Dua minggu sebelum kejadian kecelakaan...
Satu... Dua... Tiga....
Ayo kayuh terus sepedanya. Kayuh terus sampai kamu kelihatan pintu gerbang sekolahmu. Ayo, jangan menyerah!
Sepeda keranjang berwarna merah muda milik Natya terus mengayuh ke depan. Dia tidak peduli bunyi klakson mobil maupun motor di belakangnya yang menyuruhnya menepi. Pasalnya, jam telah menunjukkan pukul 06.40.
Artinya, dalam waktu 10 menit lagi pintu gerbang SMA Citraloka akan ditutup. Natya tidak ingin terlambat masuk sekolah. Ia juga enggan menambah catatan merah di buku kepribadiannya dan bertemu Bu Asih sang guru BK yang pasti akan menceramahinya tentang manajemen waktu.
Peluh di dahinya kian muncul sebesar biji jagung. Natya mengatur nafas dan kedua kakinya tetap berusaha sekeras mungkin mengayuh. Bahkan, ia terkadang berdiri sambil mengayuh agar kecepatannya bisa bertambah cepat.
Dalam jarak pandang 5 meter, Natya melihat pintu gerbang SMA Citraloka itu menutup dengan cepat. Gadis berambut sebahu itu pun berseru, heboh sendiri.
"Pak! Tunggu dulu! Jangan ditutup!" teriak Natya. Sayangnya, teriakannya tak mempan. Natya terlambat masuk sekolah lagi. Alamat ia akan berjumpa lagi dengan Bu Asih.
**
"Natya Arshinta, ckckck. Terlambat lagi," ujar seorang guru wanita berambut pendek tetapi digulung ke belakang. Dari nada bicaranya, guru BK bernama Bu Asih itu menurunkan sedikit kacamata hitamnya untuk membaca catatan buku yang berada di hadapannya.
"Kenapa kamu terlambat lagi? Hobi, ya? Tahu tidak, di sini tercatat kamu sudah terlambat 3 kali dalam seminggu. Kamu tahu apa artinya?" Bu Asih menunjuk-nunjuk buku kepribadian milik Natya penuh penekanan.
Ketika ditanya seperti itu, Natya menggeleng. Bu Asih seakan menunjukkan tanduk amarahnya sehingga membuat gadis di depannya menunduk ketakutan. Ditambah pelototan mata Bu Asih yang tajam menyorot penuh fokus kepada Natya.
"Itu artinya dalam waktu 5 hari kegiatan belajar mengajar, kamu selalu terlambat setiap harinya! Kamu ini niat sekolah atau tidak, sih Natya?"
"Maafkan saya Bu. Saya sudah pernah bilang ke Bu Asih kalau saya harus mengantar adik-adik saya sekolah. Dan saya mengantar mereka pakai sepeda ontel biasa..." ungkap Natya mencari pembelaan. Memang begitu kenyataannya, Natya harus mengantar sekolah adik-adiknya karena tak ada biaya untuk naik mikrolet sekalipun.
Natya harapan satu-satunya di keluarganya karena ia anak sulung. Terutama sejak sang ayah meninggalkan keluarga mereka.
"Selalu saja seperti itu alasanmu. Kemarin juga begini. Ibu tahu kondisimu tidak seberuntung anak-anak lain. Tapi kan, kamu bisa berangkat lebih awal. Tidak harus terlambat sekolah seperti ini terus menerus," omel Bu Asih seolah tidak mau tahu kondisi muridnya sendiri.
Natya tak berkutik. Ia hanya diam dan sekali lagi melantunkan ucapan maaf. Di kala Natya mendapatkan omelan, suara terdengar seseorang mengetuk pintu ruang BK.
"Masuk!" Bu Asih mempersilahkan seseorang yang mengetuk pintu tersebut. Seorang siswa laki-laki mengintip di balik pintu sebelum menampakkan diri seutuhnya. Dia tersenyum tipis, dan membawa beberapa tunpukan buku di tangan kirinya. Raga menyaksikan Natya, teman sekelasnya tampak lesu setelah dimarahi Bu Asih sekali lagi.
"Permisi Bu Asih. Apa Pak Totok ada di sini?"