Pada suatu Sabtu pagi Mariska tiba-tiba mengundangku untuk datang ke pesta barbeku di rumahnya.
“Dalam rangka apa ini? Siapa saja tamunya?” tanyaku sambil menggulung-gulung kabel telepon dengan jari telunjuk.
“Yang jelas manusia sih bukan bangsa setan, datanglah! Ajak juga tetanggamu itu yang kemarin datang ke pensi.”
“Ana? Dia kalau hari Sabtu begini biasanya menemani eyangnya belanja, tidak tahu deh ada di rumah atau tidak, coba deh aku telepon dulu. Eh, aku mesti datang jam berapa?”
“Datang saja jam dua.”
“Ok lah, coba aku hubungi Ana dulu sekalian minta izin Mama.”
Setelah Mariska mengakhiri sambungan telepon aku segera menekan nomor telepon rumah Yangti dan benar saja yang mengangkat pembantu, ia mengatakan bahwa Ana baru saja pergi keluar dengan Yangti dan Yangkung. Aku langsung menyerah karena tahu selain berbelanja biasanya mereka akan pergi makan di luar lalu sorenya mereka menghadiri misa di gereja.
Ibu tentu saja memberi aku izin untuk pergi. Sebelum pergi ke rumah Mariska aku mampir sebentar ke toko donat, membeli selusin seperti pesan Ibu sebelum aku berangkat, memang pamali bertandang ke rumah orang hanya dengan tangan kosong.
“Wah klop deh ada makanan manis sebagai penutup. Kamu harus sampaikan terima kasihku kepada Tante ya,” ucap Mariska sambil menerima buah tangan yang aku bawa. “Sopirmu tidak kamu suruh masuk Mar?”
“Oh tidak, sopir ibuku kalau hari Sabtu hanya kerja setengah hari, ini saja Mama harus membayar uang lembur.”
“Kalau soal pulang gampanglah, nanti Abang Harlan atau Priya saja yang mengantarmu pulang.”
“Aku rasa tidak perlu, soalnya Mas Mario biasanya jam lima sudah ada di rumah, palingan nanti juga dimintai tolong sama Mama untuk menjemput aku. Eh, tadi kamu bilang Priya?” tanyaku dengan perasaan deg-degan.
Rumah Mariska luas, jarak dari pintu masuk ke bagian dalam memerlukan langkah kaki yang cukup banyak dan ketika kami sampai di depan pintu kaca yang menghubungkan dengan halaman belakang di mana terdapat kolam ikan dan sebuah gazebo Mariska tidak perlu repot-repot lagi menjawab pertanyaanku, sebab orang yang aku tanyai keberadaanya sedang hahahihi dengan Harlan di depan tungku pemanggang.
Harlan lekas menyapa begitu melihat kelebat bayanganku, ia tampak lebih menarik saat tidak menggunakan seragam putih abu-abu, ia dan Priya sama-sama menggunakan kaos oblong berwarna hitam dan celana pendek santai. Aku tersenyum dan melambaikan tanganku secara singkat.
“Kolam ikanmu besar sekali, mengapa tidak membuat kolam renang saja?” kataku pada Mariska
Keluarga Mariska memang keluarga yang sangat berada, ayahnya seorang pengacara kondang dan keluarga ibunya mewarisi sebuah pabrik gula.
“Papaku lebih senang memandangi ikan-ikan berenang daripada dirinya sendiri yang nyemplung ke dalam air. Katanya saat pikirannya kusut, melihat ikan-ikan itu berenang dapat menenangkan dan memburaikan kekusutannya itu.”
“Lantas di mana orangtuamu sekarang? Aku belum menyapa mereka.”
“Pergi kondangan. Kami baru mendapat kiriman daging segambreng dari salah satu importir daging dari Australia yang kasusnya dimenangkan oleh ayah beberapa pekan lalu.” Mariska meletakan kotak donat ke atas gazebo.
“Jadi Marni jangan sungkan-sungkan, makan sebanyak yang kamu mau soalnya kulkas kita penuh sekali dengan daging. Yang kita bakar ini sih belum ada apa-apanya.”
“Wah harusnya ayahmu sering-sering saja menerima kasus dari importir makanan yang bermasalah seperti ini Han, bisa sejahtera aku.” Ucap Priya disertai cengiran lebar di bibirnya.
“Maumu!” hardik Harlan.
Karena daging dan sayuran pelengkap masih dibakar oleh para lelaki dan karena Mariska merasa sesak terkena asap ia mengajakku untuk pergi ke dalam, ke kamarnya yang berada di lantai dua dan langsung menyalakan pendingin ruangan.
“Nanti kita turun kalau dagingnya sudah siap,” ucapnya sambil mengawasi kedua pekerja gratisan yang dapat langsung diawasinya melalui jendela kamar yang menghadap ke arah halaman belakang. “Eh, katamu tadi Kakakmu jam lima sudah ada di rumah? Memangnya dia tidak pergi bersama pacarnya? Ini kan malming.”
“Dia sih tidak punya pacar. Kalau hari Sabtu begini biasanya dia pergi ke kampus kalau ada kelas pengganti atau ada keperluan di himpunan, kalau tidak biasanya juga dia diam-diam saja di rumah.”
“Masa sih? Kan Kakakmu itu cakep.”
Aku duduk di sofa dan menopang dagu dengan telapak tangan. Mariska pun duduk di sebelahku.
“Priya juga cakep tapi belum ada pacar kan sekarang katamu?”
“Ah, kalau doi kan lowongnya baru sebulan ini, itu juga paling karena persiapan mau ujian makannya dia tidak pusing soal cewek.”
“Kalau Abangmu?”
“Bang Harlan sih orangnya terlalu pemilih makanya susah punya pacar, ada saja pokoknya yang dicarinya tapi gak jelas juga sebenarnya apa yang dicarinya, mau perempuan yang rambutnya lurus lah, pendeklah, senyumnya harus beginilah begitulah, lebih baik tidak usah ambil pusing dengannya.” Mariska berbicara sembari menggerak-gerakan kedua tangannya.
“Ah, mirip juga denganmu! Dulu kamu bilang kalau anak IPA dua itu tampan, habis itu dua minggu kemudian kamu bilang kalau ternyata giginya agak tonggos jadi ternyata tidak setampan itu, lalu lagi, beberapa hari kemudian kamu mengatakan bahwa anak IPS empat itu benar-benar manis tetapi beberapa minggu setelahnya kamu akan mengkritiknya terlihat lembek seperti perempuan begitu terus hingga kepalaku pusing sendiri jadinya.” Aku mendongak dan mengeluh keras-keras
Mariska tentu sudah siap dengan argumen bantahannya namun saat itu pintu kamarnya diketuk dari luar. Minuman untuk kami diantar oleh seorang pembantu wanita yang sudah setengah baya. Selagi Mariska menerima minuman mataku mengamati kamar tidur Mariska dengan jeli. Di samping tempat tidurnya terdapat figura foto yang berisikan potret Mariska dan dengan seorang anak laki-laki yang kalau diperhatikan dengan sangat seksama maka terlihatlah ada bayangan sosok Harlan pada garis wajahnya namun bahu yang turun disertai dengan postur gempal dan pendek, juga matanya yang tertarik sipit ke atas dan mulutnya yang terbuka dengan cara yang aneh membuat sosok itu walau hanya dengan sekilas pandang saja orang tidak akan berpikir bahwa ia adalah orang dalam kategori normal.
“Itu abang kami. Abang tertua di rumah ini, semestinya….” Mariska menyorongkan segelas limun dingin kepadaku. “Usianya sudah dua puluh dua tahun. Down syndrom. Waktu kecil Abang diurus oleh keluarga ibuku lalu mulai beberapa tahun yang lalu ia ditempatkan di sebuah panti khusus di Malang. Semua fasilitasnya lengkap, ia dijaga juga dirawat dengan sangat baik di sana, mungkin juga lebih baik dan layak ketimbang bila ia diurus oleh orangtuaku sendiri yang tidak mengakui keberadaanya pada orang lain, yah tentu saja kecuali pada keluarga dekat dan pada orang-orang yang sudah mengenal mereka sejak lama.
“Bagi orangtuaku Abangku itu adalah anak yang ada tapi juga tidak ada. Namanya jarang disebut-sebut bahkan di rumah ini sekalipun. Kamu sadar kalau Bang Harlan menganggap dirinya sebagai anak sulung? Nah dia itu sebelas dua belas dengan orangtuaku, tapi bagiku Bang Idris itu abangku, abang pertama dan juga yang sangat aku sayangi. Kalau kamu tanya apakah aku sayang pada orangtuaku, tentu aku sayang pada mereka. Tapi kalau kamu berbalik bertanya kepada mereka sebuah pertanyaan yang sama, aku jadi sering ragu apa jawaban yang akan diberikan oleh mereka. Tidakkah menurutmu apa yang mereka lalukan pada Bang Idris merupakan hal yang kejam? Aku beberapa kali meminta dan memohon kepada mereka agar membawa Bang Idris pulang ke sini namun lebih mudah bagi mereka untuk membelikan aku tiket pulang pergi ke Malang pada akhir pekan setiap sebulan sekali. Aku pikir mereka lebih mementingkan rasa malu mereka di atas segala-galanya.”
Rasanya otot leherku menyempit dengan perubahan topik yang menjadi sangat intens ini. Aku ragu harus menjawab apa dan bagaimana. Takut salah omong. Apalagi wajah Mariska sangat serius dan ini kali pertama kalinya Mariska membicarakan masalah keluarganya denganku (di luar hal menyangkut Harlan, tentu saja) dan kabut dalam kedua bola matanya cukup membuktikan bahwa ia sama sekali tidak melebih-lebihkan kekecewaanya.
“Pernahkan kamu merasa kecewa pada kedua orangtuamu sendiri Mar?”
Jemariku kedingingan memegang gelas yang sebagian diisi dengan es batu namun lebih baik memegang gelas itu ketimbang hanya dengan kedua tangan kosong dan berdiri dengan sikap juga pikiran yang tegang. Aku ingin mengatakan bahwa aku sangat bangga terhadap kedua orangtuaku namun aku yakin hal itu tidak akan membantu perasan Mariska.
“Aku rasa tidak ya? Berdasarkan cerita-ceritamu aku tahu kamu sangat bangga dan sayang pada mereka. Keluarga kamu sangat harmonis dan meskipun papamu sudah tiada kamu masih begitu mengenang dan juga menyayanginya.” Mariska menjawab pertanyaanya sendiri.
Aku berupaya agar tidak menghembuskan napas keras-keras sebagai pertanda perasaan lega, lolos dari pertanyaan sulit.
“Setiap keluarga memiliki permasalahannya sendiri Riska. Aku tidak bisa mengatakan bahwa orangtuaku, Mas Mario adalah orang-orang yang sempurna tapi aku rasa kami hanya berusaha untuk tidak saling menyakiti dan mengecewakan. Mungkin begitulah kira-kira,” renungku.
“Kamu beruntung sekali kalau begitu.” Mariska meneguk habis limunnya dan berjalan menuju ke jendela, “aku rasa mereka sudah selesai membakar, ayo kita turun. Dua orang itu kalau dibiarkan begitu saja bisa berubah menjadi gorila kelaparan.”
Kami makan daging sampai benar-benar kenyang dan hampir tidak mampu untuk berdiri namun meski begitu Priya masih melahab dua buah donat yang aku bawa.
“Perut kita sudah hampir meledak dan dia masih terus saja mengunyah!” keluh Harlan terhadap kawan baiknya sendiri.
“Nanti sesampainya di rumah aku mau main basket dengan teman-teman kompleks jadi sekarang aku perlu mengisi tenaga. Lagi pula sekarang kita masih dalam masa pertumbuhan jadi perlu makan sebanyak-banyaknya.” Tukas Priya dengan mengambil ancang-ancang untuk mengambil donat ketiga. “Dan yang membawa donat saja tidak keberatan, iya kan Marni?”
“Terserah Kak Priya deh mau dihabiskan juga tidak apa-apa, yang jelas aku sudah tidak kuat makan.” Kataku sambil memegangi perutku sendiri.
“Idem!” ucap Mariska.