Adzan subuh berkumandang di mana-mana. Sera menggeliat di atas kasur. Ia memaksa dirinya untuk segera bangun. Ia berjalan dengan mata tertutup dan ajaibnya dia tak menabrak apa pun. Ia mencuci wajahnya, kedua tangan, kening, dua daun telinga dan kaki dengan air ledeng yang cukup membuat tubuh menggigil. Setelah itu ia melaksanakan sholat subuh dua rakaat beserta sholat sunnah-nya.
Sera sekarang ada di dapur. Ia mengambil roti tawar yang ada di dalam kulkas beserta mentega dan selai kacang. Ia meletakkan teflon anti lengketnya lalu kompor dinyalakan. Ia meletakkan sepotong mentega cukup besar lalu mencari karena panas. Segera ia meletakkan dua lembar roti tanpa pinggiran di atas sana. Cukup sekitar satu atau dua menit ia membalik roti-roti itu. Kemudian ia meletakkan roti panggang itu ke atas piring. Ia pun mulai memanggang dua lembar lagi. Setelah itu ia memasak satu telur mata sapi tanpa diberi garam. Selai kacangnya sudah cukup gurih dan asin, itu sudah cukup memberikan rasa untuk sarapannya hari ini.
Sera mulai mengoleskan selai kacang ke seluruh permukaan dua lembar roti. Kemudian ia menaruh telur mata sapinya diantara empat lembar roti. Sehingga susunan roti sandwich-nya adalah roti, selai kacang, roti, telur, roti, selai kacang, roti. Ia menutup sarapan paginya dengan tudung saji kue lalu ia ditindih dengan cobek batu.
Sera mengeluarkan sebungkus besar makanan kucing. Sesuai panduan dari kakaknya, setiap empat hari dalam seminggu para kucing akan diberi makanan kering. Satu cangkir untuk kucing dewasa dan setengah cangkir untuk anak kucing. Ia dengan sangat hati-hati menuangkan makanan itu ke dalam wadah makan mereka yang terbuat dari plastik. Ia tak mau pagi-pagi buta begini para kucing bernyanyi dan mengganggu tenangnya suasana pagi. Kemudian ia meletakkan semua wadah makan tersebut ke tempat biasa mereka makan. Dua di teras samping untuk dua bersaudara yang jarang bermain didalam rumah dan tiga untuk didalam.
Sera memasang sepatu olahraganya. Ia melakukan pemanasan sebelum berlari mengelilingi komplek. Ini rutinitas yang ia jalani sebelum bekerja agar bisa lebih fokus. Ia menutup pintu sepelan mungkin. Benar-benar pagi yang menyusahkan.
***
Abah membuka matanya. Ia menggeliat, meluruskan badannya. Kemudian indra penciumannya mendeteksi ada aroma enak menggugah selera. Ia berjalan dengan santai mengikuti aroma itu. Semakin dekat semakin pekat baunya dan mendadak baunya terbagi menjadi tiga arah. Ia harus memilih jalur mana yang harus ditempuh. Beruntung ia dibantu oleh aroma khas tubuhnya yang tertinggal di suatu area dekat meja pintu kaca geser. Ada dua aroma bercampur jadi satu. Ia segera mendeakti tempat itu. Ia mendapati semangkuk penuh makanan. Ia segera melahapnya hingga habis.
Selanjutnya King dan Jupiter bangun. Mereka melakukan hal yang serupa―menggeliat, meluruskan badan lalu mencari sarapan masing-masing. Begitu juga dengan dua kucing yang di teras samping. Setelah makan, mereka membersihkan diri, menjilati bagian tubuh mereka yang bisa dijangkau.
Garfield meluruskan punggungnya untuk kedua kalinya lalu menguap lebar. Ia berjalan menuju pintu masuk khusus kucing dekat pagar dapur. Ia menjelajahi setiap inci rumah Luna sambil mengendeus-endus. Prilakunya kini mirip kepala pelayan yang sedang memeriksa kinerja bawahannya. Aroma yang biasa ada di rumah ini masih sama dengan sedikit campuran dari aroma majikan barunya. Majikan barunya membuat rumah ini tetap bersih seperti biasa dan itu membuatnya ingin mengusilinya.
“Jangan berpikir untuk menjahilinya,” tegur Thunder.
“A-aku ti-tidak berpikir begitu,” ucap Garfield setelah kaget melihat saudarinya berdiri di sampingnya.
Thunder mengendus-endus tubuh Garfield. “Aku bisa mencium bau-bau jahil di tubuhmu.”
“Hei, mana ada seperti itu.”
“Tentu saja ada. Kau sudah sering berbuat onar, jadi baunya nempel di tubuhmu.”
“Berhentilah mengendusku!” Garfield mundur selangkah.
“Kenapa? Bukankah ini adalah hal wajar?”
“Ya, tapi saat ini kau terlihat menyebalkan. Menjauhlah!”
“Menyebalkan karena aku bisa menebak isi pikiranmu?”
“Terserah!”