Merah Putih

Kenny Marpow
Chapter #5

Pulang

Perut Nara terasa perih dan asam. Tinggal di daerah kumuh membuatnya sudah tidak asing dengan pemandangan, bahkan bau daging membusuk dari mayat. Tapi, ini baru pertama kalinya Nara menjadi saksi tindakan seperti itu. Dengan terpaksa ia menelan kembali apapun benda yang keluar dari kerongkongannya. Hanya ada satu hal yang dipikirkan Nara saat ini, “Aku harus keluar.”

“Hey, Tikus,” seru pemegang senjata api itu. Nara terdiam. Kakinya terasa seperti agar-agar yang bisa tumbang jika ia kehilangan konsentrasi. Nafasnya terasa panas di tenggorokan. Ia berharap wajahnya cukup tertutup oleh bayangan. “Sedang mengantarkan paket untuk ku yah?”

Theo membidik dengan cepat dan menekan pelatuknya.

DOR DOR.

Dua timah panas ditembakan ke arah Nara dan mengenai langit-langit. Nara berterima kasih kepada refleksnya yang sudah ia asah. Instingnya dapat merasakan lingkaran merah di punggungnya.

DOR

Tembakan ketiga diluncurkan dari tangan Theo. Nara dengan cepat menunduk menghindari peluru. Kurang cepat. Peluru tersebut tertanam di pinggang belakang sebelah kiri Nara. Rasa asam di mulutnya bercampur dengan rasa besi. Meski demikian, Nara tetap memaksakan kaki dan tangannya untuk bergerak membawanya menjauh dari si Iblis Merah.

Terdengar suara jentikan pelatuk berkali-kali. “Lain kali datang main lagi yah ke sini!” panggil Theo dengan ceria.

Matahari mulai terbenam dan langit pun mulai gelap. Setelah bertahun-tahun hidup di tempat yang gelap, Nara sudah biasa mengatur penglihatannya agar bisa melihat dalam gelap dengan lebih baik. Saat ini, pandangan Nara terasa lebih gelap daripada biasanya. Pinggul dan pahanya dihangatkan oleh aliran darah dari lubang di punggungnya menuju ke ujung kaki kirinya. Biasanya, meninggalkan jejak merupakan kesalahan terbesar seorang kurir. Namun Nara sudah tidak peduli lagi.

Tak percaya dengan kekuatan tangan dan kakinya saat itu, Nara memilih untuk berjalan kaki. Terangnya lampu lebih membuat matanya berkunang-kunang ketimbang menerangi jalannya. Tak kuat lagi melangkahkan kakinya, Nara kehilangan kesadaran di depan sebuah gubuk tua.

Rasa perih menyambut bangunnya dari tidur. Matanya terkunci oleh kerak air mata dan keringat, bagian kiri bawah tubuhnya terasa kaku dan mati rasa. Ia berada dalam posisi tengkurap. Kepalanya berdengung dan tenggorokannya seperti dipenuhi mata gergaji. Nara mencoba untuk mendorong tubuhnya bangkit dari posisi tidur. Kekuatannya seketika menghilang ketika sebuah tangan menahan pundaknya dan mendorongnya kembali tiduran.

“Jangan bangun dulu. Kamu kehilangan banyak darah,” kata seorang pria dengan halus namun tegas. Nara pun tidak memiliki tenaga lagi untuk melawan.

“Ini di mana?” tanya Nara.

“Kenapa semua orang yang baru bangun setelah pingsan menanyakan hal itu?” tanyanya kembali.

“Aku tidak tahu masih ada tenaga medis di tempat kumuh seperti Bastil,” jawab Nara dengan lemas.

“Aku hanya seorang tukang jahit.”

Lihat selengkapnya