Blurb
"Subhanallah ... indah nian lukisan-Mu, Rabb!" seru Fatih dengan takzim dari balik jendela kobong yang sedikit terbuka. Jendela kamarnya di asrama tepat menghadap ke arah matahari terbenam, membingkai lukisan senja Yang Mahasempurna. Ini memang bukan senja pertama bagi Fatih. Sudah lebih dari dua tahun ia menjadi santri di Raudhatul Muhtadin, salah satu pesantren tua di Cipare, Serang. Namun, selama tinggal di sini, ia belum pernah berkesempatan menikmati keindahan senja seperti sore ini. Hingga seminggu yang lalu, di depan kobong-nya masih berdiri bangunan sederhana yang dulunya adalah aula pengajian santri. Pada saat itu pesantren hanya menerima murid laki-laki. Bangunan itu sudah tidak terurus setelah Kiai Syamsul Anwar memutuskan untuk menerima santriwati dan membangun aula baru di depan rumahnya. Kini bangunan yang temboknya sudah retak dan lantainya mulai hancur dimakan usia itu telah dibongkar sempurna. Hilangnya bangunan itu dari pandangan membuat Fatih leluasa menikmati matahari senja.