Ibu mengambil cuti dan pergi berlibur dengan teman-temannya untuk pertama kalinya sejak kematian Ayah, ia tampak khawatir ketika hendak meninggalkan aku yang kembali ke rumah di pagi buta dengan naik taksi. Mulanya ia marah karena khawatir sesuatu terjadi padaku bahkan ia sampai memarahi Mario tapi melihat wajahku yang sangat muram ia menjadi lebih lunak dan berhenti bertanya pada hari ketiga. Aku bolos kuliah selama beberapa hari dengan alasan sakit namun untungnya tiga pekan kemudian aku sudah mulai bisa kembali bersikap biasa saja.
Mario bertanya padaku, apakah yang terjadi berhubungan dengan Sembara saat kami hanya berduaan saja sehabis mengantar Ibu ke bandara.
“Tidak, demi Tuhan tidak ada hubungan dengannya. Jangan sangkut pautkan orang yang tidak bersalah.”
“Lalu karena apa?”
Aku diam saja tidak merasa nyaman menjawab pertanyaan Mario terutama karena kami sedang disopiri oleh sopir Ibu.
“Apa aku harus menceritakan semua masalahku pada Mas?”
“Aku tidak keberatan.”
“Tapi Mas juga tidak menceritakan semua masalah Mas pada aku dan Ibu, apa itu adil?”
Aku sudah menyimpan unek-unek itu selama hampir satu dekade dan rasanya ada kelegaan setelah terucap di bibir. Karena dikekang sabuk pengaman jadi hanya kepalaku saja yang menengok pada Mario yang ternyata malah menengadah menatap awan kumal menjelang hujan.
“Karena memang tidak ada masalah yang perlu disampaikan.” Ucapnya muram.
“Yakin?”
“Jangan menggeser pembicaraan,” Mario menoleh dan membalas tatapanku.
“Jangan mengorek-ngorek masalah orang lain.” Balasku tidak mau kalah.
Bibir Mario mengkerucut, ia tampak tidak senang dengan responku namun tidak mau memperpanjang masalah, tahu bagaimana rasanya perasaan tidak nyaman membicarakan sesuatu yang begitu ingin dilupakan.
Mengenai peristiwa dengan Sani aku hanya membukanya dengan Ana seorang, memang bibirku gatal juga sebetulnya ingin menceritakan kekesalanku kepada Hani dan Sasa namun aku tidak ingin memperkeruh suasana di kampus yang sudah sangat ramai membicarakan Sani dan beberapa orang temannya yang aku ingat pergi bersama kami ke bar di mana Priya tampil waktu itu. Aku bersyukur hanya sekali bergaul dengan mereka dan juga sangat bersyukur namaku tidak ikut terseret dalam pemberitaan buruk itu.
“Orang-orang malah mengasihaniku, mereka mengatakan bahwa selama ini aku sudah dimanfaatkan oleh Sani. Tapi sesungguhnya aku juga tidak merasa seperti itu, biar bagaimanapun kami membayar iuran bulanan dengan secara adil dan meski…, yah memang dia brengsek tapi sebenarnya ia tidak pernah menganggu aku sebelum-sebelumnya.”
“Jadi, kamu akan memaafkannya?” tanya Ana dengan mata mengerjap.
Aku mencomot sebuah kue klepon dan mengunyahnya dengan perlahan, aku ingat ada cerita orang yang meninggal setelah tersedak klepon yang bisa dikatakan lengket dan alot.
“Dia saja tidak meminta maaf padaku, jadi bagaimana bisa aku mengatakan bahwa aku memaafkannya? Yang jelas aku bersyukur tidak perlu melihatnya lagi.”
“Benar dia sudah pasti berhenti kuliah?”
“Menurut perkataan orang tata usaha sih begitu, lagi pula kalaupun ia tidak berhenti, ia harus mengulang semua mata kuliah semester kemarin dan kini. Saat aku kembali ke kosan untuk mengambil barang-barangku yang tertinggal, barang-barangnya juga sudah kosong, ia medahului aku dan syukurlah aku tidak perlu lagi bertatapan muka denganya.” Ucapku dengan geram.
Akhir pekan setelah kejadian di dini hari itu aku berbicara dengan pemilik kosan dan memutuskan untuk berhenti ngekos karena Ibu sudah setuju lebih baik aku pulang pergi dengan sopir dan kalau terlalu malam aku bisa menumpang dengan Mario yang sering lembur dan itu hanya bersifat sementara karena aku juga wajib mengabil les mengemudi. Pemilik kosan memberitahuku bahwa Sani juga menemuinya dua hari yang lalu. Rupanya Sani lebih ingin cepat-cepat pergi ketimbang diriku.
“Lalu, bingkisan dari Sembara sudah kamu buka? Atau jangan-jangan kamu buang?”
Tanganku mengembalikan klepon ke atas piring yang sebelumnya sudah melayang di udara siap masuk ke dalam mulutku. “Belum, aku tidak berencana membuangnya tapi juga tidak ada keinginan untuk membukanya. Biarkan saja begitu adanya.”
“Jadi masih kamu simpan?”
“Ya.”
“Itu juga berarti kamu masih menyimpan perasaanmu kepadanya”
Gesekan bunyi cangkir dan cawan yang sebenarnya diletakan dengan pelan tetap saja membuat aku kaget.
“Kok kamu sekarang jadi suka minum kopi hitam begitu An?”
“Iya, habis sering nugas sampai malam, mata enggak kuat kalau enggak minum kopi. Sedangkan lambung sendiri sensitif dengan kopi berasa-rasa dan juga kata dokter justru yang paling baik diminum itu kopi hitam tapi eh, jangan mengalihkan pembicaraan begitu dong.” Ana menjawil bahuku.
“Aku ketahuan ya?” aku bangkit dan berjalan menuju batu-batu hias yang menjadi pembantas antara lantai beranda dan rumput di halaman, kakiku telanjang dan tidak terbiasa dengan batu-batu itu, tidak peduli sudah berapa lama mereka menghiasi rumahku, keningku mengerut karena merasa sakit. “Bagaimana aku bisa menghapus perasaan yang sedang tumbuh begitu suburnya dengan begitu tiba-tiba? Kenyataan pahit itu saja sudah membuatku sedih dan berusaha membunuh perasaanku sendiri mungkin malah membuat aku tidak akan pernah bisa percaya dengan cinta lagi.”
“Marni! Kamu tidak boleh berpikir seperti itu, kamu pasti akan menemukan seseorang lagi.”
“Kalau kamu, kalau tiba-tiba Fani mengatakan dia ingin pergi dari hidupmu, memang apa yang akan kamu lakukan? Masihkah kamu percaya dengan adanya cinta?”