Alunan lagu nasyid terdengar syahdu memenuhi sebuah kamar. Ruangan yang tidak terlalu lebar itu terasa sejuk oleh senandung shalawat dari kelompok nasyid baru yang namanya tengah meroket. Maraknya kemunculan kelompok nasyid membuat kalimat-kalimat thoyyibah menjadi semakin sering terdengar. Syair bernuansa dakwah Islam mengalun indah di mana-mana, memancing hidayah bagi para hamba Allah untuk menjadi insan kamil. Sempurnanya takwa adalah fitrah manusia, dan Tuhan telah mengarahkan manusia kepada fitrah melalui ayat-ayat-Nya.
Di kamar itu, Aini tengah sibuk dengan tugas kuliah. Ia berbaring di tempat tidur sembari membuka lembaran-lembaran kertas di hadapannya. Sementara itu, Tazkiya, adiknya, duduk bersandar ke sisi tempat tidur, menghadap ke arah perangkat audio yang terus memutar lagu. Ia memegang kover album lagu yang sedang diputar. Bibirnya yang mungil komat-kamit, mendendangkan syair sambil membaca teks lagu di tangannya. Sesekali Tazkiya melirik kakaknya yang sedang asyik dengan kertas-kertas kuliah.
“Teh, ada tidak, santriwan yang menarik menurut Teh Nini? Abi, kan, punya 250 santri laki-laki. Masa, sih, tidak ada yang menarik sama sekali?” tanya Tazkiya tiba-tiba.
“Eits, ada bidadari mencari Arjuna rupanya. Hati-hati, jangan main api. Nanti malah jadi ingin mencoba pacaran, ingin berdua-duaan!” jawab Aini yang masih asyik bergelut dengan kertas-kertas di hadapannya.
Tazkiya melempar kover album ke tumpukan kertas kakaknya.
“Teh Nini gimana, sih? Kok, jadi ke pacaran segala. Aku, kan, sudah tahu tentang taaruf!”
Tazkiya memasang wajah cemberut. Jemarinya yang lentik menarik-narik daster yang dikenakan kakaknya.
Aini tersenyum memandang wajah lugu di sampingnya. Ia tahu, adiknya sedang serius. Ia bangkit dan merapikan kertas-kertas kuliahnya. Kover album itu ia serahkan kembali kepada Tazkiya.
“Aku cuma khawatir kamu menganggap pacaran itu bagian dari taaruf. Syukurlah kalau kamu sudah mengerti maknanya.”
Kertas-kertas itu ia selipkan di halaman tengah buku Metodologi Penelitian karangan Suharsimi Arikunto.
“Sebenarnya, belum paham betul praktiknya, sih, tapi Kiki yakin, kok, kalau taaruf itu lebih baik daripada pacaran.”
Aini meletakkan buku di atas meja belajar. Karena ia mahasiswa Fakultas Ushuluddin, koleksi buku kuliahnya yang berderet rapi lebih didominasi oleh buku-buku tentang dakwah dan syariat.
“Taaruf itu saling mengenal, tapi tidak secara langsung, tidak dengan cara berpacaran.”
Aini kembali mendekat. Ia duduk bersandar di samping adiknya.
“Taaruf itu dilakukan oleh muhrim kedua belah pihak. Keluarga, kerabat, atau sahabat yang memfasilitasi perkenalan. Biasanya diawali dengan cerita mengenai orang yang bersangkutan, kemudian menunjukkan foto. Setelah keduanya bersedia, mereka dipertemukan untuk menyepakati hubungan selanjutnya. Ada juga yang langsung melakukan pinangan. Tidak ada interaksi langsung berdua-duaan seperti muda mudi zaman sekarang. Taaruf bertujuan untuk menjaga kemuliaan hubungan antara lelaki dan perempuan sebagai awal terbentuknya rumah tangga yang sakinah,” papar Aini panjang lebar.
Tazkiya tampak serius mendengarkan penjelasan kakaknya.
“Ooo, jadi ini yang sedang dilakukan Abi untuk Teh Nini?”
Wajah Aini memerah. Ia teringat beberapa bulan lalu, untuk kali pertama ayahnya menunjukkan foto Fadhil, putra tunggal K.H. Lukman Hakim, pengasuh Pondok Pesantren Al-Hakimiyah Pandeglang. Dalam foto itu, Fadhil benar-benar terlihat seperti pemuda yang selama ini diidamkan Aini. Selain tampan, berilmu, dan pewaris pondok pesantren terbesar di daerah Pandeglang, Fadhil juga sedang menyelesaikan S-2 di UIN Jakarta. Kepada Abah, Aini menyatakan kesediaannya bertaaruf dengan Fadhil. Kini, Aini tinggal menanti tanggal pernikahannya ditetapkan, segera setelah Fadhil menyelesaikan tesis.
“Ya, aku bersyukur Allah menghadirkan Kang Fadhil dalam hidupku. Semoga kebahagiaan ini Allah jaga hingga kelak.”
“Amiiiin …. O, ya, Teh, satu pertanyaan lagi. Apa Teh Nini yakin dari taaruf bisa berlanjut menjadi keluarga sakinah? Kan, sama sekali belum mengenal sifat masing-masing, seperti Teh Nini dan Kang Fadhil.”
Aini tersenyum menatap adiknya. Ia tarik jemari Tazkiya dan menggenggamnya.
“Ki, sifat seseorang itu persoalan abstrak. Rasulullah pernah memberi gambaran kepada para sahabat bahwa seseorang tidak dapat mengenali sifat orang lain sebelum melakukan tiga hal. Pertama, mengenali nama dan nashab-nya; kedua, berdialog dan berkumpul bersama, dan ketiga, tinggal bersama di bawah satu atap. Yang pertama dan kedua bisa direkayasa. Bisa saja seseorang memperlihatkan hal yang baik-baik demi tujuan tertentu. Tapi, yang ketiga tidak bisa disembunyikan. Karena dengan tinggal satu atap, sifat dan kebiasaan asli seseorang akan tampak. Untuk yang satu ini, hanya orangtua Kang Fadhil yang tahu. Lewat taaruf itulah aku diperkenalkan pada sifat-sifat Kang Fadhil. Satu lagi, orang yang paham dengan ajaran Islam takkan pernah menyia-nyiakan istri, dan Teteh yakin Kang Fadhil paham betul soal itu,” ungkap Aini mantap.
“Baiklah Bu Guru yang cantik, kita pending dulu diskusi tentang pacaran versus taarufnya. Sekarang kita fokus ke materi yang akan Bu Guru sampaikan,” lanjut Aini.