Lalu, masa-masa SMA pun berakhir tergantikan dengan satu fase kehidupan lainnya yang tidak kalah menyenangkan namun cukup berbeda dari yang sebelumnya. Bayanganku akan serunya kehidupan perkuliahan yang sebelumnya seputar betapa menyenangkannya tidak perlu memakai seragam cepat tersadarkan setelah pekan pertama. Sebagai maba kami menerima paket SKS yang sudah diatur oleh pihak kampus, di mana setiap hari aku tetap saja harus masuk kelas jam 7 pagi dan pulang amat malam karena ada jam pelajaran spesial dari para senior. Setelah sampai rumah aku tidak sempat lagi memikirkan hari esok mau memakai baju apa, aku hanya ingin tidur, tidur dan tidur.
Karena jadwal kami yang begitu berbeda aku hampir tidak pernah dapat menebeng pada Mario, biasanya aku berangkat bersama Ibu dan pulangnya kadang dijemput sopir dan terkadang diantar oleh teman yang searah, meski begitu tetap saja aku kelelahan sampai-sampai tiga pekan kemudian aku jatuh sakit, dokter mengatakan aku terkena gejala tifus sehingga aku perlu beristirahat selama hampir sepekan. Namun, lelah juga berbaring terus selama berhari-hari. Aku mencari angin di beranda belakang, membaca ulang novel Karmila untuk kesekian kalinya dan sesekali melempar pandangan pada bunga mawar putih yang sedang kuncup saat mendengar gerbang depan dibuka. Pasti Mario yang baru pulang dari les bahasa Jepang setiap hari Kamis sore, kepalaku mendongak matahari masih amat tinggi.
“Ada tamu Bi?” tanyaku pada pembantu yang lewat sambil membawa baki.
“Mas Mario sama temannya,” jawabnya sambil mendekati beranda.
“Ah yang bener?” tanyaku, tidak lekas percaya.
“Beneran deh Dek,” ucapnya mengacungkan jarinya membentuk huruf V, “sumpah deh!”
Meski begitu aku tidak lekas percaya karena hal itu sangat jarang terjadi dan lagi pula aku pun penasaran dengan siapakah teman Mario yang dibawanya pulang itu. Aku disertai pembantuku dengan novel yang masih terbuka berjalan dengan mengendap-endap melewati ruang keluarga dan ruang makan untuk mengintip ruang tamu. Kalau diingat-ingat lagi yang kami lakukan itu seperti adegan konyol yang dilakukan oleh para pemeran di film-film komedi.
Orang itu duduk menghadap bagian dalam rumah sementara kakakku entah pergi ke mana, mungkin ke atas, ke kamarnya. Pria itu duduk dengan kaki terbuka dan tanganya bertautan saling mengepal. Kemeja lengan panjangnya terlihat halus dan mahal kurang terlihat serasi dengan celana jinsnya yang telah belel. Namun perkara apa yang ia kenakan bukanlah masalah besar sebab napasku langsung tertahan dengan sendirinya dan aku tidak dapat menjelaskan alasannya. Aku buru-buru membalik tubuh, novel tua itu jatuh ke ubin yang rajin dipel oleh pembantu sampai mengkilat. Novel itu aku pungut sementara pembantu kami segera permisi ke belakang begitu melihat Mario menuruni anak tangga, dari atas sana ia dapat melihatku dengan jelas.
Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba aku merasa malu dan salah tingkah, perasaan itu datangnya begitu cepat dan aku belum pernah mengalaminya sebelumnya, aku tidak memiliki persiapan apa-apa untuk menghalaunya. Mario yang membawa beberapa binder di tangan malah berjalan ke arahku bukan ke arah tamunya, sebagian tubuhnya terlihat dari ruang tamu sebagian lagi terhalang oleh tembok.
“Kenapa?”
Aku menatapnya dengan bingung, kenapa? Aku pun tidak mengerti kenapa perasaanku dan diriku bertindak seperti itu. Mario menyentuh keningku, ia mengernyit, memang aku masih sumeng.
“Ada apa Mas?” suara itu berat dan dalam.
Aku dapat merasakan pipi dan telingaku panas, dengan tangan dan kaki gemetar aku berusaha untuk kembali ke beranda belakang, mencari perlindungan.
“Tidak apa-apa. Sebentar Sembara.”
Mario mengejarku yang sudah setengah jalan. Seiring bertambahnya langkah yang aku ambil dadaku semakin berdebar keras, nama orang itu adalah Sembara. Rambutnya yang cepak, urat-urat tangannya yang menonjol kuat dan bibirnya yang melintang padat itu…, aku menelan ludah. Aku panik dengan apa yang beredar dalam diriku sendiri sehingga tidak menyadari bahwa pintu kaca yang menjadi pembatas ruang dalam dan beranda belakang ternyata sudah ditutup oleh bibi pembantu. Aku menabraknya hingga aku terpental ke belakang dan menimbulkan suara yang menggema.
“Marni!” ujar Mario dengan lantang.
“Aduh,” aku meringis menahan sakit.
Mario bergegas menghampiri, ia memegangi keningku yang langsung berwarna kemerahan.
“Tidak apa-apa, tidak apa-apa.” Ucapku berkali-kali meski yang aku rasakan berlawanan dengan kata itu.
Pembantu juga datang menghampiri kami begitu juga pria itu, pria yang bernama Sembara juga ternyata sudah berdiri di dekatku.
“Sakit? Perlu pergi ke UGD?” tanya Mario dengan suara yang tidak diragukan lagi sangat panik.
Sembara membungkuk sudah siap mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri, aku merespon dengan menepis tangan Mario dan tidak berani menoleh sedikit pun ke arah Sembara. Aku bangkit meski dengan kepala yang masih kesakitan dan berputar.
“Enggak, aduh kok ini pintu tiba-tiba tertutup sendiri ya.” Aku menambahkan tawa canggung yang tentunya tidak menolong untuk menutupi perasaan malu yang segera saja meguasai diriku.
Pembantu kami minta maaf berkali-kali dan malah membuat aku sendiri menjadi tidak enak hati. Buku novel terlempar ke dekat sofa kulit di ruang keluarga, Sembara memungutnya, aku yang sejak tadi berusaha untuk tidak menatapnya mau tidak mau membalas tatapannya ketika ia menyerahkan novel itu padaku. Bola matanya bagaikan dua buah kelereng yang amat pekat.
“Ini milikmu bukan?”
Tulang pipinya tegas dan ramping. Kedua kelereng itu dilindungi dengan bulu mata yang rapat dan lentik alami.
“Iya, terima kasih.” Suaraku nyaris tidak terdengar.
Mario mengamati aku selama beberapa saat sampai ia menyimpulkan bahawa keadaanku tidak segawat perkiraanya tadi.
“Mengapa tidak tidur di kamar?”
“Sumpek di kamar, mau cari angin sedikit.” Jawabanku itu sebetulnya sangat tolol mengingat kamarku memiliki balkon kecil. “Sebaiknya aku permisi, terima kasih sekali lagi.” Mataku melirik dengan malu-malu pada Sembara yang membalas dengan sebuah senyum pendek.
Ketika tiba di kamar nyawaku rasanya mau terbang meninggalkan badan payah yang terbungkus piyama bermotif Donald Duck yang sudah aku kenakan selama tiga hari penuh. Andaikan ada pilihan untuk rehat sebentar dari muka bumi aku akan mengambilnya.
***
Sembara, nama dan wajah itu laksana hantu yang terus menghantuiku. Mau aku pergi ke manapun ia suka tiba-tiba hadir membuat aku hampir tersedak sepotong daging rendang. Di lain waktu, senyum pendeknya itu menyatroni pikiranku ketika aku sedang menjawab pertanyaan di muka kelas saat presentasi dan berakibat jawabanku yang sangat ngawur dan ditertawakan oleh teman-teman satu kelas. Dan yang paling parah ketika ia tiba-tiba datang ketika malam hari, ia merusak jam tidurku yang berharga, membuat tubuhku resah dengan pikiran-pikiran yang berkelana liar dan usil mengenai pribadi pria bernama Sembara itu. Anehnya semakin kuat aku ingin mengenalnya, semakin kuat juga usaha diriku agar mengabaikan perasaan itu. Namun efeknya ternyata tidak begitu baik.
“Kenapa kamu ini? Sakit lagi?” Sani menunda menyuap sepotong batagor dan menatapku dengan tanda tanya besar.
Kepalaku memang sejak tadi menoleh ke sana kemari sejak kami tiba di kantin sebab sesungguhnya aku mengharapkan Sembara tiba-tiba muncul dari arah mana saja terserah yang jelas aku ingin walau hanya sekali saja untuk dapat melihat wajahnya lagi.
“Si Ateng kok enggak ada ya? Biasannya dia suka nawarin susu segar.” Kataku dengan yakin, tahu bahwa motif itu terdengar sangat logis.
“Ampun, masa makan ketoprak minumnya susu sapi, mana nyambung? Lagian itu kan sudah ada es teh manis.” Mata Sani melotot dengan tidak santai.
“Lagi pengen aja soalnya.” Aku menggaruk-garuk lenganku yang tidak terasa gatal sesungguhnya. Sani sudah sibuk dengan makanannya lagi dan aku menopang daguku, mengamatinya. “Bagaimana sih caranya agar membuat seseorang jatuh cinta pada kita?”
Sani mengangat wajahnya dengan perlahan, ia tidak tampak terkejut, ia mengunyah dengan sangat lamban dan mengaduk-aduk es jeruknya entah berapa kali sebelum membuka mulutunya kembali.
“Cinta yang sungguh cinta atau cinta yang sekedar usil saja?”
“Aku baru tahu bahwa ada cinta yang sekedar usilan saja.”
Mulut Sani mengeluarkan bunyi berdecak, ekspresi wajahnya seperti dibuat-buat. “Coba tanyakan saja pada salah satu laki-laki yang kamu kenal, apakah mereka mengenal apa itu cinta sungguhan? Pasti kebanyakan tidak akan paham apa maksud pertanyaanmu. Cinta itu adanya hanya ada di bawah dan di sini, lalu di sini, bagi soerang pria untuk wanita,” ujar Sani sembari menunjuk pinggul, dada dan wajahnya.