Meraki, Sebuah Catatan Kehidupan

Dian Y.
Chapter #9

Sentuhan Pertama

Semester pun berganti, Ana telah lulus ujian kelulusan, ia juga sudah diterima di jurusan dan universitas yang dipilihnya. Kami merayakan kelulusannya dengan suka cita namun di sisi yang lain sebelah bagian pada dirinya dihinggapi rasa berat dan sedih. 

“Bandung rasanya jauh sekali,” ujar Ana dengan lesu. 

“Kamu bisa naik kereta Parahiyangan An, Bandung tidak sejauh Surabaya.” Sebetulnya aku mau menambahkan bahwa Bandung itu amat dekat dengan Jakarta apalagi Bogor tempat Ana akan menempuh studi di perguruan tinggi, namun aku urungkan saja niatku, tidak baik membuat orang yang sedang galau menjadi tambah galau.

Ana terus saja menyandarkan dagunya di lengan kursi, kasihan juga aku melihatnya. Hubungannya dengan Fani berjalan dengan mulus sejauh ini, bila dua orang saling menyukai memang seharusnya begitu.

“Kamu sendiri, bagaimana dengan Sembara?”

“Tidak bagaimana-bagaimana,” kataku tanpa mengalihkan perhatian dari kolom gosip mengenai perserongan artis A dengan artis B dan membuat murka istrinya yang berinisial H.

“Kok begitu?” tanya Ana dengan gigih. 

“Ya, memang mau bagaimana lagi? Mau dengar aku mengatakan bahwa kemungkinan besar ia membenci diriku?” suaraku yang setengah membentak membuat Ana kaget dan melonjak dari kursinya.

Setelah acara piknik dadakan di bonbin itu, aku dan Sembara beberapa kali pergi dan makan siang bersama di kantin kampus tapi lebih dari sebulan yang lalu kami bertengkar karena ia tiba-tiba membatalkan janji mendadak dengan alasan yang kurang jelas, tentu saja aku marah dan secara sepihak memotong perkataanya dengan mematikan sambungan telepon. Ia tidak pernah menghubungiku lagi sejak hari itu. 

“Maaf.” Ujar Ana dengan mengigit bibirnya.

“Bukan salahmu.” Aku membanting tabloid ke atas meja, sudah tidak mood untuk membaca. “Aku kesal pada diriku sendiri, harusnya aku tidak begitu galak. Maaf ya, An.”

Ana pindah tempat duduk ke sampingku, “Kamu begitu menyukainya ya?”

“Bahkan terlalu aku rasa…,” napasku tertahan, “sampai rasanya membuat frustrasi.”

Ana merentangkan tanganya lebar-lebar, “Butuh pelukan?”

“Untuk saat ini belum, tapi mungkin nanti boleh juga.” 

Ana kembali menurunkan tangannya. Aku tidak berharap ia merasakan kegundahan yang seperti aku rasakan, meski aku belum pernah bertemu dengan Fani tapi dari cerita-cerita Ana mengenai perlakuan Fani kepada dirinya selama ini aku tahu ia pria yang baik, Sembara juga baik tetapi aku tidak tahu apa posisinya dan posisiku sendiri pada hidupanya dan juga hidupku. 

“Aku akan membuatkanmu coklat hangat.”

Saat itu hanya ada kami berdua di rumah Yangti dan di rumahku hanya ada pembantu sedangkan Ibu dan Mario tentu saja sedang berada di kantor mereka masing-masing. 

Setelah lulus kuliah Mario melamar kerja di sebuah perusahaan resleting ternama dari Jepang dan setelah melewati tiga tahap seleksi ia diterima bekerja di sana. Aku rasa kemampuan bahasa Jepang berkat kursus yang diikutinya dengan tekun selama hampir dua tahun itu sangat membantunya dalam medapatkan pekerjaan di perusahaan tersebut. 

Aku membuntuti Ana ke dapur dan melihat tangannya bekerja mencari cangkir, membuka kulkas dan menuang ini-itu. 

“Aku baru ingat! Di kulkas ada manisan pala basah, baru aku buat dengan Yangti kemarin, kalau mau ambil saja.”

“Fani, dia akan menjadi pria yang amat beruntung.” 

“Mengapa begitu?” 

Ana tengah menuangkan susu segar ke panci, hari itu ia mengenakan daster batik yang sudah sering ia kenakan hingga kainnya menjadi lusuh. Tapi bukan hal itu yang mengangguku. Aku baru menyadari bahwa Ana begitu kurus, sangat kurus hingga tulang dadanya bertonjolan, pergelangan tanganya begitu kecil dan tipis dan tubuhnya terlihat seperti sebuah papan triplek.

“Kamu kurusan ya An?” aku lupa akan pertanyaan Ana sebelumnya. 

“Tidak tahu, aku hampir tidak pernah menimbang. Tapi mungkin ya, soalnya kan kemarin-kemarin aku sibuk sekali dengan ujian.”

Keningku mengerut dalam, memang ia sangat sibuk dengan pelajaran dan ujian-ujiannya namun aku tahu sekali bahwa ia juga tidak kekurangan makan, sama sekali. 

“Kamu tidak mau periksa ke dokter? Aku rasa kamu terlalu kurus. Aku baca di majalah kepunyaan Mama, wanita yang terlalu kurus itu juga tidak baik. Nanti kalau kamu hamil akan sangat berbahaya untuk kamu maupun bayimu, juga kalau kamu sakit akan sulit bagi tubuhmu untuk memulihkan diri.”

“Astaga Marni, kamu sudah kepikiran punya anak ternyata?” Ana mencoba untuk bergurau.

“Aku serius An,” jawabku dengan ribut. “Makan kamu kan banyak sekali, jauh lebih banyak daripada aku, tapi kamu kurus begini. Barangkali ada yang tidak beres.” Aku berjalan melewati pantri dan segera tiba di sisinya. Wangi coklat membaui seluruh ruang dapur. “Masa neneknya pemilik usaha katering ternama tapi cucunya kurus kering kerontang, apa tidak aneh?”

“Maksudmu aku tidak normal?” aku mengawasi wajah Ana dengan teliti, kulitnya memang agak pucat. Aku menyentuh keningnya dan menyamakan suhunya dengan suhu tubuhku sendiri. “Marni, aku baik-baik saja. Nanti kalau sudah masuk kuliah dan aku bisa lebih santai, berat badanku akan naik dengan sendirinya. Tenang saja. Aku hanya sedikit stres kemarin makanya setiap habis makan aku harus pergi ke toilet, mungkin itu alasan kenapa beratku turun.”

“Aku akan memaksa Yangti untuk membawamu ke dokter, kalau perlu aku akan menelepon ibumu agar datang kemari.” Ujarku dengan memeriksa setiap inci dirinya. “Tunggu, apa lehermu benjol? Itu kok seperti benjolan.” Tanpa diminta atau diberikan izin terlebih dahulu aku merabai lehernya.

“Aduh geli Marni,” jerit Ana, memindahkan tangannya dari pegangan panci untuk menghindari terjadinya suatu musibah.

Aku benar-benar merasakan sesuatu pada lehernya, tepat di tengah-tengah agak kebagian pangkal. Aku meraba leherku sendiri, aku tidak merasakan apa-apa. 

“Coba kamu raba lehermu sendiri lalu raba leherku.” Ucapku dengan mimik serius dan lebih seperti memerintah dan Ana menuruti perintahku seperi murid mendengarkan guru kesukaanya. “Apa kamu sakit gondongan?” aku ingat sewaktu kecil dulu aku pernah melihat salah satu pembantu di rumah Oma sakit gondongan, lehernya bengkak dan besar namun posisi dan ukurannya berbeda dari kepunyaan Ana. 

“Namun aku baik-baik saja.” Ana masih meraba-raba lehernya sendiri, wajahnya mendadak menjadi tegang ketika memegang area yang menjadi topik pembicaraanku. Ia mematikan kompor dan lari ke kaca pajangan yang menghiasi ruang makan.

“Kamu harus pergi ke dokter An, ke internis.” 

Aku melanjutkan pekerjaan Ana, menuang dan membagi coklat hangat itu ke dalam dua buah cakir besar sementara Ana masih merabai lehernya yang jenjang dengan wajah bergidik.

Beberapa pekan kemudian berita kurang sedap menyapa kami. Setelah dilakukan biopsi pada benjolan di leher Ana dan dilakukan tes darah berupa pemeriksaan FT4 dan FT3, dokter memvonis Ana menderita kanker tiroid.

“Kata dokter aku harus menjalani operasi, mau tidak mau,” ujar Ana dengan mengigit bibirnya dan berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya sejak aku datang tadi. 

“Apa kata Yangti dan orangtuamu?”

“Ayah akan datang besok, ia berkata bahwa kami harus mencari opini kedua. Ibuku setuju begitu pula dengan Yangti.”

“Kalau kamu sendiri?”

“Tidak tahu,” langkah Ana semakin cepat lalu mendadak berhenti, “aku belum pernah dirawat di rumah sakit Marni dan sekarang mendadak dokter memberitahu bahwa aku harus menjalani opersi pembedahan di leherku…” wajahnya pucat dan amat tegang seolah-olah aku lah yang akan mengoprasinya.

Aku tidak tahu banyak mengenai operasi dan penyakit yang diidap oleh Ana jadi aku mencari-cari buku yang bisa membantuku memahami penyakit tersebut. Aku mulai mengunjungi Rumah Baca lagi guna mencari-cari buku kesehatan dan bahkan membeli beberapa judul yang aku pikir dapat membantu memberikan diriku pemahan atas derita yang sedang ditanggung Ana. Aku membaca buku-buku itu dengan amat serius mulai dari meja makan hingga ke kamar mandi sampai terkadang aku mengabaikan orang-orang rumah apalagi pada ponselku yang sebelum-sebelumnya selalu aku pandangi dan pelototi dengan harapan sebuah telepon atau pesan singkat dari seseorang yang aku tunggu akan masuk. 

Aku begitu sibuk membaca perbedaan hipotiroid dan hipertiroid, yang kedua adalah penyakit yang diidap oleh Ana. 

“Wanita lebih rentan terserang kanker tiroid daripada pria,” entah mengapa aku merasa perlu membaca dengan suara keras bagian itu. 

Kepalaku terasa penat dipenuhi informasi mengenai sesuatu yang amat baru sekaligus amat penting dalam waktu yang begitu singkat. Ana masih berada di tahap awal. Penanganan dan prosedur yang tepat akan sangat menolongnya dan juga penderita kaker tiroid memiliki angka kesembuhan yang besar, begitu kalimat yang ditulis oleh sang penulis yang merupakan seorang onkolog kenamaan, harusnya aku merasa sedikit lega tapi tetap saja tidak bisa. 

Aku turun dari ranjang hendak menutup pintu balkon yang sengaja aku buka tadi agar tidak perlu menyalakan pendingin ruangan namun kini langit sudah begitu merah, malam sebentar lagi turun. Ponselku meraung-raung dengan garang dan aku baru menyadari bahwa sejak sejam yang lalu Sembara berusaha menghubungiku. Aku menimbang-nimbang perlukah aku mengangkatnya sekarang atau perlu aku tunggu beberapa waktu lagi agar memberinya pelajaran supaya jera karena telah mengabaikan diriku, namun aku juga teringat bahwa sebagian dari diriku juga memiliki kesalahan. 

Lihat selengkapnya