Sumirah (1943)
Ketika Sumirah lahir dari rahim ibunya, saat itu bulan sedang purnama. Tangisannya keras merobek kesunyian malam. Ayahnya- asisten wedana di sebuah kota di bagian barat pulau Jawa, dengan wajah berpeluh meraihnya dalam pelukan dan membisikkan asma Allah di telinga bayi mungil itu. Walau nampak masih kepayahan, sang ibu tersenyum bahagia. Sirna semua sakit dan lelahnya. Ayahnya tersenyum bangga, usai sudah penantian panjang selama empat tahun usia perkawinannya.
Sum, begitu ia biasa dipanggil. Kini tubuh empat belas tahun Sumirah mulai mekar, kulit putih dan rambut hitam tebalnya yang dikepang dua telah membuat pemuda-pemuda Cisayong terpana. Ia adalah gadis lugu yang sarat harapan. Seperi gadis-gadis muda anak pejabat lainnya di jaman itu, Sumirah bersekolah di Sekolah Rakyat.
Di luar waktu sekolah, Sum suka sekali menari. Telah beberapa bulan ia belajar menari ketuk tilu pada Mak Iyet. Semasa muda dulu Mak Iyet adalah penari terAkoal di kampungnya. Sum dan ketiga orang kawannya belajar menari di sana. Dan terlihat jelas kalau Mak Iyet menaruh harap lebih padanya karena naluri seorang guru melihat bakat lebih pada gadis remaja itu.
Sum jatuh cinta pada ketuk tilu. Ia jatuh cinta pada gerakan dinamisnya, juga pada ketukan rebab, kendang dan kulanter yang mengiringinya. Iramanya seperti membangkitkan roh lain yang tertidur dalam dirinya. Saat menari ia merasa menyatu dengan ketukan nada yang ditingkah iringan kecrek dan gong. Nyawanya serasa melebur. Ia bukan lagi sekedar penari yang diiringi musik, tetapi ia adalah ketuk tilu itu sendiri.
Sang asisten wedana sebenarnya tidak suka putrinya belajar menari. Saat itu orang lebih mementingkan mengisi perut daripada belajar. Menurutnya banyak hal yang lebih penting dikerjakan daripada menari. Situasi makin mengkhawatirkan saja dari hari ke hari. Apalagi kabarnya kyai di Sukamanah mulai berani menunjukkan sikap melawan kaum asing pendatang itu, karena keberatan dengan kewajiban seikerei- membungkuk ke arah timur yang dinilainya sebagai perbuatan tak patut. Ia kuatir suatu hari perang bisa merembet ke kampung mereka. Itu berarti kelangkaan pangan dan barang lainnya akan semakin parah. Dari orang di pasar, ia mendengar ada beberapa daerah yang telah diwajibkan menyetor hasil padinya ke pihak penjajah. Juga ada beberapa desa yang wajib menanam pohon jarak untuk bahan bakar pesawat terbang pasukan asing itu.
Di suatu sore yang berangin, Ayahnya memanggil Sum ke ruang tengah. Anak gadis itu duduk patuh di hadapan orangtuanya yang dipanggilnya abah dan ambu. Abah seperti kesulitan menyampaikan sesuatu. Wajahnya muram dan kerutan-kerutan muncul di dahinya. Ambu tak berbicara sepatah kata pun. Mendung menggayut di wajahnya. Sesekali ia mengusap sudut matanya dengan kerudung birunya.
“Ada kabar gembira untukmu Sum, Abah mendapat perintah untuk mengirimmu belajar ke luar negeri.” Kata ayahnya tersendat.
Sum kaget tapi hatinya diliputi kebanggaan. Ia merasa tak perlu bertanya lebih lanjut. Jika ayahnya diperintah tentu perintah itu datang dari atasannya.
“Suatu hari nanti jika negeri ini merdeka kau akan berguna bagi nusa bangsa,” suara abah bergetar ragu.
Esoknya pagi-pagi sekali Sum dijemput seorang heiho yang membawa kendaraan roda dua. Sesuai arahannya ia tak boleh membawa banyak barang, hanya dua potong pakaian ganti dan selembar kain batik ia jejalkan ke dalam tas kainnya.
“Sebenarnya aku ingin belajar menari, Abah. Apa di sana aku masih boleh belajar menari?” tanyanya takut-takut. Abah mengangguk ragu-ragu sambil melirik ke arah heiho yang duduk kaku di hadapannya.
“Ya, di sana bisa terus menari. Banyak yang belajar menari,” jawab si penjemput datar.
Gadis muda itu pun kemudian dilepas kepergiannya dengan bulir air mata Abah dan ambu. Dengan kendaraan roda dua Sum dibawa ke suatu tempat. Ia baru pertama kali naik motor berukuran besar seperti itu. Biasanya kendaraan seperti itu hanya dikendarai serdadu-serdadu asing, itu pun tak banyak. Ia juga baru pertama kali dibonceng lelaki. Satu-satunya lelaki yang pernah diboncengnya adalah ayahnya, dengan sepeda tentunya.
Heiho yang menjemputnya tak berbicara sepatah kata pun. Mungkin saja ia memang diperintahkan demikian atau memang ia sedang malas bicara. Sebenarnya Sum lega tak perlu berbicara dengannya. Gadis-gadis di masa itu telah dididik sedari kecil agar tak begitu mudah akrab pada laki-laki.
Setelah berkendara beberapa saat, ketika tangan Sum mulai pegal berpegangan erat pada besi pinggiran tempat duduknya, tiba-tiba motor itu berhenti di pinggir jalan. Dengan isyarat pengendaranya memerintahkan ia untuk turun. Kemudian motor itu langsung melesat pergi, meninggalkan asap knalpot dan debu yang beterbangan di belakangnya.
Sum terperangah kebingungan. Tiba-tiba seseorang menggamit lengannya. Ternyata salah seorang serdadu dari negeri nun jauh itu. Laki-laki gagah yang nampak ramah dengan senyum dan mata sipitnya. Dengan bahasa isyarat ia mempersilakan Sum naik ke sebuah truk yang terparkir di sisi jalan.
“Saya?” katanya menunjuk dirinya sendiri.
Sang serdadu mengangguk-angguk mantap. Tersenyum-senyum lucu.