Waktu itu aku baru berumur sekitar satu bulan lebih—kata Emma—ketika aku diadopsi keluarga ini. Aku bukan kucing buangan, hanya saja pemilikku sebelumnya sempat menelantarkanku lalu seorang nenek baik hati mengantarkanku ke rumah Emma karena tahu Emma suka kucing—ini juga kudengar dari Emma. Aku tidak begitu ingat, yah, kucing memang cenderung tidak suka memenuhi isi kepalanya dan membuat harinya berat. Tapi samar-samar aku ingat aku punya saudara, dua atau tiga, entahlah. Mereka diambil kembali oleh pemilik lama kami, menyisakanku di sini.
Kucing tidak suka angka. Sepertinya kami memiliki alergi tersendiri pada angka. Mungkin karena itu aku suka lupa sudah makan untuk ketiga atau keempat kalinya, lalu kena omelan Emma saat minta lagi. Dalam hal ini, Emma sama sepertiku. Dia punya alergi pada angka dan segala sesuatu yang berbau menghitung. (Aku rasa kesamaan alergi ini juga alasan kecocokan kami).
Menurut cerita Emma, aku bukan ditinggalkan saudaraku, melainkan aku yang meninggalkan mereka. Kami, para anak kucing, sudah dimasukkan ke dalam kardus dan diambil paksa hendak dibawa pulang oleh si pemilik lama. Tapi aku melompat keluar dan berlari ke arah Emma. Oh, tunggu. Jangan mengharapkan cerita dramatis di sini, ingat aku ini kucing—walaupun aku sendiri juga mengharapkan bagian akhir yang lebih romantis.
Tidak. Aku tidak berlari kembali untuk Emma. Aku kembali untuk sepotong telur goreng yang ada di piring Emma di meja. Emma bilang hanya aku yang menyadari telur goreng itu dan dia menyimpulkan akulah yang terpandai di antara saudara-saudaraku. Aku sudah melupakan kejadian itu. Tapi kurasa aku harus berterimakasih pada telur goreng karena telah membuatku berlari kembali ke pelukan Emma. Oh, ya, aku berterimakasih, tapi bukan berarti aku suka telur goreng.
“Meoongg ….” Aku mengeluh panjang melihat telur goreng yang Emma tempatkan di dalam wadah makananku. ‘Ayolah, Emma, kau tahu aku tidak makan telur.’
“Oh, Alvin,” Emma berjongkok di sampingku, mengelus bagian atas kepalaku pelan, “maaf, hari ini penjual sayur tidak bawa ikan. Kau harus makan telurnya, ok?”
Aku mendengus sebal. ‘Aku sudah bilang aku bosan telur, kan.’
“Ya, aku tahu. Tapi kau tetap harus makan, kan?”
Aku kembali memandang wadah makan berbentuk oval panjang itu. Mengendus membaui telur goreng mata sapi yang baru Emma buatkan. Oh, sungguh, aku bosan rasa ini. Bahkan dengan membaui saja sudah cukup membuat lidahku kelu. Tidak bisa dipercaya bahwa aku berhutang budi pada sepotong telur. Setelah memaksa diriku menggigit salah satu sisi telur, sebuah pikiran nakal menyelinap di benakku.
Emma sukses membacanya. “Alvin, kau harus makan telurnya,” katanya sedikit mengancam.
Aku menelan telur yang sudah kugigit, dengan terpaksa. Lalu melenggang ke tempat air minumku yang berada di salah satu sisi dapur. Segera saja aku menghilangkan jejak bau telur di mulut. Menoleh Emma yang sudah masuk ke kamarnya.
Maaf, Emma, aku benar-benar bosan telur. Aku akan cari makan sendiri. Entah Emma mendapat telepati atau tidak, aku langsung melenggang ke pintu belakang, melompatinya lalu berjalan ke rumah sebelah. Tidak ada pagar di antara rumah-rumah di gang ini, satu alasan lagi untuk menyukai tempat tinggalku. Sungguh memudahkanku untuk menjelajah dan patroli.
Pilihan pertama saat krisis makanan terjadi ialah rumah kedua di samping kiri rumah Emma, atau lebih tepatnya setelah sebuah rumah kontrakan yang sudah tidak dihuni. Di sana tinggal tukang sate baik hati bernama Mang Didin. Karena setiap hari membuat sate, di rumahnya selalu ada daging ayam. Sebuah alternatif yang sempurna, bukan? Ya, meski seringkali yang diberikan padaku hanya bagian lemak atau sisa-sisa daging yang melekat di tulang. Itu masih lebih baik daripada harus berburu.
Aku bukan tidak bisa berburu. Kucing cowok secakap dan sepandai aku tidak mungkin tidak bisa. Hanya saja, aku tidak berminat lagi menyantap hasil buruan. Mungkin karena lidahku sudah terbiasa dengan makanan manusia, jadi memakan daging mentah membuatku mulas sendiri. Aku masih ingat beberapa bulan lalu—mungkin—saat aku masih doyan berburu cicak dan kadal, perutku mulai berontak dan memuntahkan apa saja yang kutelan. Sudah terjadi berulang kali, maka Emma melarangku berburu.
Aku melompat ke jendela di bagian belakang rumah yang terbuka, langsung mengarah ke dapur. Aroma menggiurkan dari daging ayam yang baru mendidih di panci langsung menelisik hidungku. Aku menelan ludah yang mengancam mengalir keluar lewat tepi bibir. Menyapu seisi ruangan dapur, tidak ada orang. Aku melompat turun dari jendela, duduk menunggu di depan tungku, sambil menahan takut melihat lidah api yang menjilat-jilat pantat panci yang hitam gosong.
Tidak lama kemudian, seseorang berjalan menuju dapur. Ah, aku mengenali langkah kakinya, ini bukan Mang Didin tapi istrinya. Aku memilih diam seribu bahasa melihat perempuan paruh baya—mungkin seumuran dengan ibu Emma—itu berjalan menuju ke tungku. Dia sempat melirikku sebentar.
Aku tahu pesan tersirat dari lirikan itu. Tapi, hei, aku tidak melakukannya, oke? Aku tidak pernah mencuri makanan, apa lagi jika makanan itu masih di dalam panci yang mendidih. Ya ampun, ini membuatku tersinggung. Kupikir kami sudah cukup lama saling kenal sehingga seharusnya dia tahu kalau aku bukan pencuri.
Aku mendengkus sambil berjalan mundur secara teratur, bersiap menyerah untuk mendapat beberapa potongan kecil ayam dari istri Mang Didin. Tidak apa, aku sudah menduganya. Istri Mang Didin tidak sebaik Mang Didin.