Aku memutuskan untuk menolak ajakan pergi Harlan dan langsung memberitahu perihal itu kepada Mariska dengan harapan bahwa semuanya akan clear bagi kami. Namun, memang sering kali harapan tidak berkesesuian dengan hasil. Aku kira langkah yang aku pilih adalah langkah yang tepat dan tidak keliru tapi nyatanya aku malah merasa Mariska mulai menarik dirinya dariku. Ia mengambil jarak, terkadang memandangku dengan sinis dan seringkali mengabaikanku, lebih senang bergaul dengan teman-teman yang lain. Sementara itu Harlan pun bersikap dingin padaku, tidak pernah menyapaku lagi bila berpapasan di lorong sekolah, hanya Priya yang bersikap biasa dan santai terhadapku tapi tidak lebih daripada itu.
Aku tidak merasa memiliki salah terhadap Mariska ataupun Harlan jadi tidak ada alasan bagiku untuk mempertanyakan perubahan sikapnya, aku membiarkan semuanya berlalu begitu saja sampai kami naik kelas, Harlan dan Priya pun lulus.
Memang aku selalu berusaha melupakan hal itu, menjalani satu tahun sekolah yang tersisa dengan sebiasa mungkin toh aku pun masih dapat bergaul dengan teman-teman yang lainnya, akan tetapi tetap saja rasanya seperti ada yang tidak benar di dalam dadaku namun setiap perasaan itu muncul aku berusaha untuk menekannya kuat-kuat atau mencoba memikirkan hal-hal lainnya yang lebih membuat diriku merasa nyaman.
Aku semakin menekuni pelajaran-pelajaran sekolah sebagai persiapan ujian akhir dan ujian masuk universitas. Aku sudah memutuskan akan masuk universitas yang sama dengan Mario. Selain perkara-perkara itu selebihnya kehidupanku masih sama seperti biasanya. Aku masih senang mengunjungi Rumah Baca, terkadang sendirian dan sering kali bersama Ana karena pada waktu itu selain sekolah dan kegiatan ekskul, ia juga mengikuti kursus bahasa Inggris. Masih suka mendengar musik klasik selepas makan malam di beranda belakang bersama Ibu dan Mario. Kedua kenangan itu yang kini aku pikir sangat aku rindukan, bila dapat mengulanginya sekali saja lagi, aku rela membayar dengan harga yang sangat mahal.
***
Aku membuka buku dan menghidu wangi kertasnya sebelum membaca paragraf pertama, wanginya menenangkan dan saraf-sarafku menjadi lebih rileks setelah seharian sibuk mengurusi berkas daftar ulang di kampus yang tinggal tiga bulan lagi akan menjadi rumah baru untuk menuntut ilmu sekaligus memulai kehidupan sebagai seorang mahasiswi.
“Jadi kamu sudah benar-benar siap dengan kehidupan baru nanti?” tanya Ana dari arah belakang, dari bagian dapur rumah Yangti dan Yangkung.
Aku baru membaca paragraf awal novel klasik berjudul Wuthering Heights5 tentang cinta tak sampai.
“Jangan mengatakan seolah-olah aku ini mau berganti indentitas atau telah melakukan hal-hal yang ilegal begitu dong!” protesku. “Siap dong, malahan sudah tidak sabar. Bayangkan betapa menyenangkannya bisa berganti-ganti pakaian yang trendi setiap hari, tidak perlu memakai seragam, lalu tidak harus selalu bangun pagi setiap hari.”
Aku mendengar suara mikser berbunyi dan untuk beberapa saat aku melanjutkan membaca hingga sampai tiga halaman ketika Ana kembali bertanya padaku.
“Tapi setiap aku main ke rumahmu dan berpapasan dengan Mas Mario ketika pulang kuliah, wajahnya tidak tampak begitu senang. Tampaknya dunia perkuliahan tidak begitu menggembirakan.”
Aku mengambil selembar kertas tisu dan menjadikannya sebagai pembatas buku dadakan dan berjalan menuju arah dapur. Tangan Ana sedang sibuk memindahkan adonan kue bolu ke dalam wadah cetakan.
“Ah, tampang kakakku kan memang begitu! Setelan pabrik, datar, flat!”
“Tapi kamu sangat menyanyanginya.” Ana melirik dan tersenyum.
“Tentu saja dia Kakakku satu-satunya.”
“Kalau aku punya kakak seperti Mas Mario aku pun akan sangat menyanyanginya. Sayang aku terlahir sebagai anak tunggal dan sayang juga setelah melahirkan aku rahim Bunda mesti diangkat demi kebaikannya sendiri.”
Aku bersandar pada meja dapur dan memperhatikan Ana yang sangat luwes menggunakan peralatan dapur berbeda denganku yang hampir tidak bisa membuat apa-apa selain mi instan dan telur ceplok.
Yangti dan Yangkung memiliki bisnis katering yang sangat sukses yang sudah mereka jalankan selama hampir dua puluh tahun, pelanggannya mulai dari koorporat hingga keluarga pejabat. Selain perkara bisnis, masakan Yangti memang luar biasa enak, tidak heran kalau bakat dan ilmu itu diturunkannya kepada Ana.
“Kalau kamu mau aku bisa membagi Mas Mario denganmu?”
Ana sempat bengong selama beberapa detik sebelum membentur-benturkan cetakan agar adonannya rata dan tidak meninggalkan udara di dalamnya.
“Bagaimana bisa? Kalaupun kamu mau, Mas Mario kan belum tentu mau. Pokoknya aku iri padamu karena memiliki kakak yang baik seperti itu, tidak pernah mengusikmu dan tampaknya sabar sekali.”
Apa yang dikatakan sepenuhnya benar. Aku menghela napas dalam-dalam. “Tapi kan kamu punya aku, sahabatmu. Tidak semua orang punya sahabat kan? Barangkali ada orang di luar sana juga yang iri denganmu karena kamu memiliki seorang sahabat.”
Ana tersenyum, ia memasukan cetakan tadi ke dalam oven yang sudah dipanaskan dengan hati-hati. “Karena kamu membuat hatiku senang, aku akan membagi separo bolu pisang ini denganmu nanti.”
“Hore!” teriakku.
“Lantas, sebentar lagi kamu kan akan mengadakan perpisahan dengan teman-teman sekolahmu, apa kamu tidak mau mencoba berbicara dengan Mariska? Barangkali sebagai penghabisan?”