Udara yang panas membuatnya terbangun oleh keringatnya sendiri. Cuaca pagi hari di ketinggian 130 meter memberikan suasana yang nyaman dan sejuk. Namun, semua itu berlawanan dengan siang hari. Punggungnya yang lengket memberitahukan Nara bahwa sekarang sudah sekitar pukul 11 siang. Hal itu juga sebuah pengingat kapan ia terakhir membersihkan tubuhnya. 3 hari yang lalu?
Keinginannya untuk membersihkan diri terasa sangat besar. Ia merasa seperti lapisan kulitnya bertambah beberapa lapis. Dengan rasa jijik dan penasaran ia menggulung lengan bajunya, kemudian menggosok lengan tangan kanannya di bawah luka bakar di sikunya. Beberapa helai kotoran hitam mulai berjatuhan ke lantai.
Biasanya Nara hanya membersihkan dirinya di sebuah kolam di taman tempat tinggalnya. Itu pun hanya ia lakukan tengah malam agar tidak ada yang melihatnya. Ia berusaha menahan keinginan tersebut, namun tidak berguna. Ia harus mengupas kulitnya agar bisa berkonsentrasi menjalankan hari ini. Nara mengenakan celana jeans, jaket hitam, dan sarung tangannya. Ia juga membawa sepasang baju dan celana yang masih bersih di dalam ranselnya.
Dengan satu tali tambang di tengah ruangan yang tinggi itu, ia meluncur turun. Di setiap lift buatan yang ia temui, ia berhenti dan memutar katrol bawah agar beban kembali dan terkunci di atas.
Ia berjalan ke arah sebuah kolam sambil melirik kiri dan kanan. Biasanya tidak ada orang di taman yang penuh dengan kenangan buruk bagi warga Jakarta ini. Namun, tidak ada salahnya berhati-hati.
Untungnya tidak ada orang di sekitar kolam tersebut. Dengan cepat, Nara melepas bajunya dan mencelupkan dirinya ke kolam. Ia menggosok-gosok tubuhnya dan melepaskan segala macam kotoran yang menempel di tubuhnya. Ia juga merendam dan menggosok pakain kotornya. Nara masih mengalami sedikit rasa nyeri di punggung kirinya. Ketika ia melihat ke belakang, lubang di tubuhnya terjahit dengan rapi. Tampaknya Pak Rustam bukan penjahit biasa.
Setelah merasa cukup bersih, Nara pun melangkah keluar dari kolam dan mengeringkan tubuhnya. Baju dan handuknya yang sudah bersih ia gantung di sebatang pohon di dekat kolam. Ia merasa tempat itu cukup aman, karena terdapat banyak helaian baju bertebaran di mana-mana. Setelah mengenakan pakaian kembali ia melangkah pergi ke tempat sampah. Ia merasa usahanya mempertaruhkan kesucian tubuhnya beberapa menit lalu sedikit sia-sia.
Pertemuan Nara dengan Theodor Russel memberikannya inspirasi. Selama ini, ia memilih untuk menghindari konflik langsung dengan orang lain. Nara merasa lebih percaya diri menggunakan siasat dan tipu muslihat ketika berhadapan dengan sebuah ancaman. Ia selalu berhasil melarikan diri dan menghindari kejaran orang-orang yang ingin melukainya. Atau mungkin mereka hanya ingin barang milik mereka kembali.
Kejadian kemarin memberikan Nara sebuah pemikiran. Bagaimana jika suatu saat ia dihadapkan pada kondisi di mana tidak ada jalan keluar? Nara cukup beruntung dalam konflik di teater. Bagaimana jika tidak ada lagi kesempatan kedua? Ia butuh sebuah alat untuk melawan. Sebuah alat mempertahankan diri. Alat untuk menghajar orang-orang yang patut dihajar. Sebuah senjata.
Tumpukan sampah di tempat pembuangan itu bagaikan harta karun bagi Nara saat itu. Begitu banyak bahan-bahan yang bisa ia rancang sebagai senjata. Pertama-tama, ia menyingkirkan benda-benda yang tajam. Salah satu senjata yang ia temukan adalah sebuah Karambit. Namun jika penggunanya tidak berpengalaman, akan sulit untuk menggunakan pisau mematikan ini.
Kalau bisa, ia memilih untuk tidak mengambil nyawa orang lain. Terlebih lagi, ia menghindari mencabut nyawanya sendiri.
Ia juga menyingkirkan beberapa senjata api yang ia temukan. Selain lebih susah untuk diperbaiki, sangat sulit untuk mendapatkan peluru di tempat ini. Langkanya peluru membuat butiran mungil itu sering digunakan sebagai mata uang alternatif. Jika ia menemukan peluru di tempat ini, mungkin ia bisa memperbaiki beberapa senjata api yang ditemukan dengan panduan dari sebuah majalah yang ia temukan di kamarnya.
Mata Nara tertangkap oleh warna hijau terang dan bentuk yang unik dari sebuah mainan anak-anak. Mainan itu berbentuk dua buah piringan tebal dengan benang yang melilit bagian di antara keduanya. Di salah satu piringan terdapat bekas tempelan stiker, dan di satu piringan lagi terdapat stiker yang mulai pudar. Kata Yo-yo tertulis dengan buram di stiker itu.
Ketika Nara melempar Yo-yo itu, piringan yang terlilit benang di tangan Nara dengan cepat kembali ke tangannya. Senjata yang kecil, mudah digunakan, dan mudah disimpan. Ia bisa membuat versi yang lebih berbahaya dan bisa melukai orang. Ia hanya memerlukan tali yang lebih tebal dan piringan yang lebih berat.
Nara mencoba menggunakan kabel listrik untuk mengganti benang Yo-yo dan menempelkan beberapa piringan baja yang ia temukan ke piringan Yo-yo. Setelah mencoba mengayunkan Yo-yo tersebut beberapa kali, tali kabel yang yang Nara gunakan mulai kusut. Lilitan di piringan Yo-yo juga semakin lama semakin kendur. Nara memutar kembali otaknya untuk mencari ide.
Setelah ia menghabiskan waktu sekitar empat puluh lima menit, Nara menemukan sebuah bola hitam yang cukup berat. Bola itu ia lubangi dengan bor manual yang ia temui 2 tahun lalu dan disimpan di meja tempat kerjanya.
Karena tidak ada yang menjaga tempat ini, Nara secara otomatis mengambil hak milik tempat pembuangan yang penuh dengan potensi itu.