Kehidupan remaja dan dinamikanya acap kali dianggap sebagai sesuatu hal sepele, sembrono bahkan agak bodoh oleh para orang dewasa. Sedangkan bagi remaja sendiri penilaian terhadap diri, keputusan dan dunianya terasa bagaikan suatu hal yang paling benar dan konkret. Bukan salah para remaja bila berpikir seperti itu karena kehidupan dan dunia memang belum melatih mereka untuk berpikir secara komprehensif. Namun, dalam keluargaku terutama satu-satunya orangtua yang masih aku miliki, Ibu, ia tidak pernah menganggap permasalahan atau kehidupan masa remaja baik aku maupun Mario sebagai sesuatu yang sepele. Ia seorang Ibu yang sangat baik meski selalu sibuk dengan pekerjaanya, kami anak-anaknya selalu berusaha memahami kesibukannya karena setelah Ayah pergi praktis hanya Ibu yang menopang kehidupan kami. Kami selalu mencoba untuk patuh dan menghindari perkara-perkara yang dapat membuatnya bersusah hati.
Mario tidak perlu diragukan, dia anak yang sangat cerdas utamanya dalam hal akedemik dan diimbangi dengan sifat pendiamnya yang berkembang semakin dalam sejak ia memasuki usia remaja, bahkan membayangkan ia melakukan sesuatu hal yang konyol apalagi berbahaya seperti membayangkan hal yang mustahil, begitu menurut Ibu. Sedangkan aku, yah level dan kapasitas dalam hal menyerap pelajaran tidak sehebat Mario tapi aku bukan anak yang bodoh, setidaknya aku sering masuk lima besar di kelas. Aku juga jauh lebih periang daripada Mario dan meskipun begitu sebagai seorang anak perempuan sejak kecil aku dididik oleh Ibu agar dapat menjaga martabatku sebagai seorang perempuan baik dalam makna yang sempit maupun luas.
***
Acara pentas seni di sekolah kami selalu diadakan pada akhir bulan Oktober. Sebenarnya acara itu merupakan kepunyaan anak kelas dua belas sehingga panitia inti haruslah berasal dari mereka, sementara itu anak kelas sebelas merupakan pembantu utama dan anak-anak kelas sepuluh hanya kebagian pekerjaan-pekerjaan kasar kalau tidak yang remeh-remeh saja.
Aku dan Mariska yang sudah kelas sebelas diberi tugas untuk menjadi bagian dari panitia ticketing yang tentu saja di bawah pengawasan dan arahan anak kelas dua belas. Sif kerja kami dimulai dari jam sembilan pagi hingga pukul tiga sore. Semakin sore kami semakin repot. Karena Mariska sangat handal dan cepat menghitung doku, ia kebagian tugas untuk menerima dan memberikan kembalian sementara aku sendiri bertugas untuk merobek karcis dan mencatat jumlah transaksi yang berlangsung di sebuah buku kecil.
“Halo, saya mau beli tiga karcis ya.”
Aku langsung mengenali suara dan logat itu, “Ana?”
Aku dan Mariska berada di dalam papan kotak sempit yang diberi tulisan LOKET dengan cat kuning menyala, dibuat khusus untuk acara hari itu (dibuat oleh anak kelas sepuluh atas arahan dan desain anak kelas dua belas tentunya), hanya tangan dan suara yang menjadi penanda bahwa kami ataupun pembeli benar-benar nyata secara fisik.
“Marni!” serunya.
Mariska menyenggol sikutku mengingatkan bahwa sebaiknya aku bergegas kalau tidak ingin meyebabkan antrian semakin mengular.
“Nanti kita bertemu di dalam ya An,” pesanku dengan terburu-buru setelah transaksi jual beli kami laksanakan.
Sewaktu sif kerjaku sudah habis halaman sekolah kami sudah padat dengan pengunjung, tidak sedikit orang tua dan anak-anak yang datang dan kemungkinan besar merupakan anggota keluarga dari para siswa-siswi dan tentunya para remaja yang berasal dari sekolahan lain. Aku mereggangkan tangan dan pinggang begitu keluar dari kotak LOKET. Perut Mariska sendiri sudah bergemuruh heboh sejak jam dua belas tadi maka ia dengan penuh inisiatif mengajak aku untuk segera mengambil jatah makan kami.
“Mariska! Makan di sini saja!” Harlan melambai dari sudut ruang kelas begitu hidung adiknya nongol ke dalam ruangan yang sudah disulap menjadi ruang konsumsi.
Priya sedang asyik mengigit paha ayam namun sempat secara sekilas melirik ke arah kami. Ketika aku sedang berjalan untuk mengambil jatah makan kami, Mariska berbisik tepat di samping telingaku.
“Wah pucuk dicinta ulam pun tiba.”
Ruang kelas itu sebagain besar meja-mejanya sudah ditumpuk rapi, sebagian lagi dijejer seperti meja prasmanan dan sebagian lagi dibuat berkelompok untuk mengganti peran meja makan. Selain Harlan dan Priya ada beberapa anak kelas dua belas lainnya yang juga sedang makan atau sekedar mengistirahatkan punggung dan kaki.
“Aku sering melihatmu bersama Mariska, tapi aku tidak pernah tahu namamu,” ucap Harlan sambil mengelap tangannya dengan kertas tisu.
“Ini teman dekatku, namanya Marni.” Mariska terlebih dahulu membuka mulutnya ketimbang mulutku sendiri.
“Aku kan bertanya pada temanmu bukan padamu.”
“Saya Marni, Kak.” Jawabku cepat-cepat.
Priya yang sudah selesai makan melirik Harlan dan Mariska dengan ekspresi datar lalu pandangannya beralih kepadaku dan menatapku sejenak tanpa disertai kata-kata.
“Aku Harlan, abang kandung Mariska. Kalau ini Priya, bukan anggota keluarga kami sih,” ia menunjuk ke arah samping.
“Halo,” ucap Priya dengan santai.
“Bang Priya meski bukan anggota keluarga tapi selalu main ke rokum, sampai kadang aku pikir dia ini sudah diusir ortunya sendiri atau bagaimana.” Celetuk Mariska.
“Memangnya sekarang kalian mulai keberatan ya dengan kehadiranku?”
“Aku sih tidak tapi Mariska agak-agaknya begitu, soalnya makanmu banyak sih.” Ucap Harlan.
“Aku akan bawa beras sekarung nanti kalau main ke rumahmu lagi.”
“Wah boleh Bang, sekalian dengan telur dan dagingnya juga boleh.” Kata Mariska buru-buru menyutujui gagasan Priya dengan penuh semangat.