Meraki, Sebuah Catatan Kehidupan

Dian Y.
Chapter #7

Cinta dan Duka

Berkat bantuan Sembara jadwal skripsi Mario tidak terganggu. Kalau sampai ia tidak dapat bertemu dengan dosen pembimbingnya pada hari aku kembali jatuh sakit maka jadwal skripsinya akan berantakan dan bukan tidak mungkin ia terpaksa menambah satu semester lagi dikarenakan dosen pembimbingnya itu hendak pergi ke luar negeri selama dua bulan. Aku tahu hal itu setelah memaksa Mario untuk berbicara. 

“Junior Mas Mario itu ternyata cukup baik ya,” aku berusaha menjaga agar nada bicaraku terdengar datar saja.

“Iya betul, undanglah Sembara ke rumah kita Rio, Kita harus menghargai kebaikannya,” ujar Ibu setelah menyesap kopi hitam. 

Seperti biasa bila tidak ada kesibukan atau halangan kami bertiga selalu duduk-duduk santai di beranda belakang setelah menyantap makan malam, kali itu musik waltz dari Strauss Junior yang mengiringi percakapan kami. 

“Iya nanti Rio tanyakan apakah dia bersedia, Mama. Anaknya suka hilang soalnya.” Jawab Mario dengan suaranya yang benar-benar datar tidak dibuat-buat seperti diriku. 

“Oh, ya? Memang ia memiliki kesibukan apa selain kuliah? Dia bekerja sambilan memangnya?” tanpa sadar aku menyondongkan tubuhku. 

“Bukan. Anaknya hanya suka sibuk ilang-ilangan saja.”

“Loh kok begitu? Maksudnya bagaimana?” aku kelepasan, suaraku terdengar sangat penasaran. “Maksudnya, biar bagaimanapun Marni juga memiliki hutang budi padanya.”

“Iya betul itu, cobalah Rio, kalau perlu sedikit kamu paksa dia juga tidak mengapa, kita jamu dia dengan sopan.” 

“Iya, nanti Rio coba, Mama.” Jawab Mario dengan amat patuh. 

“Nah sekarang kita ganti pokok pembahasan. Kamu serius mau ngekos Mar?” Ibu memutar tubuhnya. 

“Kalau Mama mengizinkan, tapi andai kata Mama tidak setuju tidak mengapa biar Marni tetap pulang-pergi saja.”

“Setelah Mama pikirkan dengan seksama memang tidak ada buruknya juga kalau kamu ingin ngekos sekamar berdua dengan temanmu. Hampir setiap hari kamu selalu pulang larut malam dan Mama tahu itu juga bukan karena kehendakmu sendiri namun karena kondisi yang mengharuskannya. Mirip dengan Rio sewaktu awal kuliah dulu, bedanya Rio anak laki-laki jadi kekhawatiran Mama hanya setengah saja dibandingkan kecemasan Mama padamu apalagi akhirnya kamu sampai jatuh sakit seperti kemarin.”

“Jadi?” tanyaku dengan penuh harap. 

“Boleh, Mama rasa itu baik untuk kesehatanmu, kamu bisa mengirit energi dan waktu jadi kamu bisa mengalihkannya ke pelajaran. Tapi, kamu mesti berjanji ya sama Mama.”

“Janji apa Ma?” 

“Kamu sudah dewasa sekarang ini, apa yang kamu lakukan Mama mau supaya kamu benar-benar memikirkannya dengan seksama terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk melakukannya atau tidak. Mama sangat sadar bahwa kamu ini anak yang bertanggung jawab dan Mama sangat berterima kasih kepada kamu dan Mario karena sudah menjadi anak-anak yang begitu mandiri dan manis selama ini, tidak pernah membuat Mama repot. Sungguh Mama berterima kasih akan hal tersebut. 

“Tapi begini, Mama ini juga pernah muda pernah juga mengalami masa-masa kuliah, Pendek kata begini Marni, kamu boleh bermain sesuka hatimu tentu dengan batas-batas yang tidak merugikan dirimu sendiri dan keluarga kita. Ingat selalu, kalau kamu mau melakukan sesuatu, berhentilah sejenak dan pikirkan masa depan mu. Masa depan seperti apa yang kamu kehendaki? Pikirkanlah itu.”

Aku mengangguk dengan serius, “Marni paham Ma.”

Ibu tersenyum lembut menatap aku dan Mario secara bergantian. Bila saja kami masih anak-anak mungkin saja ia akan langsung mengecup pipi kami kanan-kiri dengan bergantian seperti kebiasannya dan Papa dulu.

***

Sekamar dengan seseorang adalah hal yang sangat baru bagiku, ternyata rasanya aneh, canggung dan terkadang sangat menjengkelkan. Banyak hal baru mengenai Sani yang baru aku ketahui bukan karena percakapan kami melainkan karena tabiatnya yang tidak ia tampakkan di muka umum.

Seperti yang sudah pernah aku sebutkan bahwa Sani sangat cantik dan memang ia memiliki kesan dan juga menjaga image di depan khalayak umum sebagai wanita dengan kesan murni dan memiliki kecenderungan ke arah polos. Singkatnya pujaan untuk sebagain besar laki-laki dan menyebalkan untuk sebagain besar wanita (utamanya yang menyimpan rasa iri padanya). Aku sendiri tidak merasa sebal padanya saat berada di kampus karena ia seperi Sani yang aku kenal sebelum menjadi rekan satu kamar, akan tetapi begitu aku memasuki kamar kami berdua seketika rasa sebalku padanya berlahan-lahan naik. Dan bukan tanpa alasan perasaan sebal itu sendiri lahir. 

Nyatanya kecantikan tidak selalu berbanding tegak lurus dengan kerapian dan juga kebersihan. Aku bukan orang paling rapi dan bersih sedunia tapi aku juga bukan orang yang menikmati kesemerawutan apalagai kejorokan yang dipelihara dengan begitu saja. 

Sejak minggu pertama kami menjadi rekan sekamar kejorokan Sani sudah mulai menampakan dirinya, botol-botol minuman yang sudah kosong ia biarkan bergeletakan di atas meja belajar dan lantai, kosmetiknya juga tergeletak begitu saja tidak beraturan di atas meja, sementara itu buku-buku kuliah miliknya hampir tidak pernah ia sentuh seusai kelas. Untung saja kamar kosan kami memiliki dua ranjang dan meja belajar yang terpisah, sialnya kami harus berbagi lemari, jadi kami membaginya dengan cara yang sederhana, sisi kanan untukku dan sisi kiri untuknya. 

Ranjang Sani tidak pernah dibereskan dan sepertinya juga tidak ada keinginan sedikit pun bagi dirinya untuk menata selimut dan bantal tiap kali ia bangun tidur yang aku herannya jam berapa pun ia pulang ke kosan matanya tetap dapat terbuka saat waktunya ia harus berangkat ke kelas. Setelah hidup bersama begitu dekat aku baru tahu bahwa Sani gemar keluar kosan pada malam hari, dia mahluk noktural. Hobi dugem itu rupanya disokong oleh para pria bodoh yang memuja dan juga diperdaya olehnya. Jangan salah sangka, aku berkata cukup pedas seperti ini bukan karena aku iri dengan kehidupan “balance” seperti yang selalu ia katakan padaku. Tapi aku sangat kesal dan sedikit banyaknya merasa tertipu karena ide untuk berbagi kamar kosan diajukan oleh dirinya. 

Di Jakarta Sani hidup seorang diri sebab seluruh keluarganya berada di Bandung dan setahuku ia berasal dari keluarga yang berpunya, orangtuanya memiliki bisnis oleh-oleh yang terkenal di daerah Cihampelas. Aku tidak tahu Sani memiliki berapa saudara atau bagaimana kondisi keluarganya sebab Sani sangat tertutup perihal kedua hal tersebut. 

Meski aku pulang ke rumah hanya pada setiap akhir pekan namun komunikasiku dengan Ana tidak pernah putus, hampir setiap hari ia meneleponku ataupun sebaliknya dan itu tidak termasuk dengan pesan-pesan singkat yang ia kirim hanya untuk sekedar mengingatkan aku agar jangan lupa makan; makanlah sesuatu yang bersih; jangan lupa berdoa, dia amat manis sekali. Dan berbicara dengan Ana memang selalu manjur untuk menghilangkan rasa sumpek dalam dadaku terutama mengenai perkara rekan sekamarku. 

“Dia baru saja keluar. Aku tidak tahu dia mau pergi ke mana tapi dilihat dari pakaiannya mestinya ia pergi clubbing. Aku lihat ada seorang pria yang menunggunya di depan pagar kosan kami tadi.”

Kamar kami dilengkapi sebuah jendela ramping yang tidak dapat dibuka namun langsung menghadap ke pelataran rumah kos.

“Tapi ini sudah sangat malam, bukannya kamu bilang besok ada ujian?” tanya Ana dengan khawatir. 

Lihat selengkapnya