Aku masih ingat almari besar itu, lemari kayu jati berplitur coklat muda dengan kaca bening yang tingginya hampir setinggi tembok ruangan kerja Ibu. Di dalam lemari itu ada berbagai macam buku milik Ibu dan mendiang Ayah. Dapat aku katakan bahwa di balik kaca yang mengkilat itu pemandangannya tidak selalu rapi, terkadang ada kertas-kertas atau map-map besar yang dijejalkan secara terburu-buru terkadang kalau aku sedang tidak malas aku pun membantu map-map malang itu agar tidak malang melintang lagi.
Di antara banyak sekat dalam lemari itu ada suatu bagian yang letaknya agak di pojok kiri atas yang anehnya justru sangat rapi agaknya karena sudah lama diabaikan oleh empunya. Hal itu dikarenakan rak itu merupakan tempat novel-novel lawas dan utamanya pop koleksi pribadi Ibu zaman ia masih kuliah dulu diletakkan. Ada beberapa nama penulis Indonesia di sana namun yang paling sering aku ambil dan aku baca adalah novel-novel karangan Marga T kata Ibu, dia adalah salah satu penulis yang membuatnya gemar membaca dulu dan aku rasa hal itu pun terjadi padaku. Pada saat aku SMP aku gemar mengulang-ulang membaca Bukan Impian Semusim baik edisi awal ataupun edisi revisi, Karmila, Badai Pasti Berlalu dan Gema Sebuah Hati, hingga lama-kelamaan tak jarang novel-novel itu berpindah tempat ke kamarku.
Sementara itu koleksi buku Ayah yang terletak di sudut lain, tidak menarik minat bacaku sama sekali, kebanyakan berupa buku biografi atau pengetahuan alam dan umum dan bacaan santainya kurang lebih seperti serial silat milik Kho Ping Hoo1 yang tentu saja tidak membuat dadaku bergemuruh membayangkan jalin-jalin asmara yang membuat aku senyum-senyum sendiri, tertawa dan bahkan menangis sesenggukan. Meski aku hampir tidak pernah menyentuh buku-buku milik Ayah namun sesekali aku menatap ke punggung buku-buku itu. Tangan ayahku pernah menyentuhnya dulu, membukanya dan membacanya.
Selain membaca novel-novel kepunyaan Ibu, dulu aku juga sering menyisihkan uang sakuku untuk membeli novel Olga atau Lupus2 yang sedang beken dan tentu juga membeli beberapa majalah bulanan remaja.
Kesenanganku itu semakin menjadi-jadi saat salah seorang tetanggaku yang rumahnya berjarak satu blok dari rumahku sendiri merenovasi garasi dalam rumahnya menjadi sebuah Rumah Baca yang terbuka untuk umum. Siapa saja boleh mampir untuk membaca, tidak ada aturan khusus selain buku-buku itu tidak boleh dibawa pulang.
Koleksi bukunya cukup variatif dan lengkap untuk ukuranku saat itu. Hampir setiap hari aku selalu mengunjungi Rumah Baca yang sebenarnya tidak bernama itu tapi aku selalu menyembutnya dengan nama demikian. Mungkin pemilikinya tidak terlalu mau ambil pusing untuk membaptisnya dengan sebuah nama. Tapi apalah arti nama, yang penting adalah esensi dari kedermawanan hatinya.
Pemilik Rumah Baca itu sendiri belum pernah aku lihat bagaimana rupanya, ia tidak pernah nampak dan pengunjung pun tidak diperbolehkan masuk ke rumah utama, yang sering muncul hanyalah seorang pembantu perempuan yang masih muda yang muncul untuk menyapu halaman atau menyiram pohon dan kembang di halaman rumah setiap jam empat sore. Pintu pagar Rumah Baca itu sendiri tidak pernah ditutup apalagi dikunci saat jam Rumah Baca dibuka, yaitu dari pukul sepuluh hingga pukul lima sore, aku rasa hal itu dilakukan agar mempermudah akses para pengunjung namun tentu saja kebiasaan tidak mengunci pintu pagar merupakan hal yang cukup riskan dan berbahaya di kota besar seperti Jakarta ini apalagi dilingkungan perumahanku yang kesemuannya memiliki pagar tinggi dan selalu tertutup rapat, saling mengisolasi diri. Tentu bukan bermaksud sombong, hanya bersikap preventif terhadap bahaya maling. Namun herannya selama Rumah Baca itu berdiri aku belum pernah sama sekali mendengar berita kemalingan terjadi di sana, padahal sesekali aku mendengar ada sepeda motor atau anjing peliharaan milik tetangga kami yang hilang dicuri, mungkin para maling segan atau mereka terlalu malas dan bodoh untuk menilai harga dari suatu buku.
Rumah Baca itu terkadang ramai tapi lebih seringnya sepi. Mario yang berjarak tiga tahun dariku, ia sendiri hanya pernah sekali mengunjungi Rumah Baca dan tidak pernah kembali. Dia memang lebih senang berkutat dengan buku-buku pelajaran atau RPAL dan RPUL yang rutin dibelinya. Ya, dia memang agak terobsesi dalam hal pelajaran dan sebetulnya bisa saja aku mengejeknya sebagai seorang nerd, namun aku terlalu menghormati dirinya hingga tidak ada niatan sedikit pun untuk mengolok-oloknya.
Memasuki tahun kedua usia Rumah Baca itu, itulah kali pertama aku melihat Mariana. Ia duduk dan bersandar di salah satu rak yang menyamping dari pintu masuk. Ia mengangkat kepalanya ketika aku masuk, ia memiliki sepasang mata bambi yang indah dan lebar. Badannya yang mungil dan kurus terasa seperti sebuah kerang kecil yang tiba-tiba ada di dalam ruangan besar. Mulanya aku tak acuh, aku langsung menuju ke rak di mana aku meletakan novel Burung-Burung Manyar karangan Romo Mangun sehari sebelumnya dan novel itu sungguh tidak pergi ke mana-mana. Aku duduk di seberang kerang cantik itu dan melanjutkan aksi pencarian Toto terhadap ibunya. Saat aku melirik ternyata yang duduk di seberangku bukanlah kerang mungil namun sebuah mutiara yang tersembunyi. Selain mata indah yang buru-buru menunduk dan manatap buku yang dipilihnya, rambutnya terlihat begitu tebal dan hitam sekali, manis dikepang dua kiri dan kanan. Anak perempuan itu tampak seperti seorang anak yang belum pernah melakukan dosa sama sekali dalam hidupnya.
Aku merasa dia tampak berbeda dengan kawan-kawan yang selama ini aku miliki. Sekali lagi ia mencuri lirik padaku.
“Siapa namamu?”
Wajah itu terangkat dan mata bambi yang jernih itu kembali menatapku, tanganya yang kurus mencengkram sampul buku terjemahan Jules Verne dengan sangat erat.
“Ana, Mariana.”
“Aku Asmarini, Marni. Kamu bukan anak sini ya?”
Kaki kami sama-sama tertekuk dan menyilang membentuk semacam benteng pertahanan.
“Aku baru pindah.” Suaranya ringan tapi terdengar kaku, meski ia berbicara dengan bahasa Indonesia tapi ia memiliki aksen daerah yang amat kental.
“Oh, ya? Pindahan dari mana?”
“Dari Jawa,” ia mengigit bibirnya dan terlihat agak malu.
“Loh, Jakarta seingatku juga masih berada di Pulau Jawa. Jawa bagian mana memangnya?”
“Magetan, tahu?”
Ingatan akan gambar peta Pulau Jawa dalam atlas yang aku buka saat pelajaran geografi kemarin dulu muncul seketika, meski sudah berusaha namun aku tidak ingat nama itu berada di wilayah mana.
“Tidak ingat, tapi Opa dan Omaku berasal di Surabaya.” Aku menggaruk-garuk kepala.
“Oh, itu jauh dari rumahku, tapi sama-sama berada di wilayah Jawa Timur.” ucapnya buru-buru.
“Terus kenapa pindah ke sini?” tanyaku juga dengan buru-buru.
“Eyang menyuruhku untuk belajar di Jakarta.”
Bibirku membentuk huruf o tanpa suara dan juga mengangguk-angguk beberapa kali. Ana menunduk dan berusaha menyembunyikan wajahnya. Ia benar-benar menarik, sikap pemalunya itu membuat aku ingin menjalin pertemanan dengannya.
“Seperti kataku tadi namaku Marni, apa kamu mau berteman denganku?” aku mengacungkan tangan kananku tapi tubuhku tidak maju untuk mendekatinya.
Ana mengangkat wajahnya dengan ragu-ragu dan tampak sedikit bingung akan tetapi ia segera menutup bukunya dan maju untuk menjabat tanganku. Telapak tanganya lebih mungil dari telapak tanganku sendiri dan juga berkeringat.
“Ana. Panggil aku Ana saja.” ia mengucapkan namanya sekali lagi dan mengangguk untuk menjawab pertanyaanku yang lainnya.
Anggukan itu membuat aku tersenyum dan menjadi sebuah kesepakatan tak tertulis yang nantinya akan menjadi pengikat awal mula pertemanan kami.
“Apakah rumahmu di dekat sini?”
Lingkungan rumahku sendiri adalah kawasan perumahan yang berada di daerah selatan Jakarta. Kawasan perumahan yang cukup bagus dan juga masih cukup sepi kala itu, jadi berjalan kaki, mengayuh sepeda bahkan bermain bola basket di jalanan depan rumah pun bukan hal yang aneh apalagi sukar untuk dilakukan.
“Ya, aku tinggal di rumah Eyangku. Jaraknya hanya satu setengah blok dari sini.”
“Oh,” kataku lagi, “di sini, tidak ada anak perempuan yang sebaya dengan kita. Aku duga jarak usia kita pastilah sama. Aku baru naik kelas dua SMA besok, kalau kamu?”
“Aku baru mau masuk SMA.”
“Berarti kita hanya selisih satu tahun,” ucapku senang. “Sekarang aku jadi punya teman sebaya di kompleks ini.” Kutepuk bahunya sekali.
Tubuhnya melonjak kaget dan kepalanya menengok dengan sikap salah tingkah. Aku sendiri hanya nyengir kuda.
Perkenalan itu berlangsung pada awal bulan Juni dan sisanya sampai pertengahan bulan Juli kami sering bertemu di Rumah Baca. Sebagian waktu kami gunakan untuk membaca dan sebagian lagi kami pakai untuk mengobrol, terkadang sampai langit kemerahan tenggelam di balik senyum bulan yang keperakan.
Berbicara dengan Ana selalu terasa menyenangkan, karena kami tumbuh dan besar di lingkungan yang amat berbeda jadi stok obrolan kami banyak sekali dan mengalir begitu saja. Selain itu Ana adalah pendengar yang baik, jadi rasa senangku padanya bertambah. Banyak orang yang sanggup bicara selama berjam-jam namun jarang sekali yang mampu mendengar orang lain berbicara tanpa menyela dan tanpa ingin menyematkan sendiri kisahnya.
“Sayang ya kita tidak satu sekolah.” Langkahku melambat seiring bertambah besarnya gambaran tubuh pembantu wanita yang sedang menyiram pohon liang liu3 yang ditanam di depan pagar rumahku, dahan pohon itu begitu rimbun dan subur.
“Iya. Tapi, sebetulnya aku cukup gugup menyambut datangnya hari masuk sekolah…” Ia memungut sebuah botol plastik yang entah dibuang oleh manusia tidak beradap mana. “Bagaimana ya kalau tidak ada yang mau berkawan denganku?” ucapnya dengan putus asa.
“Agaknya itu pemikiran yang lumrah dirasakan setiap orang di hari-hari sebelum hari pertama masuk sekolah. Tapi aku rasa hal itu tidak akan menjadi masalah besar, kamu manis dan baik pasti banyak orang yang mau berteman denganmu, buktinya saja kamu bisa menjadikan aku temanmu, bukannya itu sudah cukup sebagai bukti kalau kamu mampu membuat teman baru?”
“Tapi tidak semua orang baik dan hangat seperti kamu kan Marni?” katanya sambil mengigit bibir bagian bawahnya, sebuah kebiasaannya yang segera aku sadari.
“Kamu pasti bisa dan kalau kamu tidak bisa pindah saja ke sekolahanku.” Aku tertawa ringan.
“Andaikan bisa tapi mana bisa begitu, nanti eyang kakung dan eyang putri malah kecewa denganku.”
Kaki kami berhenti melangkah, pembantuku sudah masuk ke dalam garasi dan menggulung selang.
“Kalau begitu tidak ada pilihan lain, berjuanglah membuat teman baru. Yang terpenting tersenyumlah dan jadilah dirimu sendiri, karena kedua hal itu akan membuatmu menjadi orang yang sangat menarik.”
Ana akan pergi bersekolah di sekolah khusus putri di kawasana Jakarta Pusat sementara aku bersekolah di sekolah swasta di bilangan Jakarta Selatan, sekolah yang sama dengan Mario dulu. Ana kembali mengigit bibirnya dan mendesah pelan. Tiba-tiba ia melongok ke arah pintu masuk rumah. Mario keluar dengan membawa kunci mobil.
“Mau ke mana Mas?” teriakku.
“Jemput Mama.”
“Di mana?”
“Shangri-La.” Jawabannya memang selalu pendek dan seada-adanya.
“Aku ikut! Nah Ana, aku harus pergi.” Kataku menarik botol plastik dari tangannya lalu membuangnya ke dalam bak sampah lantas berlari masuk ke dalam garasi.
Ibu menempati jabatan sebagai seorang menejer di sebuah perusahaan ekspor-impor tekstil, ia selalu sibuk bahkan di hari Sabtu sekalipun.
Mario berdiri di dekat mobil sedan warisan dari Ayah, lewat tatapan matanya yang sendu ia mengamati Ana dengan tenang.
“Oh, ya!” kataku menepuk dahi. “Betapa kurangnya etika pada diriku ini. Ana tunggu, maaf aku kelupaan! Ini kakakku namanya Mario. Nah, Mas Mario kenalkan ini Ana, rumahnya ada di sebelah sana.” Kataku menunjuk arah barat daya.
Kakaku tersenyum sopan tapi seadanya saja dan mengacungkan tangan dan menyebutkan namanya yang diikuti dengan tanda titik, sementara Ana ia bolak-balik menatapku.
“Ayo!” ajak Mario.
“Dah, Ana! Sampai besok!”