Ujung-ujung jari Archie mulai perih setelah kukunya ia gigiti sampai habis. Perutnya terasa panas dan mengeluarkan bunyi yang aneh sejak ia disajikan hidangan bintang lima a la Yudhi. Dalam pertemuannya kemarin, Archie diberikan izin untuk tidak memanggil pemimpin si Putih dengan sebutan Mentor. Malahan, ia mengizinkan Archie memanggilnya dengan sebutan akrab.
“Theo dan Yudhi.” Dalam kurun waktu kurang dari satu minggu, ia sudah akrab dengan dua orang paling berbahaya di Indonesia. Entah Archie harus merasa bangga atau gelisah.
Rasa lapar membuatnya tidak bisa berkonsentrasi terhadap rencana malam ini. Ia terus mengulangi langkah-langkah yang ia buat sendiri. Bagaimana jika Yudhi tidak menjalankan perannya? Bagaimana jika pengikutnya tidak berada di posisi yang tepat? Bagaimana kalau si Merah salah menangkap orang?
“Archie, kamu harus makan!” seru Lulu yang sedang duduk di seberang Archie di kamarnya. Mereka dipisahkan oleh meja sarapan Archie. “Sudah dua hari kamu hanya makan dua atau tiga suap saja.”
“Aku sedang tidak lapar, Kak,” mulutnya sekali lagi membohongi perutnya yang keroncongan.
“Kenapa kamu selalu menutupi masalahmu? Archie, kamu adalah adikku dan Jo. Kamu tahu kalau kamu bisa mempercayai kami,” kata kakaknya.
“Tidak ada apa-apa kak, aku hanya sedang tidak nafsu makan saja.”
“Apakah ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari kami berdua?”
Archie mengambil segelas air di mejanya dan menegak beberapa teguk air agar ia tidak perlu menjawab pertanyaan itu.
“Archie…” kata kakaknya dengan nada yang tegas dan mengancam. Berlawanan dengan tanggung jawabnya dalam bisnis keluarga mereka, Lulu memiliki sifat yang ceria dan peduli kepada siapa saja. Termasuk para pelayan yang menatap kakaknya dengan berbagai tatapan.
“Aku benar-benar tidak menyembunyikan sesuatu dari kalian berdua,” Archie setengah berbohong. Ia tidak menyembunyikan sesuatu dari Jo dan Lulu. Jo sudah mengetahui rahasianya.
Kakaknya memasang wajah sedih, “Apakah karena aku lebih muda dari Jo? Apakah karena aku anak tengah?”
“Kak Lulu, umur kalian hanya berbeda dua puluh tiga menit.”
Setelah menghela nafas yang panjang, kakaknya mengatakan, “Archie, terkadang aku merasa, kamu menopang beban yang lebih berat dari yang seharusnya kamu topang.”
“Kita semua menopang beban yang seharusnya tidak kita topang, Kak!” bentak Archie kepada kakaknya. Lulu seketika tersentak dan matanya mulai berkaca-kaca.
“Maaf, Kak,” Archie langsung menyesali perbuatannya.
“Tidak apa-apa, kakak mengerti benar perasaanmu.”
Anak-anak remaja yang harus melakukan tindakan di luar moril dan etika manusia. Menggelapkan senjata dan narkotika, menyembelih makhluk hidup, mengantarkan orang-orang tak bersalah menuju penderitaan. Darah dan timah sudah menjadi simbol keluarga Jayadika.
“Sebagai permintaan maafmu, maukah kamu melakukan sesuatu untuk kakakmu ini?” tanya Lulu. Pertanyaan itu dibalas dengan anggukan oleh Archie.