Resleting dari jaket biru tuanya ia naikkan sampai ke leher. Jam tangan dengan jarum pendek menunjukkan angka 11 ia kancingkan ke lengan kanannya. Gelang karet berwarna merah dimasukkan ke lengan kirinya.
Archie melangkah keluar dari rumah itu diawasi oleh para pelayan dengan kedua tangannya di kantung jaket. Ketika di depan pintu utama, ia dihentikan oleh suara namanya dari tangga lantai 2.
"Archie," seru seorang pria yang sudah ia kenal sejak lahir.
"Kak Jo," Archie mulai merangkai kata-kata untuk membuat kakaknya tidak menghiraukan kepergiannya malam itu. Sebuah hal yang sulit dilakukan. Mengharapkan Kak Jo tidak mengkhawatirkan saudaranya sama saja seperti menyuruhnya berhenti bernafas.
"Mau ke mana kamu malam-malam begini?" tanya kakaknya.
"Kakak kenapa belum tidur?"
"Hei, aku yang memberikan pertanyaan," jawab kakaknya dengan tersenyum. Kemudian senyumnya hilang seketika, menunggu jawaban dari pertanyaannya kepada Archie.
"Aku tidak bisa tidur, jadi aku ingin keluar mencari udara segar," alasan klasik. Ia tampaknya harus membuat daftar-daftar kebohongan yang bisa ia gunakan. Niat itu ia urungkan ketika mempertimbangkan resikonya jika catatan itu ditemukan.
"Mau bertemu wanita yah?" ujarnya sambil berjalan menuruni tangga.
Hanya sebuah "Ha?" yang bisa ia katakan untuk kedua kalinya hari ini.
"Kakak masih menunggu jawabanmu, Archie"
"Aku sudah katakan, kak. Aku tidak bisa tidur."
Posisi mereka sekarang sudah dekat. Hidung mereka hampir bertemuan. Sayangnya, Archie lebih pendek beberapa sentimeter dari Jonathan.
“Bukan mau pergi menjadi pahlawan?”
“Ha?” untuk yang ketiga kalinya.
Jonathan tersenyum dan mengelus rambut di kepala adiknya. Archie tahu bahwa Jonathan sangat teliti dan sulit untuk menyembunyikan sesuatu darinya.
“Tenang saja, kakak tidak akan beritahu siapa-siapa. Tapi, kamu harus lebih berhati-hati dan ubah cara-caramu. Kalau aku bisa tahu, cepat atau lambat Ayah juga bisa tahu. Suatu saat nanti kamu akan mematahkan hati Lulu.”
Dan juga hati Jonathan. Kata-kata yang tidak ia katakan kepada adiknya. “Jalankan apa yang kata hatimu katakan. Tapi, tetap gunakan otakmu.”
“Iya, kak,” jawab Archie dengan malu.
“Kamu bisa jaga dirimu di luar sana?”
Archie mengeluarkan lengan kirinya dari kantong jaket dan memperlihatkan gelang karet merahnya.
“Ah, bukan itu yang kakak maksud, tapi ya sudahlah. Jangan pulang terlalu larut.”
Anggukan kepala adiknya membawa senyuman kepada bibir Jonathan.
Memang benar bahwa Archie tidak bisa tidur malam itu. Lebih tepatnya setiap malam. Terlebih lagi ketika Archie bertekad untuk membantu orang yang telah ayahnya celakai. Ia merasa bertanggung jawab terhadap tindakan keluarganya yang telah membuat orang lain menangis dan menderita.