Damar (Februari, 2019)
Cinta hanya bisa dirasakan, tak pernah bisa digambarkan. Sorot mata Ariana seperti temaramnya sinar bulan, hangat namun penuh rahasia. Itulah yang terpancar dari kedua belah mata putri semata wayangku. Aku tergagap menyadari putriku sedang jatuh cinta. Cinta yang terbaca lewat matanya menyalurkan energi tersendiri bagiku. Hangatnya berpendar menembus relung-relung jiwaku. Namun rasa itu dikawani pula rasa yang menusuk-nusuk jauh di dalam hatiku.
Ariana telah menemukan pelabuhan hatinya. Dari sekian laki-laki yang pernah dekat dengannya, hanya pemuda ini yang mampu memberi perubahan hebat dalam diri Ariana. Pembawaannya menjadi lebih tenang, dewasa dan penuh kasih kepada orang-orang di sekitarnya.
Entah apa yang membuat aku tidak menyukai pemuda ini. Bukan soal sopan santun dan penampilan fisiknya yang tentu mendapat nilai sembilan puluh dari gadis-gadis muda jaman sekarang, namun ada sesuatu dari dirinya yang membuatku tak nyaman. Walau bibirku selalu tersenyum, dari hari ke hari selalu kugumamkan dalam hati penolakanku ketika melihat kebersamaan mereka. Aku masih juga terus mencari-cari sendiri sebabnya dan tak seorang pun mengetahui bahasa hatiku, tidak juga istriku.
Ariana adalah putri tunggal titipan terindah dari Tuhan untukku. Sulit kubayangkan kelak ia tak lagi menjadi milikku sepenuhnya, tetapi menjadi milik seorang laki-laki lainnya. Di jantung lelaki itu akan terukir nama anak tercintaku. Hari-hari Ariana akan dipenuhi kesibukan merawatnya dan menyiraminya dengan cinta di setiap detiknya, tanpa yakin lagi dimana posisiku saat itu sebagai seorang ayah. Kemudian sang lelaki akan mencukupi semua kebutuhannya, bertanggung jawab atas keselamatan dan kehidupannya. Bukan lagi aku sebagai ayahnya.
Bila tiba saat itu di mana tak bisa kuhentikan waktu, aku ingin pilihan hatinya sejalan denganku. Keinginan absurd seorang ayah yang juga menyadari kelemahannya. Kuharap ia memilih lelaki baik hati yang bisa kuterima sepenuhnya untuk menjadi sandarannya, hingga aku bisa menutup mata dengan tenang.
***
Ariana bicara di ponsel sambil tersenyum-senyum sendiri. Tak didengarnya pertanyaanku tentang rencana kegiatannya hari ini. Aku sudah bisa menebak siapa yang sedang diajaknya mengobrol lewat ponselnya, tentu si pemuda itu yang sudah pernah dibawanya berkunjung ke rumah. Seharusnya aku bahagia melihat keceriaan hatinya pagi ini, tapi entahlah ada rasa tak suka di sudut hati. Mungkin aku cemburu dengan berkurangnya perhatiannya padaku. Kecemburuan seorang ayah yang tak memerlukan penjelasan.