Boedy menyusuri jalan desa yang berdebu saat matahari pagi baru saja menyinari pepohonan bambu di tepi alam. Ia berhenti di depan sebuah gubuk reyot, tempat di mana seorang nenek penjual jamu menetas dari keremangan pengasingan yang dijatuhkan oleh tetangga kampung. Konon, sang nenek membawa “bau dari sumur wingit”, aroma tak kasat mata yang membuat orang-orang was-was, menghindar dengan ketakutan tak berdasar. Sejak itulah nenek itu tinggal sendiri, jauh dari masyarakat, dengan dagangan jamu yang cuma ia racik dan bantu bawa dari kebun kecilnya.
Boedy mengangkat kamera, mendekati nenek tua itu perlahan. Ia berbicara lembut, tanpa kesombongan wartawan kota. Ia menanyakan bagaimana nenek hidup, apa yang diceritakannya sejak diasingkan. Si nenek, namanya Kasimah, bercerita dengan suara parau: ia sudah hidup dari meracik jamu sejak muda, mewarisi resep dari ibunya, jamu yang katanya menyembuhkan berbagai penyakit kecil. Namun suatu hari ada bau kentara datang dari sumur di halaman, bau lumpur bercampur belerang, dan masyarakat pun takut. Mereka menuduh nenek membawa energi buruk. Desa pun menjauhkan dirinya, menelantarkannya.
Boedy terdorong membantu. Setiap detail cerita Kasimah ia rekam, ia foto ragam jamunya—cairan oranye, kuning, hijau—berserakan dalam botol kaca tua. Ia mencatat resep lengkap, manfaat, cara membuat. Kemudian ia menyiapkan tulisan pendek: kisah pengusiran, resep dan manfaat jamu, siapa itu Kasimah manusia di balik mitos bau wingit. Dalam beberapa menit, tulisan dan foto itu ia unggah ke akun media sosialnya, mengundang simpati publik. Banyak orang bereaksi, menulis komentar dukungan, ada yang menawarkan membantu membeli jamu langsung ke rumah, ada yang curiga memang bau dari sumur itu bukan karena nenek, melainkan alam bawah tanah desa itu sendiri.
Seiring sore semakin dekat, bantuan datang: seorang relawan desa kota membawa bahan baku jamu, juga keranjang kayu untuk mengemas botol-botol. Seorang dokter muda menawarkan untuk menguji jamu secara sederhana—mengecek higienitas. Percikan harapan muncul di mata Kasimah. Boedy pun mencatat setiap momen—foto sebelum dan sesudah bantuan, dokumentasi bahasa visual yang tulus—tanpa judul atau label berlebih, penuh empati yang mengharukan siapapun yang melihat.
Saat malam merayap, Boedy meninggalkan gubuk, berjalan ke utara desa. Aroma yang sama—bau sumur wingit—menyapa hidungnya. Ada kilatan hawa lembab dan bau tanah belerang samar. Ia mencium sekitar. Bau itu tidak hanya dari satu titik. Bau itu seperti aliran bawah permukaan. Pikiran Boedy mulai berputar. Bisakah bau ini bukan karena benda mistik, melainkan geologis? Ia mengangkat ponsel, merekam, lalu kembali ke gubuk membagikan temuan baru itu kepada nenek.