Ana sudah dapat duduk meski sering meringis sakit sewaktu aku pertama kali menjenguknya, suaranya serak dan terdengar kasar dan memang dokter belum memperbolehkannya untuk banyak bicara, baru pada kunjunganku pada hari ketiga suaranya mulai terdengar lebih baik.
“Meski suaramu mulai terdengar normal tapi kamu tidak perlu banyak-banyak bicara dulu, soalnya aku akan datang tiap hari, jadi simpan saja tenagamu itu untuk pemulihan dirimu.” Aku pura-pura marah namun memasang senyum. “Mama titip salam kepadamu dan minta maaf sebab dari kemarin belum sempat menjengukmu.”
“Tante tidak perlu minta maaf segala padaku, doanya saja sudah cukup kok. Dan bunga itu dari kamu atau Tante?” Ana menunjuk buket bunga lili yang aku bawa.
“Tentu dari aku, Mama dan Mas Mario! Tapi aku lihat sudah ada yang mendahului aku ya hari ini?” aku melirik buket bunga mawar yang diletakkan di sisi ranjang persis.
Ana menengok, lehernya masih diperban, ia meringis dengan malu-malu, “Dari Fani.”
“Pantas, bunga mawar merahnya meriah sekali. Kapan kamu mau mengenalkan aku padanya? Masa sudah selama ini aku belum pernah sama sekali bertemu dengannya.”
“Besok aku akan memintanya agar duduk lebih lama sampai kamu datang.”
Esoknya aku datang lebih pagi dan Fani sudah duduk di sisi ranjang Ana.
“Marni kenalkan ini Fani, Fani kenalkan ini sahabatku Marni yang sering aku ceritakan padamu.”
Aku menyambut jabatan tangan Fani, tangannya terasa benar lembutnya, meski Mario dan Sembara juga bukan pekerja kasar namun telapak tangan mereka tak selembut itu. Ditambah wajah Fani yang baby face membuat aku teringat akan kata anak bau kencur, sorot matanya yang turun itu terlihat kekanakan dan bibirnya yang berbentuk kuncup seolah-olah membuat ia terlihat merengut, seperti seorang anak laki-laki yang menuntut bermain sepak bola di jam tidur siang. Tapi secara kesulurhan ia terlihat seperti laki-laki yang baik meski sorot matanya sempat terlihat seperti menyelidik.
“Apa saja yang kamu ceritakan An? Jangan-jangan cerita yang macam-macam ya? Bagaimana ini baru pertama kali ketemu ternyata ia sudah tahu banyak mengenai diriku. Nota pembelaan apa saja ini yang mesti aku ajukan?”
“Ana bercerita bahwa kamu teman pertamanya di Jakarta.”
“Dan satu-satunya sahabat yang aku punya,” tambah Ana. “Mana ada yang macam-macam aku ceritakan terkecuali bila memang ada yang macam-macam di belakang yang belum kamu ceritakan padaku selama ini?”
“Tentu ada! Misalnya tadi sebelum pergi ke sini aku berdebat dengan Mas Mario perkara dia tidak mau mengantar aku ke sini.”
“Bohong, tidak mungkin Mas Mario menolak permintaanmu.”
Aku menggigit lidahku sendiri, sentuhan bibir Sembara lembut dan terasa menyengat, aku belum menceritakan hal itu kepada Ana karena belum ada waktu yang pas dan aku juga terlalu malu untuk mengisahkannya dengan lantang.
“Bukan berdebat sih sebetulnya, ia mengatakan kalau mau pergi harus agak pagian soalnya dia mau pergi sore ini tapi kalau terlalu pagi kan jam besuk belum dibuka, lantas untuk apa aku pergi ke rumah sakit? Masa mau memeriksakan diri padahal aku sehat begini.” Aku menaikan kedua alisku, “Aku kira Mas Mario sudah memiliki seorang kekasih sekarang ini.”
Fani yang merasa tidak diikutsertakan dalam perbicangan kami bergeming di sisi ranjang dan sesekali melempar pandangan pada Ana yang terkesiap.
“Dengan siapa?”
“Entahlah, baru dugaan sebetulnya. Habis sekarang hampir tiap malam Minggu dia keluar rumah terus, lalu selalu tidur malam sibuk berbalas pesan. Tidak kecil kemungkinannya ia bertemu dengan seseorang di tempat kerjanya.”
Fani berdeham, membuat aku dan Ana yang asyik menggosipkan Mario menjadi tersadar bahwa selain kami ada mahluk adam malang yang terabaikan.
“Mas Mario itu kakak kandung Marni, orangnya pendiam sekali jadi aku terkejut mendengar bahwa ia sudah memiliki gandengan.”
“Wah, bukan pendiam lagi malah kakakku itu sebelas dua belas dengan patung.” Tambahku takut membuat Fani salah sangka, sebab sebenarnya merupakan pantangan membahas pria lain dihadapan pacar, itu kan sudah seperti hukum alam. “Aku saja sempat mengira bahwa dia bakal betah menjomblo seumur hidupnya.”
“Hus! Jangan begitu Mar, masa kamu tega melihat ia kesepian seumur hidup.”
Aku merenungi ucapanku dan segera merasa bersalah, “Betul juga.”
“Orang yang pendiam bukan berarti tidak memiliki perasaan, justru biasanya suka memendam perasaan.” Ujar Fani setelah merasa diikutsertakan dalam topik pembicaraan kami. “Tapi, biasanya laki-laki seperti itu bila sudah sudah mendekati seorang wanita artinya ia benar-benar serius dengan perasaanya.”
“Waaah,” ucapkau panjang dan menggaruk-garuk kepala, “sepertinya aku harus siap-siap kalau nanti Mas Mario memperkenalkan calon kakak ipar buatku dan Mama mesti bersiap-siapa juga untuk unduh mantu.”
Aku membayangkan bila hal itu benar-benar terjadi apa kiranya yang mesti aku perbuat, pasti akan aneh sekali memiliki seorang anggota keluarga lain tapi mungkin itu juga yang akan dirasakan oleh Mario andai kata ia tahu mengenai hubunganku dengan juniornya, apalagi bibir kamu sudah pernah betemu… Cepat-cepat aku halau kilasan balik malam itu dan saat pikiranku sudah kembali ke dunia yang sama dengan tempat Ana dan Fani berada justru akulah yang ditinggalkan oleh mereka berdua.
***
Hari-hari berlarian dengan begitu cepat dan liburan semester berlalu begitu saja dengan suka cita dan keresahan yang semakin rapat terbentuk dalam hatiku.
Pengobatan Ana berjalan dengan baik dan boleh dikatakan sukses, ia sudah menjalani terapi nuklir untuk menumpas sisa-sisa sel kanker pada tubuhnya. Ia berusaha untuk tampak ceria terutama bila berada dihadapan orang banyak namun beberapa kali aku memergokinya melamun dengan rupa sedih dan bimbang saat sedang seorang diri.
“Apa yang kamu sembunyikan? Apa melebihi rahasia CIA sampai perlu kamu sembunyikan wajahmu seperti itu dariku?” Ana mendekap bantal tidur dan menekan wajahnya keras-keras. “Hei hati-hati jangan sampai lehermu tegang!” peringatku.
Ana justru semakin mencengkram batalnya kuat-kuat. Aku panik takut-takut terjadi sesuatu padanya atau jangan-jangan ia sudah mengalami sesuatu yang amat buruk yang tidak kami ketahui, misalnya saja kekerasan seksual! Kepalaku menggeleng dengan kencang, akhir-akhir ini pikiranku memang senang mengembara dengan sendirinya ke mana-mana tapi aku juga harus bisa memberikan batasan apa yang boleh dibayangakan dan dipikirkan dan apa yang tidak boleh, karena semua hal dimulai dengan kekuatan pikiran, begitu kiranya yang aku baca.
“Ana,” ucapkau dengan pelan dan penuh kelemah lembutan, tidak seperti tadi yang penuh dengan pemaksaan. “Apa pun yang terjadi dan kamu alami, kamu tahu aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku akan terus ada di sampingmu, kalau kamu sudah siap bercerita aku akan mendengarkannya, kalau kamu butuh sebuah pelukan aku akan memberikannya untukmu, kalau kamu butuh sesuatu aku akan selalu ada untukmu.”
Ana sedikit-sedikit mau memperlihatkan wajahnya, aku kira ia menangis namun ternyata mata bambinya penuh binar dan wajahnya merah seperti tomat ceri yang manis.
“Tiga hari yang lalu…,” aku mendekatkan kupingku agar dapat mendengar jelas perkataanya, ia berbicara dengan nada yang amat rendah. “Fani datang menjenguk…”
“Ya, aku tahu kan aku ada di sini ketika ia datang tapi mesti buru-buru pulang karena pembantu baru di rumah hampir saja meledakkan microwave kami.”
“Fani menyatakan cintanya padaku…” Aku tidak yakin dengan apa yang ia katakan maka aku minta ia untuk mengulang perkataanya sekali lagi. “Dan aku belum menjawabnya hingga hari ini.”
Aku melirik ke arah pintu kamar, takut tiba-tiba ada yang menguping kemudian geli juga hatiku apa yang kami bicarakan ini kan bukan sebuah dosa dan bukan pula pengakuan dosa.
“Mengapa tidak kamu katakan dengan terus terang? Mengapa kamu harus malu-malu itu kan berita baik! Apa yang kamu harapkan akhirnya terwujud bukan? Tetapi mengapa beberapa hari ini kamu malah tampak murung dan mengapa juga kamu tidak langsung menjawabnya?”
Ana masih memeluk bantalnya dan pandangannya setengah melamun memandang lukisan Bunda Maria yang tergantung di atas meja belajarnya, lukisan itu dibeli Yangti dan Yangkung saat mereka mengunjungi Betlehem dua tahun yang lalu.
“Karena rasanya aku tidak pantas Marni.”
“Apa yang kamu katakan? Mengapa kamu bepikir seperti itu?” Ana terlihat kesakitan karena aku menekan kedua bahunya dengan kuat meski itu aku lakukan tanpa niat dan kesadaran penuh. Aku begitu kaget mendengar pengakuannya, bagaimana mungkin seorang Ana yang begitu cantik, baik hati dan pintar dapat meresa kecil diri, meski memang sejak semula ia mudah merasa minder tapi itu semua berada di luar jangkauan nalarku. “Cuma laki-laki gila yang tidak mau denganmu, aku pun kalau jadi laki-laki sudah hampir pasti akan jatuh cinta denganmu.”
“Jangan mencoba untuk menghibur hatiku Mar!”
“Loh ya tidak, aku serius, sangat serius malah. Cobalah untuk tidak mengecilkan dirimu terus menerus An, sedari dulu aku amati kamu selalu begitu…”