Harumi bekerja sebagai penerjemah, tugasnya menghubungkan dan menjembatani komunikasi antara bos-bos dari Jepang dan pekerja dari pihak Indonesia. Bapaknya berasal dari Kyoto sedangkan ibunya orang Cirebon asli. Dia meninggalkan kesan positif pada diriku dan aku tahu Ibu juga merasakan hal yang sama, sekali aku lihat saat ia membalik tubuhnya tadi bibirnya benar-benar tesenyum dan matanya berkilap dengan kebahagiaan.
Dia bukan perempuan keturunan Jepang paling cantik yang pernah aku temui tapi tidak jelek juga, wajahnya biasa saja namun sikapnya luwes, tidak kaku seperti yang kami bayangkan. Bahasa Indonesiannya lancar meski ada beberapa kata yang dilafalkan dengan aksen, sejak kecil ia memang tinggal di Jakarta dan sehari-hari kecuali dengan ayah dan teman-teman ekspatriat dari Jepang sana ia selalu berkomunikasi dengan bahasa ibunya.
Acara perkenalan disusul dengan makan malam itu berjalan dengan menyenangkan. Sekembalinya Mario dari mengantar Harumi tentu saja aku dan Ibu mendadak menutup pembahasan kami mengenai Harumi secara medadak. Simfoni dari Dmitri Shostakovich, Waltz No. 2 menjadi latar musik yang dipilih Ibu malam itu dan aku rasa itu agak cocok dengan nuansa yang masih tertinggal di rumah kami sejak sore tadi. Aku pura-pura membaca majalah, padahal huruf-hurufnya selalu terbang dari pandanganku. Mario tampaknya paham betul kalau ia sudah dinanti-nanti, ia mengambil bagian kosong dari sofa panjang yang sedang aku duduki di ruang keluarga.
“Harumi itu anak tunggal dan kamu anak sulung, barangkali banyak hal yang perlu kamu sesuaikan bila kalian benar-benar berumah tangga nanti.” Bola mata Mario membesar meski wajahnya terlihat adem ayem saja. “Anak tunggal biasanya akan bisa lebih mandiri daripada anak bungsu seperti Marni, karena dia terbiasa untuk berdiri di kakinya sendiri sedari kecil tapi bukan berarti ia juga tidak manja, sebab tidak memiliki saingan sejak orok, jadi pasti ada sisi-sisi dalam dirinya yang lebih ingin menang sendiri. Tapi bukan berarti dan sudah pasti Harumi begitu, ini hanya pengalaman dan analisa Mama pribadi sebagai sesama anak tunggal.”
Mario mengangguk sekali sebagai petunjuk jika ia paham arah pembicaraan Ibu.
“Ada yang mau kamu katakan Rio?”
“Apakah Mama dan Marni menyukai Harumi?” Mario menatap aku dan Ibu bergantian, matanya mengandung binar yang membuat aku merasa bertanggung jawab memberikan jawaban sejujur-jujurnya.
“Aku sih kalau Mas mau maju ya aku dukung, sepertinya hmm… Harumi San bukan orang yang menyebalkan.” Pemilihan kataku sangat buruk tapi hanya itu yang lewat di kepalaku.
“Kalau Mama terserah Rio saja, kalau kamu merasa nyaman dan bahagia dengan Harumi ya silahkan lanjutkan. Mama juga tidak berhak melarang-larang kamu untuk jatuh cinta dengan siapa dan menikah dengan siapa, asal kamu bahagia dan merasa mampu dan mau membangun masa depan dengan orang yang kamu pilih maka Mama pasti akan memberikan restu dan omongan ini juga berlaku bagimu Mar.”
“Aduh Mama, kuliah saja baru setengah jalan masa udah ngomongin nikah-nikah segala sih sama Marni.”
“Loh, mengapa tidak? Jodoh mana tahu kapan datangnya!”
Aku mengigit lidahku keras-keras sebab takut meluncur kata-kata yang tertahan di hati. Kalau jodoh mana tahu datangnya aku berharap bahwa ia sudah datang meski yang bersangkutan itu sudah membuatku pusing tujuh keliling.
***
Mataku belum mengantuk sama sekali, padahal sudah hampir tengah malam. Untung saja siang tadi sehabis kelas aku membeli beberapa novel bekas di jembatan penyebarangan Grogol. Badanku tengkurap, dada dan daguku ditopang oleh dua buah bantal dan pikiranku sedang menyusuri Jalan Bandungan dan lika-liku kehidupan seorang wanita sebagai tokoh protagonis utama, novel karangan Nh. Dini lebih dari satu dekade yang lalu dan jantungku hampir copot saat mendengar suara pintu ditendang dari luar, aku langsung lompat dan siap siaga untuk apa pun juga. Sani masuk dan lagi-lagi membanting pintu dengan sekenaknya.
“Apa kamu sudah gila? Ini sudah hampir tengah malam!” protesku cepat.
“Peduli setan!” ucapnya geram.
Aku heran melihat tingkah Sani yang seperti kerasukan setan, lebih heran lagi melihat ia sudah pulang ke kosan sebelum hari berganti. Sani membanting tas bertekstur kulit buaya ke atas kasur dan mencopot satu persatu sepatu berhak setinggi 7 cm dan membuangnya dengan serampangan.
“Hei, jorok sekali! Sepatu taruh di luar banyak bakteri dan virusnya tahu! Belum tentu tadi kamu tidak menginjak tai kucing!”
“Sudahlah Mar aku sedang gak mood ngomong apalagi bertengkar.”
Sebetulnya aku sudah sangat siap kalau ia mengajak beradu mulut lebih panjang lagi namun melihat ia meringkuk di kasur dengan memeluk guling membuat aku langsung menutup mulut hanya saja aku tidak tahan melihat heels-nya dekat-dekat dengan ranjangku jadi aku sepak balik saja ke arah ranjangnya.
Keesokan harinya saat aku bangun Sani telah hilang dari kamar, tas dan sepatu yang semalam ia kenakan juga sudah tidak ada. Aku tidak akan pernah dapat menerka bagaimana dunia Sani berjalan dan aku pun tidak memiliki waktu untuk menerka-nekarnya, aku sudah membulatkan tekat mulai semester itu aku harus menyibukkan diri dengan kegiatan perkuliahan dan organisasi kampus sehingga aku tidak memiliki banyak waktu luang untuk memikirkan hal-hal yang membuatku pusing… misalnya saja memikirkan Sem…, waktu itu aku sudah memutuskan tidak mau mengingat namanya terkecuali pria itu yang menghubungi diriku duluan.
Sangking sibuknya seringkali aku sampai di kosan saat hari sudah begitu gelap seperti hari itu aku baru kembali saat hampir pukul sepuluh malam.
“Wah sekarang kamu betah sekali di kampus,” ujar Sani, ia sedang mencatok rambut ikalnya.
Aku tidak memepedulikan perkataanya sebab aku sudah tidak tahan dengan tubuhku yang penuh keringat, seharian berjemur di bahwa matahari demi keperluan masuk ke dalam sebuah unit kegiatan mahasiswa. UKM berorientasi pada bidang jurnalistik dan sebulan sekali menerbitkan majalah kampus. Demi dapat diterima mejadi anggotanya kami para pendaftar harus menuliskan sebuah artikel berserta foto yang akan menjadi bahan pertimbangan para kakak-kakak senior untuk menerima kami menjadi bagian dari majalah tersebut atau tidak.
Setelah berhari-hari termenung memikirkan bahan artikel yang hendak aku tulis akhirnya aku memutuskan untuk mengangkat kisah seorang anak kecil penjual tisu yang sering mangkal di lampu merah, rumahnya ada di belakang Roxy di dekat rel kereta api, meski usianya baru sepuluh tahun namun ia sudah harus menanggung hidup ibu berserta kedua adiknya. Kisah yang menyentuh sekaligus mengenaskan.
Setelah mandi badanku bukannya segar malah semakin letoi dan langsung ambruk begitu melihat hamparan kasur.
“Wah, kamu ini seperti habis bekerja keras saja.” Kata Sani, tentu saja ia tidak tahu apa kesibukanku.
“Memang sewajarnya begitu kan? Kalau menginginkan sesuatu tentu harus disertai dengan kerja keras dan doa, ora et labora.”
“Apaan itu?” tanya Sani dengan wajah melengos.
“Ya itu bekerja dan berdoa.”
“Oh…, eh, ngomong-ngomong kapan-kapan keluar yuk sama aku.”
“Keluar ke mana? Keluar malam maksudmu? Ogah, lebih baik aku tidur!”
“Kenapa sih? Kamu kan tidak perlu minum, pesan jus jeruk saja yang penting kita bisa melantai sampai pagi!” Sani memantas-mantaskan rok mininya.
“Lalu besoknya tepar terus gak masuk kelas, begitu maksudmu?”
Sani menjulurkan lidahnya dan menyemprot parfum ke sekitar tubuhnya dengan sangat bermurah hati, aku sampai hampir semaput dibuatnya.
“Apa kamu tidak takut harus banyak mengulang banyak pelajaran San?”
“Ya kalau harus mengulang ya tinggal diulang saja, mau bagaimana lagi?”
“Apa kamu tidak bakal kena omel sama orangtuamu, biaya kuliah kan tidak murah.”
“Kan mereka yang menyuruh aku kuliah jadi mereka harus menanggung segala resikonya dong.”
Sontak kepalaku hanya dapat menggeleng-geleng bukan karena takjub atas pemikirannya yang simpel tapi karena kasihan kepada orang yang mesti menanggung biaya kuliah puluhan juta itu sedangkan kalau kami disuruh mencari uang sebanyak itu sekarang belum tentu bisa.
“Ngomong-ngomong tadi sore ada laki-laki yang datang dan nyari kamu.”
Aku kaget sampai menghentikan gerakan kakiku yang sedari tadi mengayun-ayun.
“Siapa?” tanyaku dengan dagdigdug, sebenarnya waktu itu aku pun sudah mulai membuka hatiku untuk pejantan lainnya.
“Namanya Sembara, ganteng, tinggi pula! Dia gebetanmu ya? Kalau tidak, boleh buatku?”
“Jangan!” ucapku terlalu terburu-buru.
Sani tertawa, ternyata ia menjebakku. “Iya. Begini-begini ini aku ini tidak suka makan teman.”
“Dia ke sini mau apa?”
“Mencarimu lantas menitipkan sesuatu, itu aku taruh di atas meja belajarmu. Memang tidak lihat?” bingkisan itu kecil dan tidak mencolok, aku ingin langsung membukanya namun aku urungkan niatku. “Kenapa tidak dibuka? Menunggu aku pergi dulu?”