Sera membantu kakaknya, Luna, mengemas barang-barang yang perlu dibawa ke tempat baru. Luna akan ikut suaminya pindah ke Donggala, tempat kerja suaminya yang baru. Orang tua mereka sedikit khawatir atas kepindahan Luna. Sulawesi Tengah salah satu provinsi yang menjadi terjangan tsunami 14 tahun silam. Meski Luna sudah meyakinkan bahwa ia dan suaminya akan baik-baik saja di sana, tetap saja orang tua mana akan tenang-tenang saja mengetahui putrinya akan tinggal di tempat seperti itu. Terlebih, Luna harus meninggalkan Sera sendirian di kota orang. Lagi-lagi situasi ini membuat orang tua mereka khawatir.
“Terima kasih ya sudah bantuin mbak. Semuanya jadi cepat terkemas.”
“Sama-sama.”
“Bapak dan Ibu, dan Mas Nata juga akan sebisa mungkin sering berkunjung ke sini.”
Sera langsung cemberut. “Kenapa mereka nggak percaya aku bisa hidup mandiri sih? Dulu Mas Nata hidup sendiri nggak ada yang khawatir tuh.”
Luna terkekeh. “Bapak dan Ibu khawatir juga sama Mas Nata kok waktu itu.”
“Masa?”
Luna mengelus kepala Sera. “Mbak tahu adek merasa lelah selalu diawasi Bapak dan Ibu, tapi kamu perlu ingat, orang tua kita melakukan itu karena mereka khawatir. Di mata mereka, kita adalah bayi yang harus selalu dilindungi.”
“Tapi aku bukan bayi.”
“Mbak tahu. Biarkan saja Bapak dan Ibu mengekspresikan rasa khawatirnya. Itu lumrah.”
Sera mengangguk pelan.
“Lalu, apa yang akan mbak lakukan dengan kelima kucingmu?”
“Aku menitipkannya padamu.”
“Huh?!” Sera tekejut mendengarnya.
Luna tertawa kecil.
“Bawa aja, mbak! Aku nggak mau ngurusin mereka!”
“Eh? Padahal kamu suka hewan.”
“Tapi tidak dengan merawat mereka. Ribet tahu!”
Luna tertawa lagi.
“Benarkah? Mbak dulu ingat waktu kecil adek sangat antusias saat memelihara hewan bahkan kepada tanaman pun begitu.”
“Itu, kan, dulu, sebelum aku mengerti bahwa aku tidak berbakat merawat makhluk hidup.”
“Meski begitu, sebulan sekali adek selalu berkunjung ke rumah ini dan bermain dengan kelima kucing mbak.”
“Bermain dan merawat itu dua hal berbeda, Mbak,” ujar Sera. “Kenapa gak dikasih atau dijual ke orang yang benar-benar bisa merawat mereka.”
Sinar wajah Luna langsung meredup. “Mbak bisa melakukan itu, tapi mbak lebih merasa lega kalau adek yang ngurusnya.”
“Nanti kalo mereka sakit atau mati, gimana?”
“Tak perlu khawatir.” Luna berdiri lalu berjalan ke rak bukunya sambil memegangi perutnya yang besar. Setelah itu ia kembali duduk di samping Sera. “Mbak sudah buatkan panduan untukmu. Lengkap.” Luna menyerahkan sebuah buku besar dan lumayan tebal. Sera menerima buku itu dan membaca judulnya dalam hati, “Panduan merawat buntelan berbulu.”
“Buntelan?” Salah satu alis Sera naik. “Kenapa kakak menyebut mereka buntelan? Bukannya mereka kucing?”