Rumah Kiai Syamsul begitu nyaman meski tidak terlalu besar. Penataan tiang-tiang dan koridornya agak berbeda dengan kebanyakan rumah di daerah itu. Beberapa tanaman tampak menghiasi pot-pot yang tertata rapi. Tak kurang dari empat kali dalam sehari Fatih memandangi rimbun pohon-pohon mungil itu, bakda subuh, bakda asar, bakda magrib, dan bakda isya, selepas mengikuti pengajian-pengajian rutin di Raudhah.
Fatih masih duduk termangu di hadapan Pak Kiai. Ia bertanya-tanya tentang maksud Pak Kiai memanggilnya siang ini. Sesuatu yang amat jarang terjadi. Ucapan salam yang lembut menghentikan lamunannya. Ia dan Pak Kiai menjawab salam itu. Seorang wanita muda berjilbab ungu masuk dan menyalami Pak Kiai.
Nah, perkenalkan ini Fauzan, Teh,” kata Pak Kiai saat mengenalkan Fauzan kali pertama. Pak Kiai dan istrinya selalu memanggil laki-laki itu dengan nama Fauzan. Sementara nama Fatih hanya populer di tengah para santriwan dan teman-teman kuliah.
“Kamu pasti belum kenal, kan, Zan. Ini Teh Syifa, menantu Abah.”
Fatih mengangguk ke arah wanita itu. Baru sekali ini ia bertemu wanita bernama Syifa itu. Menantu Pak Kiai, istri dari Uzeir, putra keduanya. Selama ini, ia hanya mendengar namanya.
“Ooo ..., jadi ini yang namanya Fauzan. Masih kuliah?”
“Alhamdulillah, masih, Teh!” jawab Fauzan.
“Kuliah di mana dan semester berapa?” Kali ini Syifa menggunakan bahasa Indonesia.
“Di IAIN, baru semester lima.”
Mendengar itu, Syifa tersenyum renyah diikuti Pak Kiai.
“Jelaskan saja masalahnya, Teh. Abah mau istirahat dulu.”
Pak Kiai bangkit.
“Iya, Bah,” balas Syifa dan Fatih mengangguk.
“Begini, Zan. Di kecamatan akan diadakan MTQ. Setiap tahun Kelurahan Cipare mengirim utusan dari beberapa pesantren yang ada, termasuk pesantren ini. Kemarin pengurus pesantren mengadakan rapat di kelurahan dan sudah memutuskan bahwa untuk perlombaan syarhil, kitalah yang harus mengirimkan wakil. Kamu tahu Syarhil Quran?”
“Tahu, Teh. Cabang lomba yang pesertanya tiga orang, kan?”
“Iya, kelompok yang terdiri atas pembaca Al-Quran, saritilawah, dan penceramah untuk menjelaskan maksud dari ayat-ayat yang disampaikan.”
Fatih makin tak mengerti mengapa ia yang dipanggil untuk membicarakan hal ini. Padahal, urusan seperti ini seharusnya dirundingkan bersama Mahbub, lurah pondok.
“Itulah alasan Abah memanggilmu ke sini. Abah menunjukmu sebagai penceramah, sedangkan saya kebagian membaca Al-Quran.”
Fatih terkejut. Spontan, ia menyambar pembicaraan Syifa.
“Apa, Teh? Apa saya enggak salah dengar? Maaf, kenapa harus saya? Saya, kan, belum pernah ikut lomba ini sebelumnya. Saya khawatir malah membuat malu pondok kita, dan saya juga khawatir ….”
“Yang malu itu kalau kita tidak mengirimkan utusan,” Syifa menyela.
“Dan, yang harus malu itu … yaaa ... yang tidak menuruti perintah Abah, iya, kan? Tenang, kamu dipilih dengan pertimbangan, kok! Abah yakin kamu bisa, itu yang beliau sampaikan. Abah pernah cerita, beliau tertarik dengan gaya ceramahmu dalam khotbah Jumat beberapa bulan lalu. Ceramahmu mengena, isi dakwahnya jelas dan tidak bertele-tele. Abah percaya, gaya ceramah seperti itu akan memberi nuansa baru. Tidak seperti peserta-peserta yang cenderung meniru gaya penceramah kondang. Setiap tahun kita mengutus wakil dari pondok ini untuk mengikuti MTQ, tapi memang belum pernah kebagian cabang syarhil. Dan, yang saya tahu, Abah selalu menolak bila cabang syarhil diserahkan kepada kita karena para santri di pondok ini cenderung berbakat menjadi qari dan qariah. Namun, tahun ini Abah setuju mengirim wakil untuk cabang syarhil setelah mendengar khotbahmu,” papar Syifa.
“Kapan acaranya, Teh?”
“Akhir bulan depan. Katanya, acara penutupannya sekaligus untuk memperingati 1 Muharam. Kamu punya waktu lebih dari satu bulan. Persiapkanlah segala sesuatunya, terutama tema yang akan kamu sampaikan. Setelah ketemu tema dan ayatnya, kamu segera beri tahu saya agar saya bisa mencoba lagu yang tepat untuk ayat itu.”
Senyum Syifa mengembang lega ketika melihat Fatih tak lagi tampak gugup.
“Lalu, siapa saritilawah-nya, Teh?”
“Salah seorang santriwati, Rahmah namanya. Kemarin saya sudah mengaudisi beberapa santriwati dan Rahmah lebih baik dibanding lainnya. Tentang saritilawah, tidak usah dipikirkan, biar saya yang mengurus. Yang penting persiapan kamu karena kunci kemenangan syarhil ada di penceramah, sementara qari dan saritilawah hanya pelengkap.”
“Insya Allah, Teh. Nanti tolong bimbing saya juga.”
Sepulangnya dari rumah Kiai Syamsul, Fatih langsung ke kampus. Ia ingin belajar dari rekaman final Syarhil Quran tingkat Provinsi Banten beberapa bulan lalu. Ia berniat meminjam rekaman itu dari Azira, teman sekelasnya yang memiliki CD rekaman acara itu. Fatih berencana menyetel CD itu di rumah Zainal, putra sulung Pak Kiai yang akrab dengan seluruh santri senior di Raudhah.
***
Sementara itu, suasana salah satu ruang kelas di Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIB tampak seru. Empat mahasiswa duduk di depan kelas, berjajar menghadap ke arah mahasiswa lainnya. Mereka tengah mempresentasikan makalah “Faktor yang Memengaruhi Kecerdasan Anak”. Diskusi berlangsung menarik, beberapa pertanyaan dari para peserta diskusi dijawab bergantian oleh para pemateri. Di deretan bangku kedua Tazkiya termenung bertopang dagu. Tak seperti biasanya, siang ini ia merasa serbamalas. Otaknya terasa kusut, pikirannya melayang entah ke mana.