannya.
Sebagai kepala rumah tangga, sikap dominan itu penting apalagi Essan terdidik dari lingkungan dengan budaya patriarki yang kuat. Segala sesuatu harus atas persetujuannya. Meskipun dalam beberapa hal Essan pun memberikan ruang untuk Dian melakukan yang diinginkan.
"Aku sangat lelah. Untuk saat ini hanya itu yang terbaik. Tolong, aku tidak mau berdebat." Begitu ucap Essan saat Dian mencoba menjelaskan tentang informasi dari grup. Jika sudah demikian, Dian hanya bisa patuh.
Keadaan di Indonesia pun tidak jauh lebih baik. Berita kematian tersiar di berbagai media setiap hari. Rumah sakit banyak yang tak dapat menampung pasien dengan diagnosa virus mematikan itu. Tak banyak yang Dian lakukan. Ia hanya menghabiskan waktunya di rumah, sebagaimana yang dilakukan semua murid sekolah dan karyawan beberapa perkantoran yang hampir semua tugasnya dilakukan secara daring dari rumah, yang kemudian muncul istilah Work From Home.
Setiap hari Dian memelototi ponselnya demi melihat berita terkini mengenai peristiwa memcekam di seluruh pelosok negeri. Kebiasaannya yang selalu berselancar di media sosial, akhirnya mempertemukannya dengan sosok masa lalu. Bobo.
Percakapan tak terduga melalui pesan pribadi, kemudian berlanjut lebih sering dan semakin dalam. Hingga sampai pada pertemuan di penghujung tahun ini.
Rencana awal keberangkatannya ke kota pelajar hanyalah untuk mengikuti sebuah seminar buku, yang kebetulan pematerinya adalah penulis yang diidolakannya. Sebab itu pula, ia pergi tanpa membawa Damara. Selain keadaan yang terlalu riskan untuk Damara melakukan perjalanan jauh, Dian pikir ia hanya pergi sebentar lalu pulang.
Kenyataan harus membelokkan rencananya. Tepat sehari sebelum keberangkatannya, tiba-tiba ia mendapat pesan singkat dari masa lalu yang kerap menyapanya akhir-akhir ini. Dian pun harus menitipkan Damara pada sang ibu selama ia di Jogjakarta. Tak lupa ia pun meminta izin pada Essan sebelum berangkat. Meski ada misi rahasia yang disembunyikannya.
Aku hanya bertemu sebagai teman lama. Itu saja.
Dian tak henti berseteru dalam hati, apakah yang dilakukannya masih dalam batas kewajaran atau melanggar norma.
Tidak! Aku tidak akan melakukan apa pun, hanya bertemu saja. Tidak salah, bukan?
Sampai akhirnya ia dikejutkan suara yang masih familiar di telinganya, meski tak berjumpa bertahun lamanya.
"Hei, Alhamdulillah, sehat." Reflek tangan Dian terulur menyambut tangan seseorang yang berdiri beberapa senti di depannya. Keduanya saling berjabat tangan. Kaku.
Udara cukup dingin di Jogja malam ini, mungkin karena cuaca di musim hujan. Namun, jemari itu terasa menghangat saat terjabat.
Wajah di balik masker itu tampak tersenyum. Binar-binar bermekaran terpancar dari sorot mata keduanya meski di bawah temaram lampu toko.
Lalu, mereka memutuskan berjalan mengikuti arah angin. Menyusuri sepanjang jalan Malioboro yang padat. Hanya diam. Menikmati riuh rendah suara-suara bersahutan di sisi kiri dan kanan yang berlalu lalang menunggu malam pergantian tahun.
"Kangen juga, ya." Dian bergumam, tetapi terdengar jelas di rungu Bobo.
Lelaki itu tampak canggung, menunduk. Lalu membuang pandangan ke arah lain. Menghindari tatap yang menuntut balasan dari Dian.
"Suasana Jogja, selalu bikin kangen. Ya, gasih?" Dian kembali mempertegas ucapannya.
"Eh, iya. Pastinya." Wajah kaku itu tampak kikuk. Makin grogi, tetapi berusaha tetap tenang. Gengsi kalau ketahuan sempat ge-er oleh ucapan Dian tadi.