MENYUSURI PULAU JAWA

Eko Broto Budiarto
Chapter #3

Kecamatan Bayah - Hari ke-3

Pagi itu, Boedy tiba di Bayah dengan tubuh yang masih lelah karena perjalanan darat dari Panggarangan. Jalanan menurun menuju pesisir membawa aroma laut yang menyapa dari kejauhan. Ketika ia menginjakkan kaki di jalanan berpasir yang memisahkan kampung nelayan dari garis pantai, kakinya terasa ringan—seolah semua keletihan lenyap tertelan angin asin. Di ujung kampung, ia disambut anak-anak kecil berlarian tanpa alas kaki. Salah satu dari mereka, bocah laki-laki berambut gimbal alami, menatap Boedy sambil berkata lirih, “Dia lelaki dari mimpi.” Bocah itu tidak takut, bahkan mendekat dan menggenggam tangan Boedy, lalu menyodorkan sebuah botol kaca kecil yang tampak tua, tergores-gores, dan disegel dengan gabus tua. Di dalamnya terdapat cairan bening kehijauan, seperti air tapi sedikit kental, memantulkan cahaya aneh ketika terkena matahari. Boedy tidak langsung bertanya. Ia hanya menerima, mengangguk, dan menyimpan botol itu dalam tas kamera.

Perkenalan Boedy dengan anak-anak nelayan mengalir begitu saja. Mereka menuntunnya ke kampung pesisir, di mana para orang tua sedang memperbaiki jaring, mengangkat kayu tambatan kapal yang rusak, dan mencemaskan abrasi yang sudah semakin parah. Di sana, ia bertemu Pak Karta, ketua nelayan yang juga pemilik lahan di tepi pantai. Pria berkulit gelap dan badan kokoh itu menjelaskan bahwa dalam lima tahun terakhir, garis pantai bergeser hampir sepuluh meter. Beberapa rumah di pinggir laut sudah roboh, dan tambatan kapal mulai tak bisa digunakan karena fondasinya terus terkikis. Boedy mendengar semua itu sambil memotret, mencatat, dan menanyakan detail seperti arah arus, musim ombak, dan data cuaca yang mereka punya. Tentu saja tidak ada data ilmiah—semua berdasarkan pengalaman turun-temurun. Tapi Boedy tahu, dari pengalaman itulah cerita yang valid bisa muncul.

Sambil membantu mengangkat papan kayu yang akan dijadikan pondasi tambatan kapal sementara, Boedy mulai terlibat secara fisik. Ia bukan sekadar wartawan yang datang untuk mengambil gambar. Ia membantu menyiapkan tali tambat, memaku, dan bahkan mendorong perahu kecil yang terlalu berat untuk anak-anak. Di sela itu, anak-anak terus mengamati Boedy seolah ia tokoh dari cerita yang dulu mereka dengar sebelum tidur. Salah satu anak perempuan, dengan mata besar dan suara lembut, bertanya, “Benarkah kamu yang pernah berjalan di air dalam mimpi kami?” Boedy tertawa kecil, menggeleng, tapi merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang bekerja di balik semua ini. Ia sadar ini bukan hanya imajinasi anak-anak. Mimpi mereka mungkin terikat pada sesuatu yang pernah mereka lihat atau dengar, dan bisa jadi terkait dengan kapal karam yang mereka bicarakan.

Saat sore menjelang, anak-anak mengajak Boedy ke ujung dermaga tua yang sebagian besar kayunya sudah dimakan usia dan ombak. Dari sana, mereka menunjuk ke tengah laut, ke sebuah titik di mana air tampak sedikit lebih gelap, dan gelombangnya bergerak aneh. “Di sana kapal tua tenggelam. Airnya beda. Itu tempat botol itu berasal,” ucap salah satu anak. Boedy menatap titik itu. Tak ada tanda jelas, tapi laut memang berdesir di sana seperti berbisik, menarik, memanggil. Ia mencatat koordinat kasar berdasarkan arah matahari dan posisi pantai. Ia tahu tak bisa menyelam atau pergi ke sana langsung, tapi ia bisa mencatat, menyusun cerita, dan mencoba mencari informasi dari nelayan yang lebih tua.

Malam hari tiba. Boedy tinggal sementara di rumah kecil Pak Karta yang terbuat dari kayu kelapa. Atapnya seng berkarat, tapi angin laut membuat suhu di dalam tetap nyaman. Sambil duduk di beranda menghadap laut, Boedy membuka botol kecil yang diberikan anak-anak tadi. Ia mengendus, tapi tak ada bau menyengat. Hanya aroma laut yang lembut, sedikit seperti rumput laut. Ia menuangkan setetes ke piring putih untuk melihat reaksi cahaya. Ternyata benar, cairan itu menyebar pelan seperti minyak, meski tidak berminyak, dan memantulkan cahaya kehijauan. Ia mengambil kamera makro dan memotretnya. Lalu, ia menulis catatan panjang tentang semua kejadian hari itu—dari panggilan "lelaki dari mimpi", abrasi, tambatan kapal, hingga botol kecil.

Lihat selengkapnya