Emma paling benci brokoli dan kacang panjang. Makanan kesukaannya adalah ayam goreng krispi, sementara aku lebih suka ayam yang dimasak dengan kecap atau gula jawa. Kami berdua sama-sama tidak suka makanan pedas. Emma sudah suka menulis sejak lama sekali, mungkin sejak sebelum kami bertemu. Dia juga sering membacakan cerita untukku, kadang cerita buatannya sendiri dan kadang dari buku-buku yang dimiliknya atau dipinjamnya dari perpustakaan.
Aku suka mendengarnya membacakan cerita. Dan aku lebih suka lagi jika dia membacakan cerita buatannya. Asal kau tahu, ada yang berbeda di dalam cerita buatan Emma.
Biasanya, kucing memang tidak suka memenuhi otak dengan ingatan-ingatan yang memberatkan, apa lagi jika tidak penting. Tapi anehnya, aku bisa mengingat semua yang Emma ceritakan. Jenis cerita yang Emma sukai disebut fantasi. Sering kali mengisahkan hal-hal yang dipenuhi keajaiban dan sepertinya berasal dari dunia lain, dengan petualangan yang mendebarkan yang tidak pernah membuatku merasa bosan.
Sepertinya aku tidak akan mendengar cerita-cerita seru macam itu lagi. Emma serius saat dia bilang dia tidak bisa menulis lagi. Emma benar-benar berhenti menuruti obsesinya pada fantasi. Tapi kelihatannya Emma tidak begitu merasa kehilangan setelah melepas obsesinya. Alih-alih tertekan, dia justru mulai mengembangkan obsesi baru, membuntuti si kutu buku, Elsa.
Belakangan ini, Emma lebih sering main dengan Elsa dibandingkan teman-temannya yang lain. Aku mengikutinya ke rumah Elsa beberapa kali, mereka tidak memainkan apa pun dan hanya duduk di kamar sambil membaca beberapa buku membosankan yang tidak memiliki gambar. Tentu saja aku melangsungkan protes ke Emma.
“Meong ….” (Oh, Emma apa yang kau lakukan? Ayo main keluar!)
Emma mengelus kepalaku, sambil menjawab dengan suara kecil. “Mainlah sendiri di luar. Aku mau belajar.”
(Belajar? Apa itu sejenis permainan membaca buku? Kalau begitu bacakan buku yang ada gambar-gambar seru seperti biasanya, hm? Kau tahu, kan, aku tidak bisa membaca tulisan)
“Alvin, maaf. Aku harus belajar. Sana main sendiri.”
Aku memukul-mukul lantai dengan ekorku. Kesal karena terabaikan. Apa sekarang ini Emma lebih suka buku membosankan seperti yang selalu dibawa Elsa? Atau mungkinkah obsesi Elsa menular ke Emma?
Oh, tidak! Ini buruk!
Aku berhenti memukul lantai dengan ekorku. Menoleh ke Elsa yang baru menjawab pertanyaan Emma dengan penjelasan panjang lebar. Mereka membicarakan sesuatu seperti besaran dan satuan. Aku berbalik dan undur diri karena tidak tertarik dengan besaran dan satuan, karena entah apa pun itu kedengarannya bukan sejenis makanan manis.
Aku keluar lewat pintu depan, Emma membukakannya untukku. Sempat berpikir Emma mau main denganku, tapi dia segera menutup pintu dan kudengar langkahnya kembali ke kamar Elsa. Benar-benar gawat, batinku. Aku menoleh kanan kiri, mengerjap beberapa kali. Memutar otak ke mana harus mencari pertolongan. Emma tidak boleh dibiarkan berlama-lama dengan Elsa atau dia akan semakin tertular obsesinya.
Jangan salah sangka dulu. Aku suka Elsa, tapi aku tidak mau Emma menjadi sepertinya. Elsa itu luar biasa. Terlalu luar biasa malahan, sampai aku tidak tahan.
Elsa sering melakukan permainan yang menyenangkan, dia menyebutnya eksperimen. Elsa bisa membuat pelangi keluar dengan menggunakan cermin dan air. Dia juga bisa menumbuhkan kristal dengan merendam kawat pada larutan bernama boraks. Aku masih ingat bagaimana Elsa berhasil membuat sebuah balon penuh udara tanpa meniupnya.
“Di sini rahasianya,” kata Elsa sambil menunjukkan bubuk putih di dalam botol plastik yang diletakkannya di atas meja. “Baking soda. Lalu di dalam balon ini ada cuka. Saat balon dipasang di mulut botol, cuka akan masuk ke botol dan bereaksi dengan baking soda, menghasilkan cukup udara (CO2) untuk meniup balon.”
Emma, Tasya, Fabian, Raka, dan aku menatap balon Elsa dengan mulut terbuka. Benar-benar ada udara masuk dan membuat balon membesar sempurna. Seperti sihir dalam cerita kesukaan Emma.
Ya, sayangnya eksperimen Elsa tidak selalu menghasilkan hal menakjubkan semacam itu. Elsa pernah menyimpan berberapa roti tawar dalam plastik zip. Setelah beberapa hari, jamur warna warni tumbuh di roti simpanan Elsa. Dan Elsa mengamatinya dengan mata membesar penuh ketertarikan. Entah di mana letak hal menarik dari roti busuk berjamur yang baunya membuat hidungku minta diservis. Benar sekali, beberapa eksperimen Elsa cukup mengerikan.
Yang paling membuaku tidak tahan adalah cara Elsa merusak nafsu makan dengan membeberkan nama-nama bagian tubuh dari santapan kami. Ok, tidak masalah saat yang dimakan hanya ikan. Palingan Elsa akan menceritakan fungsi insang (lembaran di samping belakang kepala ikan) atau garis panjang di sepanjang sisi badan ikan. Kalian tahu, garis panjang yang rasanya tidak begitu gurih itu rupanya mengandung kumpulan saraf—aku tidak begitu yakin apa itu saraf—yang kalau tidak salah memiliki fungsi untuk menangkap getaran di sekitanya. Jadi di sanalah rahasia mengapa ikan bisa mendeteksi gerakan lain di dalam air tanpa menoleh dulu.
(Tidak usah heran kenapa aku bisa hafal. Kau pasti juga akan hafal jika mendengarnya hampir setiap kali saat makan bersama Elsa).
Kepalaku sampai pusing saat ikut makan bersama Emma dan Elsa dengan menu udang. Betapa mengejutkannnya bahwa ternyata udang memiliki lebih dari dua puluh kaki—entah berapa banyak dua puluh itu, aku hanya bisa menghitung sampai lima, setara dengan jumlah jari di satu kaki depan—, dengan empat jenis kaki yang berbeda. Ada kaki pencapit, kaki perenang, kaki jalan, sampai kaki untuk bertelur. Oh ya, Elsa tidak lupa membeberkan apa yang tersimpan di bagian belakang kepala udang.