Merah Putih

Kenny Marpow
Chapter #4

Teater

Getaran perutnya mengembalikan Nara ke momen saat ini. Ia tahu memikirkan masa lalu tidak akan mengubahnya. Namun langit sore selalu membawanya ke masa lampau. 

Ia duduk di atas atap setelah mengantarkan sebuah paket. Mengendarai motor di kota sama saja dengan bunuh diri. Motor dan mobil yang bukan milik anggota sindikat, atau dalam perlindungan mereka akan dijarah. Terlebih lagi dengan motor, pengemudi lebih terbuka, sehingga lebih mudah direbut.

Karena itu tidak ada orang yang mengendarai motor, terlebih lagi menggunakannya untuk mencari nafkah. Nara merupakan salah satu orang yang menyediakan jasa pengiriman barang dan uang.

Barang yang ingin dikirimkan dibungkus dan ditulis alamat lengkap penerima. Jika ingin menerima pembayaran, pengirim juga menulis jumlah uang yang ingin diterima. Kurir kemudian mengirim kembali pembayarannya. Bagaimana jika ada kurir yang kabur dengan uangnya?

Dalam dunia di mana alat komunikasi sangat langka, gosip dan kabar miring menjadi sumber informasi serta hiburan bagi warga sekitar. Nama pelaku pencuri uang akan dengan cepat menyebar dan ia tidak akan mendapat pesanan apapun lagi.

Dalam dunia di mana uang sangat langka, kepercayaan menjadi mata uang yang berharga.

Nara membuka bungkusan makan siangnya, sepotong roti jamur. Sebenarnya roti srikaya, tapi sudah dimodifikasi oleh alam menjadi roti jamur.

Belasan tahun mengonsumsi makanan yang tidak jelas asal-usulnya membuat daya tahan perut Nara menjadi abnormal. Meski demikian, ia tidak mau mengambil risiko hari ini.

Nara menyobek bagian yang dihiasi jamur dan melemparnya ke kawanan burung. Kasihan orang-orang yang berada di bawah kawanan burung itu nantinya.

Dengan nafsu seadanya, Nara menggigit roti tersebut secara perlahan. Setidaknya masih ada rasa asam manis dari srikaya, meskipun seingatnya srikaya tidak seasam ini.

Pada saat berusia 5 tahun, Nara bisa menikmati roti srikaya buatan ayah ibunya sepuas-puasnya. Setelah tokonya tutup pukul 5 sore, Nara dan keluarganya suka naik ke atap rumahnya dan melihat matahari terbenam.

Rumah sederhana itu terdiri 2 tingkat dengan kios sederhana di depan rumahnya. Di tingkat 1 ada ruang tamu dengan meja kayu dan televisi jaman dahulu, dapur tempat mereka memanggang roti, dan ruang makan. Tingkat 2 berisi kamar tempat tidur Nara dan orang tuanya, serta tangga untuk naik ke atap.

Setiap hari, Nara tidak sabar untuk menunggu matahari terbenam. Ia bisa bercerita tentang harinya di sekolah kepada ayah dan ibunya sambil menikmati roti kesukaannya.

“Pa, Ma, ada roti yang hangus yah?” tanya Nara cilik ketika ia mencium bau hangus. Ayah dan Ibunya saling bertatap-tatapan terkejut.

Air matanya menetes perlahan dan jatuh ke roti yang ia pegang. Sekarang rasanya menjadi manis, asam, dan asin. Nafsu makannya pun hilang. Nara menghapus air matanya dengan lengan jaket hitamnya dan bangkit dari tempat duduknya.

Ia tidak ingin pulang dengan rasa sedih di pundaknya. Sambil tersenyum nakal, ia mencari mangsa malam ini. Walaupun nafsu makannya hilang sekarang, mungkin akan kembali nanti malam. 

Tatapan matanya tertangkap oleh sebuah mobil berwarna merah yang melaju perlahan. Mobil milik Merah biasanya menyimpan banyak makanan segar berkat kerja samanya dengan penduduk Perumahan Strata. Bersyukurlah dengan kawanan Merah yang berhati sombong dan merasa perlu memamerkan kekayaan mereka. Mobil mereka pun melaju dengan perlahan. Nara mengikuti mobil tersebut sampai tujuan tanpa mengeluarkan keringat setetes pun. Ia bertengger di sebuah pohon yang tumbuh dekat gedung tersebut. Terjatuhlah cairan kental berwarna abu-abu dari atas, ditemani kicauan burung merpati.

2 orang pria dengan ornamen sindikat Darah Patriot turun dari mobil. 1 bertubuh tinggi dan gemuk dengan rambut tipis, satu lagi bertubuh langsing dengan rambut ala boyband Korea bangkrut. Mereka berdua diikuti oleh seorang wanita berambut panjang dengan gaun merah yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Selama seperseratus detik, Nara merasa minder dengan tubuhnya yang kurus tanpa gizi.

Ketiga orang Merah tersebut memasuki sebuah gedung yang kini sudah usang. Nara ingat ayahnya pernah mengajaknya ke gedung di tengah bangunan pencakar langit ini untuk menonton sebuah film. Nara hanya mengingat ia tertidur dengan pulas ketika karakter di film bernyanyi.

Dahulu kala, gedung teater ini dipenuhi dengan ratusan bahkan ribuan orang. Kini, hanya tikus dan serangga yang mengelilingi lorong teater. Meskipun demikian, masih terlihat bekas-bekas kejayaan teater di Jakarta ini. Bagian luar sebelah barat gedung ini masih utuh dan terlihat terawat. Sayangnya, hal yang sama tidak bisa dikatakan untuk bagian lainnya. Beberapa pilar pondasi masih menjulang ke langit-langit. Di dalam gedung tersebut, dapat tercium aroma popcorn busuk. Atau mungkin aroma itu datang dari pundaknya.

Lihat selengkapnya