Hujan semalam masih meninggalkan jejak, dingin menyelimuti kawasan Surabaya kota. Seharusnya Bobo larut pada keterlelapan tadi malam, tetapi ia tak kunjung memejam dengan tenang. Dalam tempurung kepalanya sangat berisik dan terus berseteru sebab telah membohongi gejolak di hatinya. Ia membolak balik ponselnya tak berselera.
Rasa grogi kadang membuatnya selalu bersikap manipulatif. Hal itulah yang selalu menghalangi niat Bobo untuk mengatakan sesuatu pada Dian. Terutama tentang kejujuran hatinya saat ini, tapi apakah sekarang masih berarti jika harus jujur? Meski malam terakhir di pertemuan itu, ia hampir saja merebut kembali yang pernah dimilikinya.
Kamu tidak akan pernah bisa membenciku, Dian. Karena aku tidak akan pernah lupa rasanya saat malam itu, malam terakhir kita bersama. Aku hanya harus pergi saat itu.
Kamu pikir aku rela? Kalau iya, tidak mungkin aku kembali ke Yogyakarta dan menemui kamu.
Seperti dulu, cerita di Yogyakarta hanya mampir sebentar bukan untuk menetap. Jika saja Bobo bisa seterusterang pikirannya, mungkin harapannya tidak hanya jadi arang.
"Ngger, temani Eyang Uti keliling Surabaya, ya," pinta sang Nenek.
"Eyang mau kutemani ke mana?" Bobo buru-buru beringsut dari tempat tidur. Sejak bangun ia masih menggulung tubuhnya dengan selimut.
"Eyang mau ditemani makan di tempat langganan." Sang Nenek mengintip cucu lelaki kesayangannya melalui celah lensa kacamata yang dipasang melorot, ketika Bobo bergerak mendekat ke tempat sang nenek biasa mengistirahatkan punggungnya--di kursi goyang ruang keluarga.
"Rawon!" seru Bobo.
"Pancen cucuku paling gemoy ini tau aja." Ucapan sang Nenek membuat Bobo terkesiap, bahwasannya perempuan yang berusia lebih dari setengah abad itu jauh lebih gaul darinya. Meski unggah ungguh sehari-hari tetap dalam kromo level tinggi.
Mama Bobo pun terkekeh mendengarnya. Pasalnya Mama mertuanya itu sosok yang tegas dan judes, tetapi jika sudah sayang ia akan melebihi Ibu Peri.
Sang mama hanya memberikan kode dengan lirikan matanya untuk segera bersiap-siap.
***
"Kalo makan kluwak itu dikeluarin dulu dari cangkangnya, kalopun sudah digeprek. Kalo langsung dimakan sama kulitnya opo ndak njegrak gigimu, Ngger?" Sang Nenek yang memperhatikan Bobo makan sambil terus konsentrasi pada ponsel hanya senyum-senyum, menahan geli.
Warung nasi rawon langganan sang eyang ini memang sedikit unik. Setiap sup rawon yang dipesan akan disajikan dengan beberapa biji kluwak terpisah untuk dinikmati. Tentu saja sesuai permintaan konsumen. Bagi yang tidak suka, hanya disajikan nasi dan sup rawon saja.
Kluwak itulah yang membuat Eyang uti kesayangan Bobo selalu bertandang ke tempat tersebut.
Bobo yang merasa ngilu pada gigi gerahamnya karena gemeletuk cangkang kluwak, meringis. Juga menahan malu, seolah seseorang yang ia ajak bicara lewat ponsel tengah memperhatikannya secara nyata.
"Seru, Eyang. Ada geletak-geletaknya gitu." Bobo ngeles seperti bajai. Sementara tangannya giat mengeluarkan serpihan cangkang kluwak yang terlanjur remuk di dalam mulut.
"Karena cinta. Apa aja, ya, pasti nikmat, toh, Ngger!" ledek sang Nenek lagi seraya terkekeh dan mengacung-acungkan biji kluwak yang tersisa di mangkuk.
Kluwak sialan! Maki Bobo dalam hati.
Tak menampik bahwa ucapan sang Eyang ada benarnya. Cinta, dirasakan seperti apa pun pasti nikmat. Meski kadang terselip serpihan yang membuat perih, seperti cangkang kluwak itu.
Semesta hanya mempertemukan mereka untuk menyelesaikan kisah yang belum selesai. Tetapi apakah sekarang benar-benar selesai? Adakah pesan khusus dari semesta untuk pertemuan ini?
“Orang mana dia?" Sang Eyang menembak seolah tebakannya tak akan meleset, bahwa cucu kesayangannya itu tengah berkomunikasi dengan tambatan hati yang baru.
"Ngapunten Eyang, maksudnya?" Cucu paling bontot di Keluarga Suryodirejo itu menggaruk tengkuk yang terasa kaku. Berpura-pura tidak paham maksud pertanyaan Eyang uti.
Neneknya pun tetap dimanipulasi. Bobo, Bobo!
"Ngger, apa ya ndak ada gitu perempuan yang menarik hatimu? Lek ada, coba cerita sama eyangmu ini. Siapa tau kon gak nyaman cerita karo mamakmu.” Sang Eyang mencoba memancing pembicaraan yang sedikit menyerempet soal pribadi Bobo yang selalu tertutup mengenai hal pasangan.
Bobo hanya berdehem panjang dan kecil bergantian tanpa ada niat memulai menjawab pertanyaan sang nenek, apalagi membahasnya. Belum lagi serpihan kluwak itu bersih dari gigi-giginya, sudah dilayangkan serpihan yang lebih membuatnya tertusuk.
“Opo ya gara-gara bapakmu dulu?”
Bobo masih asik menghabiskan sisa sup rawon, bahkan kluwak-kluwak itu makin menarik perhatiannya dengan membuka cangkang-cangkangnya satu demi satu untuk lanjut dinikmti isinya.
“Ojo benci mbek bapakmu, Le. Kalau bukan kamu, ya siapa lagi yang akan ia berikan tanggung jawab. Toh, akhirnya semua itu untuk kamu juga. Sebetulnya bapakmu tidak pernah pilih-pilih soal jodoh. Semua orang tua hanya mau yang terbaik buat anak-anak mereka, Ngger.”