Archie mulai sedikit menyesali kecepatannya dalam mengambil keputusan. Ia sudah pernah berhadapan langsung dengan Theo dan Yudhi. Mereka bukanlah orang yang dapat dihadapi dengan mudah. Menatap matanya saja Archie gemetar. Bagaimana ia harus mengalahkan mereka berdua? Apa yang harus Archie lakukan untuk menghilangkan ancaman dari Theo dan Yudhi?
“Aku ingin kalian berdua mengatasi Theodor dan Yudhistira,” kata Dirman.
“Tunggu dulu, apa kamu tidak salah?” protes Archie. “Kami berdua hanyalah pemula, bagaimana mungkin kami bisa melakukan misi sepenting ini?”
“Jika kita mengeliminasi Theodor, Yudhistira akan dengan cepat menguasai Indonesia. Begitu pula dengan sebaliknya. Jika mereka tidak dinetralkan pada tempat dan waktu yang sama, salah satu dari sindikat itu akan menghancurkan Indonesia. Suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, konflik antara mereka berdua adalah benang yang menahan Indonesia jatuh ke dalam kehancuran total.”
Nara berkata, “bukankah ini terlalu tergesa-gesa? Kami masih belum memiliki pengalaman apa-apa.”
“Justru kalian berdua lah yang memiliki kesempatan paling besar untuk berhasil dalam misi ini,” kata Dirman yang membuat mereka berdua bingung. “Kalian berdua memiliki banyak sekali pengalaman. Hanya perlu kalian terapkan dalam misi ini.”
“Tidak ada satupun sumber informasi yang memberitahukan tata letak Rumah Jayadika. Tetapi, beberapa saat lalu, kalian baru saja keluar dari rumah itu. Apalagi Archie yang sudah tinggal di rumah itu selama bertahun-tahun.”
“Aku bisa menggambarkan sebuah peta untuk kalian, dan juga rute patroli setiap jamnya,” kata Archie.
Dirman menggelengkan kepalanya, “Tidak bisa. Archie, kamu sangat penting dalam rencana ini. Berhasil atau tidaknya misi ini tergantung dari perananmu.”
Archie merasakan beban yang sangat berat di hati dan pundaknya.
“Berdasarkan informasi yang kami terima, besok malam Yudhistira akan bertamu ke Rumah Jayadika untuk membicarakan konflik yang barusan terjadi. Jika Archie bisa membakar api konflik di antara mereka berdua, mungkin mereka akan membunuh satu sama lain. Atau setidaknya cukup lemah untuk kalian menyelesaikan tugas kalian,” ucap Dirman.
“Nara, kamu lebih ahli dalam hal mengendap-endap, kamu akan menjadi pendukung Archie di setiap kondisi dari dalam bayangan.”
Nara menganggukkan kepalanya. Matanya menunjukkan rasa panik yang sama dengan yang dialami Archie saat ini. Besok malam, mereka harus berhadapan dengan dua orang paling berkuasa di Indonesia.
Dirman menepuk kedua tangannya sehingga Archie dan Nara berkonsentrasi kepada kata-katanya, “Baiklah! Begini rencananya. Dengarkan baik-baik...”
“Apa kau sudah siap?” tanya Nara kepada Archie untuk yang kesekian kalinya.
Archie menghela nafas, “Okey, siap.”
Nara menarik tangan kanannya ke belakang.
“Tunggu tunggu tunggu, aku belum siap!” kata Archie.
Nara menurunkan tangannya kembali. “Cepatlah, kita tidak punya waktu banyak!”
“Hei! Aku sudah merasakan tendanganmu ke tubuh. Aku tidak mau merasakan tinjumu ke wajahku.”
“Jadi kau mau jadi pengecut sekarang?” kata Nara.
“Oke oke oke…” kata Archie sambil menghela nafas. “Coba kau hitung sampai tiga.”
“Okey,” Nara menarik kembali tangan kanannya. “Satu…”
POW
Archie menahan teriakan kesakitannya sambil memegang pipi kirinya.
“Kenapa hanya menghitung sampai satu!?” pipi Archie terasa bengkak dan giginya terasa longgar setelah menerima tinju dari Nara. Senyum yang lebar menghiasi wajah Nara.
Pada malam hari, Archie berjalan masuk ke dalam perumahan Strata melalui gerbang depan. Para penjaga yang melihat Archie dalam kondisi babak belur akan memberi kabar kepada si Merah yang berada di Rumah Jayadika. Setelah itu, Archie masuk ke dalam mobil yang menjemputnya pulang.
Archie berusaha mencari Nara di atap-atap rumah, namun gelapnya malam menutup setiap bagian atap perumahan itu. Entah memang Nara yang lihai atau ia tidak berhasil mengikuti mobil ini. Pikiran itu membuat Archie panik, tapi tidak sepanik saat ia melihat pemandangan di depan.
Sekali lagi Nara melewati atap rumah yang sama ketika ia mengejar Pak Rustam. Mata terkunci pada mobil yang membawa Archie. Pandangannya hanya teralihkan ketika ia harus melompat menyeberangi atap rumah-rumah dan ketika ia melihat barisan orang di djalanan.
Kurang lebih ada tiga puluh orang sedang berbondong-bondong ke arah rumah Archie. Mereka dipimpin oleh seseorang berjubah putih dengan pelindung bahu. Yudhistira Alfira. Apa yang mereka bawa lebih mengejutkan daripada jumlah mereka.
Di tengah-tengah gerombolan Putih itu terdapat beberapa orang yang mengangkat sebuah keranjang kayu yang besar. Di dalam keranjang kayu tersebut menjulang enam buah tiang kayu. Di masing-masing tiang itu terikat satu jenazah yang sudah dikuliti dari leher sampai ujung kaki. Wajah mereka berwarna biru kehitaman karena darah mereka terkuras habis. Walaupun wajah mereka berada dalam kondisi demikian, Nara merasa pernah melihat wajah mereka. Mereka adalah orang-orang yang satu kelompok dengan Pak Rustam di dalam truk Archie. Bau busuk tercium dari atas atap.
Yudhistira telah melanggar janjinya kepada Archie untuk melepaskan orang-orang itu. Nara tidak bisa membayangkan perasaan Archie yang sekarang berada di dalam mobil. Mereka diarak bagaikan sebuah piala. Sebuah peringatan kepada para Merah yang berada di sekitar mereka. Setan Putih bukanlah mitos.
Archie ingin berteriak. Mobil tempat ia duduk dengan nyaman kini terasa sempit. Ia paksakan nafasnya untuk tetap tenang dan tangannya untuk tidak gemetar. Archie harus tetap tenang. Kalau tidak, si Pengemudi akan mulai curiga dan gosip bisa menyebar.
“Tidak apa-apa Archie. Kau tidak perlu berpura-pura di sini,” kata Jonathan yang sedang mengemudi. Archie pun terkejut melihat kakaknya di kursi pengemudi.
Seketika itu juga, sandiwara yang dijalankan Archie runtuh. Air matanya langsung mengalir dan teriakannya menggetarkan seisi mobil. Kalau kaca mobil itu tidak dilapisi filter, orang luar akan menganggap Archie gila.
Bodoh. Archie merasa ia adalah orang paling bodoh di dunia, mempercayakan nyawa orang-orang yang tidak bersalah kepada kriminal dengan nama panggilan Setan Putih. Archie harus menebus kesalahannya. Apapun yang terjadi, malam ini Yudhistira dan Theodor harus mati.
Nara melihat mobil Archie melewati kelompok itu dengan perlahan. Ia harus memastikan Archie tetap fokus pada rencana awalnya. Dengan cepat, Nara melaju ke arah rumah Archie dan menunggu kehadiran mobil itu di dalam taman labirin.
Ketika mobil itu berhenti di tempat, Nara langsung membuka pintu mobil itu dan membiarkan dirinya masuk ke dalam. Dengan M1911 di tangan kanannya yang ia arahkan ke Pengemudi, Nara berkata, “Archie dengarkan aku baik-baik.”
“Nara…” ucap Archie.
“Aku melihat mereka di jalan tadi. Aku mengerti perasaanmu, tapi kamu harus tetap fokus. Jangan terbawa oleh perasaan pribadi. Tetap lakukan sesuai rencana.” kata Nara dengan perlahan kepada temannya.
“Bisa kau arahkan pistol itu ke arah lain?” kata si pengemudi. Nara semakin menekankan pistolnya ke pelipis pria itu.
“Nara, perkenalkan ini kak Jo. Kak Jo, ini Nara.” kata Archie.
“Oh. Hai. Salam kenal,” kata Nara sambil tersipu malu. Kakak Archie menembakkan senyuman paling indah yang pernah ia lihat. Nara sampai lupa sejenak untuk menurunkan pistolnya. Tatapannya kembali tertuju kepada temannya.
“Archie…”
“Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Malam ini, perselisihan antara Merah dan Putih akan berakhir.”
Nada bicara Archie membuat Nara menjadi khawatir.
“Kita tetap melakukan ini sesuai rencanamu kan?” tanya Nara
“Aku akan mengadu domba mereka berdua. Kau carilah peralatan Kak Lulu,” nada bicara Archie sama seperti ketika mereka bertemu pertama kalinya. Meskipun baru satu malam, rasanya sudah seperti kehidupan lampau. Namun kali ini, Nara tidak merasakan suatu kepura-puraan dalam suara Archie.
Dengan sebuah genggaman tangan, Nara memberikan semangat kepada Archie. Mereka berdua pun keluar dari mobil. Nara dengan mengendap-endap, Archie dengan tekad di matanya.
Ketika sudah berada di depan jendela tingkat dua yang digambarkan oleh Archie, Nara menembakkan Peluncurnya. Ia naik ke daun jendela itu bersamaan dengan tertutupnya pintu kamar Lulu. Kamar itu dilengkapi dengan sebuah kasur yang megah dan tembok berwarna merah muda. Pintu kamar terletak di seberang jendela. Di sebelahnya, terdapat sebuah meja rias dengan peralatan yang lengkap. Beberapa benda di atas meja itu tampak asing bagi Nara. Satu benda yang tidak asing adalah kotak besi yang menyimpan obat-obatan Lulu.
Dengan kotak itu di tangannya, Nara kembali keluar dari jendela menuju jendela besar di lantai 3.
Archie dan Jonathan turun dari mobil yang Putra Bungsu Jayadika. Mereka berdua disambut oleh Lucretia. Melihat wajah adik kecilnya yang babak belur, Lulu langsung memeluk Archie.
“Kak Lulu, aku tidak apa-apa,” kata Archie meyakinkan kakaknya.
“Biarkan aku merawat lukamu,” kata Lulu.
“Belum, masih ada sesuatu yang harus kita selesaikan terlebih dahulu.” Archie mengajak kedua kakaknya untuk melihat ke belakang di mana pasukan Garuda Nirmala sedang membawa enam jenazah ke depan pintu Rumah Jayadika. Yudhistira sang Mentor melangkah menghampiri mereka sedangkan pengikutnya tetap diam di halaman rumah. Ia diikuti oleh dua orang pengikutnya. Archie mengenal mereka sebagai kedua anggota putih yang menyerang truk kemarin malam. Sebelum mereka dan enam orang di dalam truk itu menghilang.
Dalam waktu sehari, jasad mereka sudah lemas tergantung dari tiang kayu.
“Ah… ketiga putra dan putri Jan de la Court,” katanya. “Aku masih ingat aroma keluarga kalian di atas perapian.” Matanya terdiam sejenak saat bertatapan dengan Archie. “Di mana Theo? Masih bersembunyi di gedung teater bersama tikus-tikus lainnya?”
“Aku di sini,” seru Theo dari tangga tingkat tiga. Tidak seperti ketika bertemu dengan Archie, tidak ada senyum sedikitpun di wajahnya.
“Aku meminta ganti rugi atas perbuatanmu melanggar perjanjian Zona Netral,” kata Yudhi
“Tidak ada bukti yang menyatakan kami mencelakakan siapa pun,” jawab Theo.