Aku bertahan dengan diriku, aku mencoba dengan sebaik mungkin melupakan semua hal yang telah berlalu dan menganggap itu bukan sesuatu yang harus repot-repot dipikirkan atau mungkin kata yang lebih tepat untuk digunakan adalah, aku mencoba untuk menipu diriku sendiri. Berkata pada pantulan wajahku di cermin bahwa tidak ada yang terjadi dan bahwa semua baik-baik saja. Tapi nyatanya tidak begitu.
Aku mencoba membuka diri dan hatiku kepada pria lain, menerima ajakan mereka pergi nonton sehabis kelas, pergi bersama pada malam Minggu, menerima telepon mereka sebelum jam tidur dan berusaha tersenyum dan membalas saat mereka menyatakan cinta. Apakah aku menyukai mereka? Ya. Apakah aku merasakan sesuatu kepada mereka seperti yang pernah aku rasakan dulu sekali itu? Tidak. Jadi pada dasarnya aku tidak mencintai mereka tapi aku mencoba menerima keberadaan mereka. Aku pernah mencoba untuk menjadi kekasih hati bagi tiga orang pria (tentu dalam waktu berbeda) selama sisa waktu kuliah.
Dua orang merupakan teman seangkatanku, sedangkan yang seorang lagi lebih senior dan anak hukum, sejujurnya ia yang paling merepotkan. Aku tidak akan menuliskan namanya karena memang hubungan kami hanya sepintas lalu, hanya tiga bulan saja sebetulnya ia menjadi pacarku dan begitu sebaliknya tapi akulah yang meminta agar hubungan kami berakhir. Alasanya tidak sederhana, ia sangat protektif dan posesif. Bila pacar Sasa akan marah bila Sasa melewatkan satu saja panggilan telepon, maka pacarku ini akan menghubungi hampir semua kontak telepon temanku yang ia salin dari buku telepon di ponselku. Sinting. Padahal Ibu dan Mario saja tidak sampai sebegitunya terhadapku. Belum lagi ia berusaha mengatur dengan siapa saja aku boleh bergaul terutama dengan teman-teman pria, alasannya sederhana (katanya).
“Kamu tidak pernah tahu apa isi pikiran pria bahkan saat mereka hanya berbicara dan bertatapan mata dengan lawan jenis.”
“Lalu mengapa aku yang perlu menderita? Harusnya otak para pria itu saja yang dioperasi, diperbaiki agar tidak memikirkan hal yang tidak-tidak. Mengapa aku, yang perlu dipingit?” seruku dengan emosi. “Kalau wanita saja bisa tidak berfikir ngeres bahkan jika lawan bicaranya seganteng Primus mengapa laki-laki mudah saja menyalahkan wanita atas hasratnya yang tidak tertahan. Sudahlah, aku tidak bisa dengan laki-laki yang berpikiran sempit seperti itu. Kamu ini kan calon SH, semestinya kamu bisa berpikiran lebih luas dan kalau perlu memikirkan hak-hak untuk kaum wanita agar tidak kena diskriminasi dan pelecehan seksual. Jangan hanya melulu menyuruh perempuan untuk ini itu.”
Begitulah akhir dari hubungan kami dan meski setelah itu ia masih memohon-mohon untuk kembali padaku, keputusanku sudah bulat benar dan tidak dapat diganggu gugat. Mungkin saja andai kata aku sedikit lebih mencintainya mungkin sebagian diriku akan berkata bahwa itu hanya sedikit pengorbanan yang harus aku lakukan untuk bersamanya, tapi untungnya reaksi kimia pada tubuhku dan hatiku biasa-biasa saja padanya.
Ada suatu rahasia yang bahkan tidak aku beritahukan kepada Ana hingga detik ini. Terkadang, sesekali aku masih memimpikan Sembara dan aku akan terbangun dengan suatu perasaan kosong di dalam hati dan kepalaku. Dan biasanya sisa hari akan aku lalui dengan setengah melamun, juga kadang disertai doa pada Tuhan agar tiba-tiba aku dapat bertemu dengannya, mungkin di suatu jalan penghubung antar gedung di kampus (meski aku tahu dia sudah diwisuda), mungkin bisa juga saat aku pergi ke pusat perbelanjaan karena suatu keperluan dia juga ada di sana pada suatu siang di hari kerja, di konser yang aku datangi, di gedung bioskop atau bahkan di jalan depan rumahku. Aku hampir gila memohon pada Tuhan namun skenario yang terlanjur aku buat dengan begitu dramatis di dalam benakku itu tak kunjung kesampaian. Memang Tuhan hanya akan memberikan apa yang kita perlukan saja.
***
Sama denganku, hubungan Mario dan Harumi San kandas di tengah jalan. Mulanya Mario tidak berniat memberitahuku ataupun Ibu, hanya saja Ibu yang begitu perhatian dengan anak-anaknya cepat merasa ada perebuhan jika bukan kemunduran dalam hidup Mario. Ia kembali tenang-tenang saja di rumah, sibuk menenggelamkan diri ke pekerjaan dan mengotak-atik laptopnya, menonton berita mengenai saham, menganalisanya dan sesekali setiap berapa hari sekali (kadang, meski jarang juga dalam hitungan jam saat pasar berfluktuasi hebat) menelepon broker sahamnya.
Aku tahu Mario putus karena Ibu memberitahuku saat kakakku itu sibuk berada di kamarnya pada sore hari di hari Minggu yang berangin
“Mama takut kalau Mario tidak akan menikah seumur hidupnya,” ujar Ibu dengan bisik-bisik padahal alunan piano sonata dari Prokiev yang disetelnya tidak akan membuat suaranya terdengar nyaring sampai lantai dua.
“Mama meragukan Mas Mario?”
“Bukannya ragu, tapi masalahnya Masmu itu kan orangnya sulit, sulit dalam segala hal. Mama takut kalau-kalau tidak ada wanita yang mampu memahaminya.”
“Ah, Mama terlalu khawatir buktinya saja Mas bisa tiba-tiba bertemu dengan Harumi San dan juga membuka hatinya, kelak kalau ketemu yang cocok lagi juga pasti mudah atau susah Mas akan membuka lagi hati dan dirinya.”
Mudah saja aku berbicara demi kepentingan orang lain meski untuk diriku sendiri aku sangat meragukannya. Mungkinkan cinta akan menyentuh hati kita untuk kedua kalinya? Apalagi ketiga, keempat dan kelima meski aku tahu bahwa ada orang yang menikah berkali-kali semasa hidupnya atau melakukan poligami. Aku tidak dapat membayangkan hal seperti itu terjadi pada diriku tapi juga tidak dapat membayangkan aku mesti hidup seorang diri seumur hidup. Tiba-tiba aku terkenang kembali akan pembicaraan antara aku dan Ana.
“Mama sendiri apa sudah tidak ada niatan menjalin hubungan dengan seorang pria?”
“Kamu tidak keberatan punya ayah tiri?”
Pertanyaan itu aku kira akan terdengar biasa saja, nyatanya aku sangat tidak nyaman, dua kali lebih tidak nyaman dibandingkan ketika aku mendiskusikannya dengan Ana.
“Kalau dia baik pada Mama mengapa Marni mesti keberatan?” jawabku dengan mengibaskan tangan seolah ada nyamuk di hadapanku dan meremehkan pertanyaan itu. “Marni kan sudah dewasa Ma, meski Marni mungkin saja tidak dapat menerima kehadirannya seratus persen dan tentu saja tidak mungkin juga menganggap orang itu akan menjadi pengganti Papa namun kalau Mama senang dengannya Marni akan memperlakukannya dengan hormat selayaknya orangtua sendiri meski sekali lagi tentu perlakuan dan posisinya tidak akan pernah sama dengan Papa.” Aku memberikan beberapa penekanan pada pengucapan kata tertentu.
Ibu tertawa dan menepuk-nepuk pahaku dengan ringan, “Sayang, pada hari kematian Papa separuh hati Mama juga ikut serta dikubur bersamanya. Bagaimana coba hati yang sudah separuh itu, dan itu pun sudah dibagi untukmu dan Rio masa masih harus dibagi lagi dengan orang baru? Orang asing? Meski bisa, apakah itu akan menjadi layak?”
Bisakah sebuah hati dibagi-bagi untuk cinta dan orang yang begitu banyak? Waktu itu aku belum menikah dan aku terlalu muda dengan ego yang masih terlalu tinggi, bagiku saat itu hatiku hanya untuk seseorang saja. Seseorang yang katanya menyukaiku tapi tidak menghendakiku.
“Tapi apa Mama tidak takut kesepian saat nanti Marni dan Rio sudah menikah? Maksud Marni, Marni tentu tidak akan meninggalkan Mama kalau Mama mau tapi pasti akan ada waktu-waktu tertentu di mana Marni dan Mas Mario sulit untuk menemani Mama, meski tentu saja hal itu bisa sangat diusahakan.”
Ibu tertawa mendengar lidahku yang terselip-selip, “Hei, jangan khawatirkan Mama. Mama ini wanita yang amat kuat. Mama tidak pernah takut sendirian. Sewaktu lahir kita sendiri, ya tentu saja karena Mama bukan anak kembar lantas nanti saat mati juga mesti menghadapinya seorang diri, jadi apa lagi yang mesti ditakutkan saat menghadapi waktu yang sepi? Tidak ada. Mulai sekarang jangan cemaskan Mama, ok?”
Aku mengangguk takzim, namun muncul rasa isengku. “Tapi sih Ma, kalau Mama misalnya bertemu dengan seseroang yang miriiiiiip sekali dengan Richard Gere Marni sih gak perlu piki-pikir lagi kalau Mama mau menikah dengannya.”
Ibu mendorong pundakku, “Aduh itu sih sama saja dengan pungguk merindukan rembulan. Eh, tapi Papa waktu mudah enggak kalah loh sama Rirchard!”
Kepalaku sontak mengangguk dengan penuh semangat. Bila membahas mengenai Ayah baik aku dan Ibu sama-sama bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengenangnya, bila sudah begitu biasanya Mario akan jenuh dan tidak bergabung dengan kami. Waktu itu aku tidak tahu kalau Mario turut mendengar pembicaraan kami sebab musik Prokiev diputar kelewat kencang.
***
Berbeda dengan saat SMA, Ana menjadi sangat populer sewaktu kuliah, temannya banyak dan hampir setiap pekan waktunya tersita untuk Fani dan teman-temannya yang baru dan aku merasa tersisihkan. Tapi aku menahan perasaan cemburu itu semampuku.
“Aku lupa sekali, aku benar-benar minta maaf padamu. Tapi aku rasa aku tidak bisa menemanimu ke toko buku. Aku lupa aku sudah menerima undangan pesta ulang tahun temanku dan sudah berjanji untuk datang sore nanti.”
Wajahku yang cerah ceria seketika berubah menjadi gelap persis dengan langit di luar kamar yang sedang aku amati melalui pintu kaca menuju balkon kamar.
“Oh begitu,” aku menjaga suaraku agar terdengar santai. “Tapi bagaimana dengan janji yang kamu buat semalam denganku? Kan kamu juga menyetujui ajakanku untuk pergi ke mal.” Tanpa aku sadari tanganku mengepal dengan begitu kuatnya hingga kuku-kukuku menancap dalam.
“Ya, aku tahu, tapi aku lupa. Bagaimana ini? Aku kan tidak bisa berada di dua tempat sekaligus.”
“Ya memang tidak bisa. Bagaimana bisa manusia ada di dua tempat sekaligus kalau bukan dalam dunia fantasi film-film Hollywood.” Sindirku.
“Kalau begitu besok saja bagaimana Mar? Aku janji besok aku akan menemanimu membeli buku yang kamu inginkan itu. Ya? Tidak apa-apa kan?”
“Besok sore kan kamu sudah ke Bogor.” Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan susah payah, dadaku terasa sesak dan panas. “Ya sudah lah, soalnya kan aku ini sepele jadi tidak usahlah pedulikan aku! Apalagi kalau aku mengajakmu pergi, tidak usahlah kamu menerimanya kalau memang tidak ingin.”