Mario lulus dengan predikat suma cum laude. Kami tentu sangat bangga atas prestasinya, untuk itu Ibu mengadakan acara makan-makan sekaligus syukuran yang tentu saja menggunakan jasa katering Yangti. Yangti tampaknya sudah bisa menerima kepergian suami yang telah menemaninya selama empat puluh tahun, sedangkan Ana, ia masih sering membicarakan Yangkung dan terkadang sedikit-sedikit masih menangis sendu.
“Kamu mirip dengan Bundamu ya An,” kataku dengan tenang. Kami berdua duduk di kursi rotan yang baru saja dipindah ke halaman belakang yang berumput, agar menambah ruang bagi para tamu di area rumah.
“Banyak yang bilang begitu.” Ana menyedok potongan nangka muda di dalam gelas es buah keduanya pada sore yang tidak berangin itu.
Setelah kematian Yangkung, orangtua Ana datang dan tinggal di Jakarta selama sebulan lebih.
“Mas Mario tampak bahagia dan juga lega tentunya,” Ana memperhatikan kakakku yang berada di beranda dan menyimak pembicaraan orang-orang di sekelilingnya dengan sopan. “Menurutmu kelak Mas Mario akan menikah dengan wanita macam apa?”
Sepotong cincau hampir saja lompat keluar dari mulutku, pertanyaan Ana begitu mengagetkan.
“Mengapa? Mau mencoba mengajukan diri untuk menjadi kakak iparku?” candaku.
“Eh, bukannya begitu…, habis…, habis…” Ana mengigit bibirnya. “Mas Mario terlihat agak kesepian.” Bisiknya lemah.
“Menurutmu begitu? Dan mengapa kamu berpikir begitu?” aku meletakan gelas es buah yang telah kosong ke atas meja dan menyeka bibirku dengan pelan agar sisa lipstik tidak sepenuhnya hilang.
“Orang yang pendiam cendrung menyimpan permasalahan dan rasa sepinya sendiri. Mas Mario sangat pendiam coba bayangkan kalau ia mendapat istri yang pendiam juga, apa tidak jadi seperti kuburan nanti rumahnya?”
“Benar juga perkataanmu itu. Tapi sulitnya lagi, Mas Mario itu memiliki kepribadian yang kuat, mau coba kamu korek dengan cara apa pun dia, kalau memang dia tidak mau bicara maka sampai kapanpun ia tidak mau bicara. Aku pun tidak tahu mengapa ia sekaku dan sesulit itu, padahal Papa orang yang sangat periang dan terbuka. Kenapa aku bilang Papa, karena selain mereka sangat mirip seperti yang sering kamu lihat dalam potret keluarga kami di ruang keluarga, sewaktu Papa hidup mereka pun amat dekat, semestinya Mas Mario kan banyak mengambil karakter ceria Papa dengan begitu.” Aku melipat kedua tanganku. “Tapi sejujurnya aku cukup kaget loh, temannya yang datang banyak juga hari ini. Aku kira barang hanya satu dua orang saja.”
“Dan di antara mereka…”
“Jangan mulai An, jangan membuat aku sedih.”
Ana langsung menutup mulutnya dan ia lekas menunjukan permohonan maafnya melalui tatapan mata. Aku melempar pandangan ke arah gerombolan Mario yang sedang bercengkrama. Tidak ada wajah yang aku cari.
Aku mendesah dengan penuh kegalauan, ajakan pergi itu entah hanya omong kosong atau sekedar iseng saja.
“Lantas, bagaimana soal pacarmu?”
“Pa…, pacarku?” Ana tergagap. “Dia hanya teman Mar.”
“Teman tapi perkembangannya cukup pesat,” aku mengerling dan menjiwit lembut lengannya. “Kamu harus menerima ajakannya untuk pergi ke bioskop minggu depan.”
Ana menduduk, aku pun mengikuti padangannya dan segera melihat sepatu datar model balerina berwarna merah hati dengan aksen pita kecil, hadiah ulang tahun dariku pekan lalu untuknya.
“Aku merasa belum pantas bersuka ria.”
“Mengapa kamu merasa belum pantas?”
“Aku tidak tahu apakah akan lulus ujian nanti dan lagi pula Yangti juga masih bersedih.”
“Ana!” seruku. “Lantas kamu pikir, baik mendiang Yangkung lalu Yangti dan Ibumu akan senang melihatmu tidak bahagia? Jangan terlalu mengekang dirimu seperti itu. Kamu sudah bekerja keras dan kamu berhak untuk sedikit berbahagia. Meski Fani tidak ikut merayakan pesta ulang tahunmu pekan lalu namun ia mengirikan buket bunga, memang kamu pikir itu tidak artinya? Itu artinya ia sangat menyukaimu.” Ujarku blak-blakan.
Ana mengangkat wajahnya dan menatapku dengan mata terbuka lebar, lantas ia kembali menunduk dalam.
“Yangti, ia terkadang terbangun lalu entah apa yang ia pikirkan tiba-tiba saja ia menyapu, mengelap meja, melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak semestinya dilakukan pada tengah malam buta. Mungkin itu cara dirinya agar bisa melupakan sejenak bahwa Yangkung sudah tidak tidur di sampingnya. Bunda selalu membiarkannya tapi kalau sudah terlalu lama biasanya ia juga akan bangun dan membuat sesuatu untuk Yangti di dapur lalu mereka akan berukar cerita samapai fajar menyingsing… Kamu berkata bahwa Mas Mario banyak berubah pasca kematian ayah kalian, kini aku bisa memahami perasaanmu.”
Tiga burung gereja yang sejak tadi bertengger dan seperti saling berbicang di atas tembok pembatas rumah silih berganti terbang menuju angkasa luas.
“Tapi pada akhirnya hidup harus terus berlanjut bukan?” ucapku lirih. “Meski kita harus melalui duka itu dengan susah payah.”
“Ya. Kamu sangat kuat dapat menghadapi kepergian ayahmu dengan terus tersenym Mar.”
“Oho! Siapa bilang? Sampai kini pun aku masih berduka hanya saja duka itu lebih sering berubah menjadi doa dan harapan bahwa kelak kami akan berjumpa lagi. Masih ada tangis namun tidak sering lagi. Mungkin saja, mungkin aku bilang, andai kata Papa meninggal karena sakit kronis atau ia meninggal dengan peringatan terlebih dahulu rasa sedihnya dan syoknya akan sangat berbeda. Kemataian Papa seperti…, seperti rasanya ada yang tercerabut dari hidup kami…, akan tetapi aku masih memiliki Mama dan juga Mas Mario, terutama Mama. Bila aku membiarkan diriku jatuh ke lubang duka terus menerus artinya aku sudah tidak menghormati keberadaan ibuku sendiri.”
Aku merasakan mataku mulai digenangi air mata, meski aku tidak mau menangis ia tetap saja menetes dengan sendirinya.
“Sudahlah, ini hari bahagia untuk Mas Mario, jangan kita basahi dengan air mata. Kan tidak setiap hari Mas Mario mau dirayakan seperti ini. Aku mau ambil makan lagi ke dalam, mau menitip sesuatu?” tanyaku dengan meraih gelas Ana yang telah kosong lagi.
Sembara menunjukan dirinya saat aku sedang menumpuk kue-kue basah di atas piring. Kami saling tatap selama beberapa saat juga bertukar senyum dengan sopan. Aku kembali ke belakang sementara ia menyapa Mario dan juga nyonya rumah yang tampak gembira, tamu yang diundangnya beberapa bulan lalu akhirnya muncul juga. Aku membisiki Ana dan ia yang begitu penasaran dengan tampang Sembara langsung celingukan.
“Jangan begitu An, nanti dia kira aku terlalu peduli padanya,” protesku akan tingkahnya.
Ana membuka pembungkus lemper namun kepalanya seperti tertarik medan magnet untuk terus melongok ke arah dalam rumah.
“Tante menunjuk ke sini Mar. Marni sepertinya orang itu hendak pergi kemari.” Ana terdengar antusias sekaligus panik.
“Ana, diamlah! Jangan begitu nanti dia besar kepala seolah-olah kita ini memang menantinya!”
Sembara muncul dihadapanku segera setelah aku menutup mulutku. Ia tampak rapi dengan kemeja batik lengan panjang dan sepatu pantofel mengkilat.
“Halo,” sapanya ramah kepada Ana dan kepadaku, senyumnya lebih bertambah lebar sebanyak dua centi membuat lengsung pipinya semakin tampak, “halo, Marni.”
“Hi,” jawabku singkat.
Sepertinya kami bertiga sama-sama saling kebingungan dalam menentukan sikap, sama-sama saling rikuh dan bingung mau memulai dari mana. Ada rasa kesal yang rasanya sulit untuk aku sembunyikan.
“Sembara,” ia menyodorkan tanganya pada Ana.
“Ana,” mereka berjabatan tangan dengan ringan. “Sahabatnya Marni.”
“Yang pintar memasak itu?”
Ana tampak bingung dan segera meminta penjelasan dariku melalui lirikan matanya. Aku membuang wajahku ke arah lain.
“Bisa masak bukannya pintar.” Ana tertawa kecil, aku merasa rasa percaya dirinya sudah jauh bertambah ketimbang waktu pertama kali aku berkenalan dengannya. “Wah sepertinya sudah banyak ya yang Marni ceritakan mengenai diri aku?”
“Enggak kok, cuma sedikit. Soalnya masih banyak hal mengenai diri Marni yang belum saya ketahui.”
Pipiku terasa hangat, rasanya aku dapat mendengar bunyi degup jantungku sendiri yang kian bertambah kuat dan cepat kerjanya.
“Kalau ditanya tentu aku bersedia menjawab kalau perlu panjang lebar tapi kalau tidak ada yang bertanya masa tiba-tiba aku memerlukan diriku untuk memperinci diriku sendiri, kan tidak mungkin begitu, ya kan An?”
“Eh, iya, betul.” Ana terlihat kaget dengan jawabanku yang gatal.
“Sepertinya aku sudah membuat kesal sahabatmu An, tapi bisa tolong kamu sampaikan padanya bahwa saya tidak bermaksud begitu.”
Ana bolak balik menatap aku dan Sembara, setengah lempernya belum termakan, ia mendesah kencang.
“Baru kali ini tenggorkanku seret karena lemper, sebaiknya aku ambil minum dulu di dalam. Kalian mau menitip sesuatu?” baik aku ataupun Sembara sama-sama diam dan lagi-lagi Ana mendesah. “Ok, mungkin segelas air lemon masing-masing untuk kalian.”
Aku mengamati punggung Ana sampai ia berbaur dengan punggung-punggung lainnya. Kini aku yang mendesah pelan.
“Maaf.”
“Maaf juga. Aku berhutang penjelasan padamu. Namun, sewaktu aku mengajakmu pergi aku tidak berbohong dan sangat bersungguh-sungguh hanya saja aku belum ada waktu sekarang-sekarang ini.”
Aku sedikit malu karena merasa menjadi seorang wanita yang terlalu agresif dan pemaksa meskipun di satu sisi juga aku yakin bahwa kekesalanku padanya bukan suatu kesalahan.
“Aku tidak mengatakan kamu berbohong, kamu hanya perlu mengatakannya saja. Tidak semua wanita itu rumit seperti yang ditulis di majalah-majalah.”
Tatapan Sembara begitu serius namun lembut menyapu wajahku, “Ok, sekali lagi maaf. Begini saja, karena aku bersalah kepadamu, kamu bebas menentukan mau pergi ke mana.”
“Sungguh?”
“Ya, itu hutangku.”
“Hmm,” aku mengangguk dan berpikir dengan keras. “Juga ucapanmu yang sebelumnya itu benar?” tentu saja aku menahan napasku sambil mengajukan pertanyaan tersebut. Namun aku tahu untuk mendapatkan apa yang aku mau seorang wanita harus kuat tanpa menjatuhkan harga dirinya, seperti pesan Ibu.
“Iya,” jawabnya dengan memerkan giginya yang putih dan berkilat.