Kepala Archie berdengung tidak karuan. Ia belum pernah ditendang sekuat ini, terlebih lagi oleh seorang perempuan. Tendangannya terasa seperti besi baja yang dihantamkan ke dadanya. Sesak nafas akibat kesakitan bercampur dengan rasa panik menyelimuti otaknya
“HEY!” teriak Archie ketika ia melihat perempuan itu kembali. Archie berdiri dengan sempoyongan dan menghampiri gadis itu. Gadis itu juga berjalan ke arah Archie dengan santai. Perawakannya yang tenang ditambah lagi dengan gelapnya malam yang menutupi wajahnya membuat Archie sedikit takut.
“Jangan dekat-dekat,” Archie memperingatkannya sambil menodong perempuan itu dengan sebuah suntikan obat bius. Gadis itu hanya memiringkan kepalanya yang tertutup jaket hitam. Ia mengambil sebuah pintalan kabel yang diikatkan ke sebuah bola di ujungnya dari pinggang celana jeans yang dikenakannya.
“Senjata yang aneh,” kata Archie untuk memancing lawannya. Gadis itu hanya mengeluarkan tangan kirinya ke depan, dan mengayunkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke depan dan ke belakang. Sebuah tantangan.
Archie menerima tantangan itu dan melaju ke depan untuk menancapkan suntikan berisi obat bius Lulu. Gadis itu membalasnya dengan meregangkan kabel di tangan kanannya. Ia menghindar sambil melilitkan kabel itu ke tangan Archie, membalikkan tubuhnya, mengangkat tangan Archie yang terikat, kemudian mengangkat tubuhnya ke atas.
Selama satu detik, Archie merasakan sensasi terbang di udara. Detik berikutnya, punggungnya bertabrakan dengan tanah. Hantaman itu memaksa nafasnya keluar dari paru-paru dan penglihatannya menjadi berkunang-kunang. Berada dalam posisi telentang di tanah membuatnya ingin beristirahat dan tidak ingin bangun lagi sampai matahari terbit. Sekujur tubuhnya terasa memar.
Anggota Garuda Nirmala yang sebelumnya bersembunyi menghampiri pertikaian di belakang truk. Ia pasti mendengar suara teriakan Archie. Sedikit rasa malu menghampiri wajah Archie. Pergelangan tangan kirinya telah dinodai darah dari si Merah yang sekarang Archie lihat melalui kolong truk sedang terbaring lemas seperti Archie. Bedanya, ia masih tetap bernafas.
Si Putih mencoba memutuskan urat nadi di leher gadis misterius itu. Setelah tiga kali ayunan, gadis itu melemparkan bola yang terikat dengan kabel itu ke pergelangan tangan si Putih dari samping. Bola itu melewati bawah lengannya dan berputar kembali ke atas karena kabel penghubungnya tersangkut di lengannya. Dalam satu gerakan, ia menangkap bola itu dan ia putar pilinan kabelnya agar semakin ketat.
Gadis itu menarik si Putih mendekat, dan menghajar wajah dan tubuhnya dengan tangan kirinya yang kosong. Tinju pertama diayunkan ke jakunnya. Tinju berikutnya ia ayunkan dari kanan ke kiri, sehingga punggung tangannya menghantam rahang kiri si Putih. Tidak jauh berbeda ketika ayahnya memukul Archie. Kemudian, gadis itu mengangkat lututnya dengan cepat ke arah selangkangan si pria. Si Putih pun membungkuk kesakitan dan kakinya mulai kehilangan tenaga.
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan yang muncul, gadis itu melepaskan kabel di tangan kanannya, kemudian menggenggam kepala si Putih dengan kedua tangannya. Ia tarik ke bawah dan sekali lagi, diangkatlah lututnya ke tengah-tengah kepala si Putih. Suara yang ditimbulkan terdengar nyaring di tengah heningnya malam.
Sebelum si Putih jatuh pingsan ke punggungnya, gadis itu menggenggam kembali pintalan kabelnya yang masih terikat di lengan kiri lawannya. Ia biarkan lilitan itu terlepas dan musuhnya terjatuh. Cahaya bulan malam hari itu menyinari gadis itu dengan samar-samar dan menunjukkan pakaiannya yang serba hitam seperti warna rambut dan kedua buah matanya.
Archie memaksakan dirinya untuk berdiri dan mempertahankan dirinya. Ia tidak bisa membiarkan rencana ini kacau. “Siapa kau sebenarnya?” tanya Archie dengan gemetar, karena marah atau karena ia tidak lagi memiliki tenaga.
Gadis itu mengambil suntikan obat bius dan menancapkannya ke leher Archie. Merasakan obat buatan kakaknya sendiri, mata Archie mulai gelap dan kesadarannya mulai pudar. Tanah yang keras itu terasa seperti kasur di kamarnya.
“Tarik nafasmu dengan perlahan. Pohon dan rerumputan juga memiliki mata dan telinga. Jangan membuat terlalu banyak suara,” kata ayahnya.
“Selalu perhatikan langkah kakimu. Perbedaan malam ini kita makan daging atau rumput hanya setipis dahan pohon.”
Archie mengangguk. Ia menarik nafasnya dengan perlahan sesuai ajaran ayahnya, dan ia hembuskan lagi lewat hidung. Setiap tarikan nafasnya membuat udara dingin masuk ke paru-parunya. Hidungnya terasa perih, namun membuat otaknya semakin fokus pada pagi hari itu. Senapan jarak jauh di tangannya terasa berat, namun meyakinkan setiap langkahnya.