Meski aku sedang patah hati, meski hatiku luar biasa merana namun dunia dan orang-orang lainnya tetap seperti biasa saja. Memang aku ini hanya setititk debu di antara keramian dunia. Apa artinya bila Marni merana, tentu saja tidak ada. Bumi tetap berputar pada porosnya, perang tetap terjadi di Timur Tengah dan bagian-bagian lainnya di dunia yang semakin gila ini dan jujur saja sangking mangkelnya, aku merasa sudah hampir gila waktu itu, setiap menit dan detik hanya ada perasaan sumpek yang bercongkol kuat di seluruh bagian dadaku, rasanya begitu sesak dan membuat aku sulit bernapas.
Kegembiaraan Sani meluap-luap saat akhirnya ia berhasil mengajakku untuk ikut dengannya dalam acara jalan-jalan malamnya. Sejujurnya aku ragu namun berada sendirian di kamar kosan tidak akan membuat hatiku serta merta damai apalagi mudah untuk tidur lagi pula besok juga tidak ada kelas pagi.
“Sebenarnya malam ini rencanaku adalah pergi ke bar. Ada suatu band yang keren banget dan aku yakin suatu hari nanti mereka akan sangat terkenal. Vokalisnya itu tampan sekali, kalau kamu melihatnya pasti bakal kaget karena dia benar-bener mirip Takeshi Kaneshiro! Bintang film Hong Kong itu, ingatkan? Yang dulu terkenal banget itu.”
Aku menoleh secara horor, untung saja luput dari pengamatan Sani yang sedang mengancing rok mininya. Aku menelan ludahku bingung haruskah aku pergi dan kalau itu benar-benar Priya apa yang harus aku lakukan nanti.
“Kamu mengenalnya?”
“Oh ya, eh maksudnya sekarang sih belum dengan baik tapi nanti siapa tahu?
Makanya aku harus berdandan rapi malam ini.”
Yang dimaksud dengan dandan rapi menurut standar Sani tidak ada ubahnya seperti ia hendak pergi ke club pada malam-malam yang lalu. Rasanya aku ingin membatalkan rencana malam itu dan berasalasan tiba-tiba kepalaku pening (walaupun ini tidak seratus persen bohong).
“Tentu saja pening sebab seharian melamun terus memikirkan si Sembara itu kan?”
Perkataan itu benar-benar mengenai bagian hatiku yang sedang mengalami korosi.
“Sok tau!”
“Tentu saja tahu! Kamu pikir kamu sedang berhadapan dengan anak bau kencur memangnya?” hatiku mencelos, justru akulah yang merupakan anak bau kencur dalam dunia percintaan. “Dari wajahnya saja aku sudah dapat melihat bahwa ia adalah laki-laki tanpa pendirian. Suaranya yang halus, tenang dan cara bicaranya yang suka menggantung itu menunjukan bahwa ia memiliki kepercayaan diri yang rendah meski wajahnya tampan, sayang ya? Laki-laki seperti itu, dia yang tidak tahu pasti apa yang ia kehendaki dalam hidupnya tidak dapat kamu genggam tanganya, untuk dirinya saja ia tidak tahu apalagi untuk orang lain.”
“Banyak omong sekali kamu ini San, yakin tidak mau ganti jurusan? Barangkali kamu bisa jadi ahli jiwa.” Sindirku halus.
“Sudah aku katakan aku tidak tertarik dengan palajaran.” Jawabnya, rupanya sindiranku tidak mengena. “Soal si Sembara itu tidak perlu kamu pikirkan, masih banyak ikan di lautan. Jangan patah hati hanya karena satu laki-laki saja.”
“Lantas aku baru boleh patah hati setelah berapa banyak laki-laki?”
Sani tidak menggubris pertanyaanku, ia sedang memporak porandakan meja belajarnya yang penuh dengan produk-produk perawatan diri.
“Ngomong-ngomong bingkisan itu tidak mau kamu buang saja?”
Bingksian bersampul coklat sederhana itu memang masih bertengger di tempatnya yang sama seperti dua pekan yang lalu, belum terbuka dan belum ada niatan untuk membukanya sama sekali. Aku tahu kalau aku membukanya mungkin saja aku akan langsung menelepon si pemberi bingkisan itu dan tindakan itu adalah hal yang paling ingin aku hindari.
“Mungkin nanti.”
Nyatanya bingkisan itu tidak pernah aku buang, selalu ada perasaan tidak rela bahkan saat bingkisan itu sudah melayang di atas tempat sampah dan mungkin itu salah satu kesalahan terbesar dalam hidupku.
***
Seperti tebakanku, yang disebut mirip dengan Takeshi Kaneshiro itu memang benar Priya dan celakanya Sani betul-betul mengenalnya. Untung saja kami tidak pergi berdua, ada beberapa anak satu angkatan dengan kami meski beda jurusan yang ternyata semuanya adalah teman main Sani, entah mengapa aku merasa beruntung semuanya wanita, tidak ada pria di antara mereka.
Bar itu memiliki nuansa retro dan memang pendirinya kalau tidak salah adalah salah seorang selebiriti senior. Sani dan teman-tamannya sudah memasan meja berserta paket minumannya, aku sendiri lebih memilih minum ginger ale dan tentu saja pilihan minumanku itu tidak lepas dari ejekan Sani.
“Aduh, harusnya tadi aku bawakan botol susu saja jadi kosan.”
Aku memutar bola mataku dan tubuhku melorot ke dalam sofa menghindari tatapan Priya yang sesekali menatap ke arah meja kami, beruntungnya malam itu aku kembali mengenakan hoodie hitam, tudungnya aku turuankan hingga hampir menutupi sebagian wajahku.
“Kapan sih acarnya selesai?” bisikku pada Sani.
“Mengapa? Kan lagunya enak? Mungkin dua tiga lagu lagi selesai tapi habis ini acara kita berlum berakhir.”
“Maksudnya?”
“Habis dari bar ini kita dugem.”
“Ah gila kau, aku tidak mau ikut.”
“Terserah,” kata Sani tidak mau ambil pusing.
Ia sendiri sejak tadi tampak benar-benar menikmati musik yang dimainkan Priya bersama bandnya, bukan musik dengan istrumen heboh dan membuat kaki melantai. Priya menjadi vokalis utama ditemani dengan dua orang lainnya yang bermain drum dan bass.
“Kalian sebenarnya sudah saling mengenal tidak sih?” bisikku lagi pada Sani yang sedari tadi matanya terus tertambat pada pujaan hatinya.
“Ya sedikit, karena aku sering menontonnya dan dari kenalan temanku. Orangnya baik dan jago main piano, katanya turunan dari mamanya yang juga pemusik. Aku jamin band ini terutama Priya akan menjadi bintang besar kelak, bukannya ini suatu kesempatan emas untukku?”
Keningku berkerut dalam, “Kan dia yang kamu ramal akan menjadi bintang besar, apa hubungannya denganmu? Setahuku suaramu saja sumbang kalau sedang konser di kamar mandi.”
“Ah, memang susah kalau bicara dengan anak bodoh!” tukasnya kasar.
Hatiku tidak terluka justru semakin cemas bila harus berhadapan langsung dengan Priya. Sebenarnya kami berdua tidak memiliki masalah apa-apa hanya saja aku sedang malas mengingat-ingat apa yang sudah terjadi pada saat kami SMA dulu dan juga malas diberondong banyak pertanyaan dari Sani. Terlalu banyak kerisauan benar-benar membuat kepalaku sakit.
Lagu terakhir atau lagu penutup adalah lagu yang tetap berirama tenang dan mendayu-dayu dan tidak seperti lagu-lagu sebelumnya lagu ini dinyanyikan dalam full bahasa Inggris. Bagiku suara Priya memang tidak semerdu Frank Sinatra, Andy Williams atau Broery Marantika yang sering aku dengar sejak kanak-kanak oleh karena Ayah suka memutar lagu-lagu mereka, tapi kemampuannya bernyanyi sekarang ini benar-benar dapat menggambarkan suasana kebatinan lirik yang sedang dikisahkannya, lagunya sendiri menceritakan tentang cinta pertama dan perpisahannya yang memilukan. Untuk sesaat aku ingat akan kenangan masa lalu di gazebo belakang rumah Mariska. Aku lihat ada beberapa pasangan yang turun berpelukan dan menari dalam gerakan lamban mengikuti tempo lagu yang mendayu-dayu.
Priya mengumandangkan bahwa jatuh cinta untuk pertama kali itu ibarat kecupan lebah, sakit dan meninggalkan jejak sengatan, berbahaya namun dapat menjadi kenangan berkesan yang juga mematikan. Tapi ia juga berpesan agar jatuh cintalah sedalam-dalamnya agar kelak dapat kita kenang lagi dengan segenap hati saat usia kita sudah mencapai usia tujuh puluh tahun.
Hatiku yang ringkih dan egoku yang mudah terasa dilecehkan membuat aku tidak kuasa menyelesaikan pertunjukan malam itu, aku membuka dompetku meninggalkan beberapa lembar ratusan dan berdiri bersiap pergi.
“Hei, mau ke mana?” Sani berusaha menghalangiku dan meski teman-temannya yang lain juga kaget tapi tidak cukup peduli untuk mencegatku.
“Kepalaku pusing, kalau kamu memaksaku untuk tetap di sini kalau sampai aku pingsan kamu mau tanggung jawab?” tantangku dan pegangan Sani langsung mengendur.
Di dalam taksi tidak serta merta pikiranku dan hatiku menjadi lebih tenang, pulang ke kosan rasanya aku segan dan pulang ke rumah yang ada nanti malah aku diberondong berbagai pertanyaan mengapa tiba-tiba pulang malam-malam begitu ke rumah. Dalam kegalauan begitu hanya Ana yang tidak bosan mendengar keluhanku.
“Tapi kalau kamu keluyuran dengan taksi malam-malam begini justru akan mendekatkanmu dengan mara bahaya, sebaiknya kamu pulang Mar.” Ana menghela napas. “Andaikan aku di Jakarta aku akan memintamu datang ke rumah Yangti atau aku akan menemanimu.”
“Rasanya sakit sekali An,” ucapku dengan cengeng seolah-olah aku ini bayi.
Aku sendiri heran mengapa aku begitu cengang pada masa itu rasa-rasanya lebih cengang dibandingakan saat kematian Ayah. Kesedihannya terasa berbeda sekali.
“Apa mungkin saat kita berusia tujuh puluh tahun nanti kita masih dapat mengingat perasaan patah hati ini, An?”
Ana tidak segera menjawab, aku sudah tiba di depan kamar kosan saat itu. “Mungkin, karena cinta pertama juga bisa membentuk kepribadian kita dan apa yang dapat mengubah pola pikir kita pasti sesuatu yang akan sangat sulit kita lupakan bukan? Hanya saja mungkin saat itu kita sudah tidak akan menangis lagi justru barangkali kita akan menertawakan diri kita di masa muda ini.”
***
Aku masih cukup beruntung karena memiliki Ana dan beberapa teman-teman lainnya yang berusaha menghibur kelesuan jiwaku. Sasa dan Hani berusaha untuk menghibur hatiku dengan sering-sering mengajaku pergi berbelanja, Ana sering menghubungiku di sela-sela kegiatan kuliahnya sebagai maba yang super sibuk dan Sani ia tetap sibuk dengan dunianya sendiri dan sudah pasti ia harus mengulang hampir seluruh mata kuliah semester depan. Sasa dan Hani yang sudah mengambil jarak dengannya selalu memperingatkan diriku agar berhati-hati terhadapnya.
“Bukannya kita mau membicarakan keburukan orang tapi gosip itu sudah beredar luas, lintas jurusan malahan.” Ucap Hani berusaha benar untuk meyakinkanku.
“Ya, memang aku akui Sani terkadang bisa sangat liar tapi masa sampai begitu sih? Orangtuanya kan bukan orang susah, untuk apa dia sampai melakukan hal-hal seperti itu untuk mencari uang?”
“Memang bukan, bisnis oleh-oleh milik keluarga Sani itu besar sekali loh di Bandung bahkan ada beberapa cabang, mamaku suka sekali membeli oleh-oleh di sana kalau sedang pergi ke kota itu dan tidak pernah sepi juga mengingat Bandung kan selalu ramai wisatawan. Tapi kamu ingatkan Sani pernah bercerita bahwa kedua orangtuanya itu cukup streng kepadanya dan kamu lihat sendiri kan bagaimana gaya hidupnya selama ini? Mungkin saja ia butuh uang jajan lebih, pergi ke club dan open table tiap malam kan butuh uang banyak meski patungan sekalipun.” Apa yang diucapkan Sasa memang sebuah fakta.