MENYUSURI PULAU JAWA

Eko Broto Budiarto
Chapter #2

Kecamatan Panggarangan - Hari ke-2

Boedy bangun pagi itu dengan mata yang masih berat, tapi tubuhnya terasa hangat oleh udara Panggarangan yang lebih lembab dan bersahabat dibanding Malingping. Rumah panggung tempat ia menginap berada di pinggiran kampung, tak jauh dari kebun cengkeh tua, berdiri kokoh meski usianya sudah lebih dari enam dekade. Pemilik rumah itu, Pak Guru Darsa, adalah lelaki tua yang seolah lupa pada usia. Rambutnya sudah putih semua, tetapi matanya tajam dan penuh semangat saat ia bercerita tentang murid-muridnya. Ia masih mengajar meski tak lagi digaji, tak lagi masuk sistem sekolah formal. Ia membuka ruang belajar gratis tiap sore, di balai bambu kecil yang dibangunnya sendiri.

Boedy tiba di rumah Pak Darsa sore sebelumnya, setelah menyusuri jalan berliku dari Malingping. Ia tertarik menemuinya karena mendapat cerita dari media sosial, ketika seseorang menulis tentang guru tua yang mengajar tanpa pamrih, dengan buku-buku lusuh dan papan tulis dari tripleks bekas. Boedy berniat menulis kisahnya, tapi begitu tiba, niat itu bergeser menjadi sesuatu yang lebih dalam. Ada rasa segan, ada rasa ingin membantu, bukan sekadar merekam dan pergi.

Di pagi hari, saat Pak Darsa keluar menyapu halaman dan merawat tanaman lidah mertua yang berjejer di depan rumah, Boedy masuk ke ruang kerja kecil di pojok rumah. Di sanalah ia melihat sepeda tua, tergantung dengan rantai yang sudah kaku oleh karat. Sepeda itulah yang dulu dipakai Pak Darsa keliling desa mengajar dari rumah ke rumah. Sekarang sudah tak bisa lagi dipakai. Boedy, yang punya sedikit keterampilan reparasi, menawarkan untuk memperbaikinya. Ia bongkar bagian-bagian yang sudah kaku, bersihkan gir dan rantai, dan mengganti ban dalam yang bocor. Tak butuh waktu lama sampai sepeda itu kembali bisa digowes, meski masih ringkih.

Di sela pekerjaan itu, ia diajak masuk ke ruang belakang, semacam perpustakaan pribadi milik Pak Darsa. Rak-raknya berisi buku pelajaran era 80-an hingga 2000-an, sebagian besar sudah menguning, beberapa mulai hancur dimakan rayap. Tapi di situlah Boedy menemukan sesuatu yang menarik—di pojok rak tua, tertumpuk di bawah peta usang Jawa Barat, ia menemukan tumpukan catatan murid lama. Catatan itu ditulis tangan dengan kertas bergaris dan tinta pulpen yang sudah mulai pudar. Di antara lembaran biasa, ada satu buku kecil yang aneh: sampulnya hitam polos tanpa tulisan, dan di halaman dalamnya hanya ada simbol air, seperti ombak berputar, dan tulisan samar dengan huruf miring: "Arah ke Bayah – jangan sampai lewat purnama."

Boedy menunjukkannya pada Pak Darsa yang sedang duduk membaca koran tua. Wajah Pak Darsa berubah, sedikit tegang tapi juga rindu. Ia mengenali tulisan itu. Itu milik salah satu murid terbaiknya dulu, Wicak, yang menghilang secara misterius setelah SMP. Wicak adalah anak pendiam tapi cerdas. Suatu hari ia berhenti datang, dan kabarnya ikut ayahnya ke Bayah untuk bekerja. Tapi tak ada yang pernah mendengar kabarnya lagi. Ibu Wicak sudah lama pindah ke kota. Simbol air itu, kata Pak Darsa, sering digambar Wicak ketika bicara tentang “alur sungai tua” yang katanya menyimpan sesuatu.

Malam itu Boedy duduk lama di beranda rumah, menatap cahaya remang dari lampu minyak di ruang belajar. Ia membuka kembali catatan itu. Di halaman belakang, ada diagram sederhana—lingkaran dengan empat tanda panah: utara, selatan, barat, timur, dan titik kecil di bagian barat daya yang diberi tulisan tangan kecil “Bayah – 4 jam jalan kaki melewati batu air”. Ia mulai merasa bahwa cerita ini bukan cuma tentang guru tua, tapi juga tentang warisan pengetahuan yang hilang. Ia menyalin seluruh isi buku itu ke dalam laptop, termasuk simbol, diagram, dan kata-kata yang nyaris tak terbaca. Ia juga memfoto semua halamannya untuk jaga-jaga.

Lihat selengkapnya