Merajut Rahmat Cinta

Bentang Pustaka
Chapter #1

Bidadari di Senja Pertama

Bidadari di Senja Pertama

“Subhanallah ... indah nian lukisan-Mu, Rabb!” seru Fatih dengan takzim dari balik jendela kobong yang sedikit terbuka. Jendela kamarnya di asrama tepat menghadap ke arah matahari terbenam, membingkai lukisan senja Yang Mahasempurna. Ini memang bukan senja pertama bagi Fatih. Sudah lebih dari dua tahun ia menjadi santri di Raudhatul Muhtadin, salah satu pesantren tua di Cipare, Serang. Namun, selama tinggal di sini, ia belum pernah berkesempatan menikmati keindahan senja seperti sore ini. Hingga seminggu yang lalu, di depan kobong-nya masih berdiri bangunan sederhana yang dulunya adalah aula pengajian santri. Pada saat itu pesantren hanya menerima murid laki-laki. Bangunan itu sudah tidak terurus setelah Kiai Syamsul Anwar memutuskan untuk menerima santriwati dan membangun aula baru di depan rumahnya. Kini bangunan yang temboknya sudah retak dan lantainya mulai hancur dimakan usia itu telah dibongkar sempurna. Hilangnya bangunan itu dari pandangan membuat Fatih leluasa menikmati matahari senja.

Mata Fatih masih lekat memandangi keindahan sang surya yang bersinar keemasan ketika pikirannya terbawa surut ke tahun-tahun awal ia merantau. Sebelum masuk pesantren, sambil menimba ilmu di sebuah SMK, Fatih menetap di rumah Ustaz Yusuf, kenalan ayahnya yang tinggal di wilayah Banten Lama. Selama tiga tahun, banyak pelajaran berharga yang ia terima. Ustaz Yusuf mengajarkannya nahu saraf, yaitu ilmu tata bahasa Arab yang wajib dikuasai sebagai kemampuan dasar untuk membaca kitab kuning. Sebuah prestasi yang amat dipuji kedua orangtuanya saat itu.

Tak hanya itu, Ustaz Yusuf juga mengajarinya ilmu bela diri Banten. Sekadar untuk menjaga diri bila terjadi sesuatu, demikian pesan Ustaz Yusuf kala itu. Koleksi buku-buku Ustaz Yusuf yang kebanyakan bernuansa religi juga mampu memperluas pengetahuannya tentang Islam. Setelah masuk IAIN, Ayah dan Ustaz Yusuf sepakat menitipkannya ke pesantren ini. Itu berarti, sudah lebih dari lima tahun ia tinggalkan kampung halaman untuk mencari bekal menghadapi kerikil-kerikil kehidupan. Dan, sudah lima tahun pula ia menetap di Banten, daerah yang kental dengan kebudayaan Islam.

Ayat-ayat suci mengalun, menyusup ke relung hati Fatih. Nael, teman satu kobong-nya, telah selesai shalat Asar dan melanjutkan ibadahnya dengan bertadarus.

 

Dan, suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka serta-merta mereka berada dalam kegelapan, dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (QS Ya Sin [36]: 37–38)

 

Subhanallah ...,” Fatih kembali bertasbih. Betapa Tuhan telah menata semesta dengan amat sempurna.

Pandangan Fatih kembali tertuju ke kaki langit. Sang surya makin tenggelam. Andai saat ini berdiri di depan rumahnya, tentu ia masih dapat melihat indahnya matahari yang mengintip di balik langit. Di tanah pesisir, keindahan senja tak tertandingi. Ia akan melihat dengan jelas saat matahari melukis ufuk, lalu memecah merah di sudut langit. Sungguh sebuah bukti nyata kebesaran Sang Pencipta.

Tersentak, Fatih menarik diri dari lamunannya tentang senja. Ia merebahkan tubuhnya seraya menikmati alunan ayat suci bernada nahwan yang dilantunkan sahabatnya itu. Ayat demi ayat menyusup merdu, membelai jiwanya.

Dibandingkan Zein dan Karim, Nael adalah santri satu kobong yang lebih akrab dengan Fatih. Mungkin karena ia dan Nael sama-sama telah melewati masa dua tahun di pondok ini, sementara Zein baru satu tahun, dan Karim baru sekitar lima bulan. Selain itu, ia dan Nael sama-sama berstatus mahasiswa. Sementara, Zein dan Karim masih duduk di kelas 1 dan 2 salah satu SMA di Jalan K.H. Abdul Fatah Hasan.

Setengah jam lalu, Nael tiba di kobong setelah mengantarkan ratusan tali jam tangan ke Pasar Rawu. Para santri terkadang memanggil Nael dengan julukan Businessman. Padahal, aktivitas Nael di bisnis tali jam tangan itu hanya sekadar untuk mengisi waktu luang dan membantu teman kuliahnya yang seorang perajin kulit. Nael mengantarkan tali jam itu setiap Rabu dan Jumat sepulang kuliah. Akibatnya, ia sering terlambat mengikuti shalat Asar berjemaah di Masjid Raudhah.

Nael menutup tadarus dengan hamdalah. Pada saat yang sama, Fatih bangkit untuk meraih sebuah buku tebal berwarna kuning dari dalam lemari. Baru saja ia hendak mulai membaca, tiba-tiba Zein muncul dengan tergesa-gesa.

Punten, Kang. Abah minta Kang Fatih dan Kang Nael menggelar karpet di Lantai Dua aula. Abah bilang akan ada rombongan tamu.”

“Terima kasih, Zein. Kami akan segera ke sana,” sahut Fatih.

***

Bersama Nael, Fatih melangkah santai menuju aula. Keduanya menyisir jalan melewati gerbang pembatas kobong santriwan, satu-satunya jalan menuju aula pondok bagi para santriwan. Beberapa langkah di samping kanan jalan, setelah melewati pintu gerbang, terdapat kamar sederhana yang dihuni dua orang putri Pak Kiai, Aini dan Tazkiya. Aini putri keenam Kiai Syamsul, yang saat ini tercatat sebagai mahasiswi semester tujuh di Institut Agama Islam Banten (IAIB). Sementara Tazkiya, putri ketujuh sekaligus bungsu, baru semester empat di kampus yang sama.

Keberadaan kamar itulah yang menyebabkan lorong ini hanya dibuka jika ada kegiatan-kegiatan pesantren, seperti pengajian, rapat pondok, atau ketika ada santriwan yang dipanggil menghadap Pak Kiai karena beberapa keperluan. Di luar keperluan itu, para santri yang ingin bertemu Pak Kiai harus melewati jalan belakang pondok yang memutar menuju aula, melalui beberapa rumah warga.

Fatih melangkah lebih cepat. Perlahan jemarinya mendorong pintu gerbang setinggi bahu yang menjadi batas halaman rumah Pak Kiai. Kepalanya terus menunduk saat menyusuri jalan yang lebarnya kurang dari dua meter itu. Sementara Nael melangkah dengan santai di belakangnya, sambil sesekali melirik ke arah kamar.

“Astagfirullah!” Fatih spontan memalingkan wajah dan menutup matanya. Seorang gadis yang hendak keluar kamar dengan rambut panjangnya kembali menarik langkahnya ke dalam.

“Ada apa, Fat?”

Lihat selengkapnya