Satu orang pelayan yang membangunkannya di pagi hari. Satu orang pelayan yang membawakan segelas air mineral dengan vitamin kepadanya. Satu orang pelayan yang membawakan satu stel baju dan celana yang bisa membeli makanan selama 1 bulan untuk sebuah keluarga kecil. Satu orang pelayan merapikan tempat tidurnya yang dilapisi kain sutra berwarna perak. Satu orang pelayan mempersiapkan sarapan di meja depan tempat tidurnya. Satu orang pelayan membawakan komputer tablet untuk ia membaca berita atau menonton hiburan. Satu orang pelayan menuangkan kopi, teh, atau susu sesuai dengan permintaannya. Satu orang pelayan dengan tangan yang halus namun bertenaga melepaskan ketegangan di pundak dan lehernya ketika ia mengamati komputer tabletnya.
Delapan pelayan setiap harinya menemani Archie di pagi hari. Putra bungsu dari orang terkaya di Jakarta ini dari kecil sudah dimanjakan oleh orang-orang disekitarnya. Archimedes Jayadika merupakan pangeran yang diimpi-impikan oleh semua orang yang mengenalnya. Semua anak laki-laki ingin berteman dengannya. Semua anak perempuan ingin mendekati dirinya. Tiga tahun lagi ketika usianya menginjak 18 tahun, ia akan bisa memilih salah satu perempuan yang ia kenal untuk dijadikan kekasihnya. Tidak akan ada wanita yang mampu menolaknya. Karena terperangkap oleh pesonanya, maupun karena rasa takut akan kekuasaan ayahnya.
“Apa rencana Anda hari ini, Master Archimedes?” Tanya pelayan yang sedang menuangkan gelas tehnya yang kedua. “Panggil saja aku Archie, tidak perlu pakai -medes, terlebih lagi tidak perlu pakai sebutan Master.” kata Archie. Pelayan tersebut menjawab, “ini merupakan arahan dari Master Ardiya.”
“Arahan atau perintah Papa?”
Pelayan tersebut menahan napas selama sepersekian detik, namun tetap berusaha menjaga wajah datarnya.
Dengan campuran kesal dan menyesal, Archie menyampaikan, “maaf, aku bukan bermaksud menyinggungmu.”
“Sayalah yang harusnya minta maaf, Master Archie,” pelayan itu seketika terdiam dan menjepit mulutnya rapat-rapat. Ia telah melakukan kesalahan fatal. Ia memanggil majikannya dengan nama panggilan. “Aku tidak akan cerita kepada siapapun, tenang saja,” Archie berusaha menenangkannya. “Termasuk kalian semua yang ada di sini,” perintah Archie kepada tujuh pelayan lainnya yang hanya mengangguk perlahan.
Ia membuka berita dari Rajawali. Rajawali adalah perusahaan penyedia berita yang masih beroperasi di zaman sekarang. Mereka dimiliki oleh satu keluarga Fakir di Jakarta, sehingga hanya orang yang memiliki uang saja yang bisa mendapatkan berita terbaru.
Ketika Archie sedang membaca sebuah berita, “Satu Keluarga di Daerah Parango Hilang dalam Semalam,” terdengar suara ketukan dari pintu kamarnya. Setelah ketukan dengan irama 3-2-3, masuklah seorang gadis bertubuh langsing dengan rambut coklat lurus sepunggung.
Ia mengenakan gaun merah yang indah dengan jahitan terbaik dan pola yang menunjukkan lekuk tubuhnya. Bagian belakang gaun tersebut tertutup rapat. Ketika ia berjalan, ujung gaun merahnya bergesekkan dengan karpet putih di lantai. Wajahnya yang cantik dan perawakannya yang elegan membuatnya menjadi pusat perhatian dimanapun ia berada.
Meskipun senyumnya hangat, semua orang di kamar itu tetap menggigil kedinginan setiap kali ia hadir. Kecuali adiknya. “Selamat pagi, Miss Lucretia,” sapa pelayan yang membawakan komputer tablet Archie. Sapaan tersebut hanya dibalas dengan senyuman darinya.
“Kak Lulu ada apa ke sini pagi-pagi?” tanya Archie.
"Ayah memanggil kita bertiga. Ada hal penting yang ingin disampaikan," jawabnya.
“Bertiga? Berarti Kak Jo juga?” tanya Archie kembali.
“Jonathan sudah ada di ruangan Papa,” jawab kakak perempuannya sambil mengelus kepala adiknya. “Ayo cepat habiskan sarapanmu, kamu belum lupa cara Papa mendidik kita kan?”
Punggung Archie terasa panas terbakar ketika mendengar pertanyaan itu. Ia dengan cepat mengubur dalam-dalam perasaan takutnya. Bagaimana mungkin ia bisa lupa dengan pengingat yang menempel di tubuhnya. Di tubuh mereka bertiga.
Setelah menghabiskan sarapan, Archie dan Lucretia berjalan menyusuri lorong rumahnya. Di sepanjang lorong, tembok-tembok ditempeli berbagai macam lukisan dan hiasan vas yang indah. Semua benda di rumah tersebut bersih tanpa debu sedikitpun. Lampu - lampu di atas menerangi setiap ruangan dengan cahaya putih keemasan. Setiap sudut rumah tidak ada aroma yang tidak sedap. Jendela yang tinggi membuat cahaya matahari masuk dan menciptakan bayangan dengan pola bunga yang indah. Saat Archie melihat keluar jendela, ia bisa melihat taman dengan 7 warna bunga yang tersebar dengan labirin di tengah taman tersebut. Puluhan rumah yang tidak kalah indah dengan rumah Archie terlihat di kejauhan dalam Perumahan Strata ini.
Archie dengan kakaknya tiba di ujung lorong balkon dengan tangga ke atas dan bawah. Tangga ke bawah menuju ruang tamu yang besar dan megah. Furnitur dengan ornamen emas menghiasi berbagai titik ruang tamu.
Mereka berdua mulai menaiki tangga berputar menuju lantai tiga. Di depan ujung tangga tersebut terdapat sebuah pintu besar yang berhiaskan ornamen kepala singa di depannya. Pintu tersebut dijaga oleh 2 orang dengan tubuh 3 kali lebih besar dari Archie. Kain merah gelap terlihat mencolok terikat di lengan mereka. Lucretia membuka pintu singa tersebut.
Di tengah ruangan tersebut, terdapat 2 orang. 1 orang lelaki muda yang seusia dengan Lucretia, mengenakan jas berwarna hitam dengan kemeja berwarna merah dan dasi putih. Kakinya panjang dan tubuhnya tidak gemuk, namun berisi. Di ujung kepalan tangannya terdapat beberapa lecet dan luka bakar berbentuk bulat. Rambutnya dengan rapi disisir ke arah kanan kepalanya meskipun di pagi hari. Archie tanpa sadar memegang dan menyisir rambutnya dengan tangannya. Lelaki muda ini sedang melihat layar TV besar yang terpasang di tembok ruangan tersebut.
Orang kedua yang duduk adalah lelaki yang membuat Archie tidak bisa tidur setiap malamnya. Ia lebih memilih untuk tidur bersama dengan monster di bawah kasurnya daripada harus tinggal 1 atap dengan lelaki ini. Ardiya Jayadika merupakan sebuah sosok yang mampu menimbulkan rasa takut bagi setiap orang yang melihatnya, termasuk ketiga anaknya. Dengan jas putih dan kemeja merah, ia duduk dengan tegak, namun tenang di kursinya. Sebatang rokok cerutu hinggap di sela-sela jari telunjuk dan jari tengahnya. Sebuah asbak di mejanya masih ditemani oleh helaian asap.
“Lucretia, Archimedes, kemari,” dengan ketenangan sebelum badai, ia memanggil kedua anaknya yang baru tiba.
“Iya, Papa,” jawab mereka berdua. Selama sepersekian detik, mereka berdua bertukar tatapan dengan Jonathan. Tumbuh bersama-sama membuat ketiga orang ini mampu memahami isi pikiran satu sama lain. Ardiya sedang marah besar.
Setelah beberapa saat, “Archie, apakah kau suka tinggal di tempat ini?” Archie berkedip. Kemudian ia menjawab, “Suka, Papa.”
“Pernahkah kau melihat kondisi hidup orang-orang di luar tembok sana?”
“Hanya di televisi atau berita-berita.” Archie menjawab sambil memaksa suaranya tidak keluar melalui tenggorokan yang gemetaran.
“Maukah kau tinggal di sana?”