Menjelang tahun terakhir masa kuliah, Ana mengajakku untuk ikut serta pulang ke kampung halamannya. Itu kunjungan pertamaku ke sana dan sejujurnya aku sangat terkesan dengan tempat kelahiran Ana.
Suasana di sana sangat tenang dan syahdu, puncak Gunung Lawu seperti dapat aku raih dengan kedua telapak tanganku. Rumah-rumah begitu lebar dan jaraknya berjauhan, sangat cukup untuk memberi ruang privasi dan menjaga rahasia apabila anggota keluarga adu argumen hingga urat-urat leher bertonjolan.
Rumah Ana tidak begitu jauh jaraknya dari destinasi wisata Danau Sarangan, jadi Ana dan kedua orangtuanya jika sedang tidak terlalu sibuk suka mengajakku untuk pergi ke sana sore-sore, hanya untuk sekedar makan sate kelinci atau bakso dan sambil duduk-duduk di tepi danau yang saat itu airnya tidak begitu tinggi sebab sedang musim kemarau, namun menurut Ana bila sedang musim hujan maka air di dalam danau itu bisa sampai luber dan membanjiri wilayah sekitar dan terpaksa para pedagang mesti mengungsi ke wilayah yang lebih tinggi. Banyak penjual strawberi dan Ana ternyata sangat ahli membuat selai dari buah tersebut.
“Bunda yang mengajariku, ia membuatnya berdasarkan resep yang dibacanya di majalah. Bunda juga sangat mahir membuat roti, Yangti yang mengajarinya, nah sewaktu aku kecil roti bukan makanan yang biasa di wilayah ini terutama untuk penduduk lokal tapi gara-gara Bunda setiap pagi aku selalu sarapan roti dengan selai strawberi yang amat lezat. Semuanya buatan sendiri.”
“Wah, hidupmu seperti di surga ya, An?” kepalaku melongok ke luar dari jendela kamar tidur Ana, dan mataku langsung disuguhi oleh pemandangan yang serba hijau dan menyegarkan. Kebun bunga yang diurus dan ditata dengan apik oleh ibunya Ana. “Tapi rumah tua Belanda begini, apa tidak ada penunggunya?”
“Bilang saja hantu, jangan sungkan-sungkan!”
Aku bergidik ngeri dan memutar leherku masuk kembali ke dalam pemandangan kamar Ana yang jauh lebih simpel dari pada kamarnya di Jakarta, yang menunjukkan itu adalah kamar anak perempuan adalah adanya satu lemari kaca yang diisi dengan mainan-mainan Ana dari zaman ia kecil dulu dan utamanya berbentuk boneka.
“Boleh tidak percaya, tapi kalau aku sih sangat percaya. Waktu kecil dulu, aku pernah melihat sebuah pesta. Tapi bukan pesta biasa soalnya pesta itu diadakan di malam hari. Begini ceritanya, aku terbangun saat mau pergi ke toilet di belakang, waktu itu aku masih tidur bersama Bunda dan Bapak. Aku membangunkan Bunda tapi ia tidak bangun-bagun sampai kupingku menangkap dengung suara orang yang riuh bercengkrama tapi asalnya bukan dari dalam rumah melainkan dari bagian belakang rumah.
“Entah mengapa tiba-tiba nyaliku muncul begitu saja, aku berjalan sendirian
melewati kamar pembantu dan mengintip melalui celah jendela di dapur bagian belakang. Astaga, kamu tahu apa yang aku lihat?”
Kepalaku menggeleng dengan antusias meski tubuhku tetap bersandar pada bantalan jendela.
“Barangkali kamu akan menyebutku tukang ngibul atau berhalusinasi tapi sumpah demi apa pun aku benar-benar melihat orang-orang Belanda sedang berkumpul. Noni-noninya memakai gaun berenda yang amat cantik, ada beberapa anak kecil yang berlarian juga, para meneer ada yang merokok dan ada yang berbincang dengan sesama mereka. Ada tukang main musik di dekat pohon mangga yang kini sudah ditebang. Ada pelayan yang mengedarkan makanan yang tidak aku ketahui namanya apa dan limun dingin. Pokoknya pesta itu terlihat asyik sekali, aku melongok terpesona sampai aku lupa bahwa halaman belakangku mestinya masih gelap gulita dan tidak dihuni juga oleh orang-orang Belanda yang sudah puluhan tahun angkat kaki dari negeri ini.
“Aku begitu terpesona sampai tidak menyadari bahwa pembantu kami yang aku panggil Mbok sudah berdiri di belakangku dan menepuk pundakku. Tentu saja aku kaget dan saat aku mengintip lagi ke halaman belakang pesta itu sudah bubar digantikan dengan pemandangan gelap gulita.”
Aku memeluk tubuhku sendiri, bulu kudukku meremang dan aku merasakan hembusan udara dingin di tengkukku dan aku buru-buru berjalan menjauhi daun jendela.
Rumah Ana memiliki dua jenis dapur, satu dapur bersih dan satu dapur kotor. Yang unik bagiku adalah dapur kotornya, sebab tidak seperti di rumah, dapur kotor lebih seperti dapur yang digunakan oleh pembantu untuk memasak keperluannya sendiri sedangkan di rumah Ana dapur kotor itu bukan hanya untuk pembantu dan hal pertama yang membuatku begitu penasaran hingga bertanya ini-itu kepada si Mbok adalah tempat masak yang tidak menggunakan kompor gas, melainkan menggunakan tempat memasak yang disebut dengan pawon atau tungku pembakaran dengan kayu bakar sebagai mesin pembakarannya tapi ajaibnya aku malah merasa rasa masakan yang dimasak di sana jauh lebih lezat dibandingkan dengan yang menggunakan kompar gas.
Selama berada di sana aku selalu bangun pagi, bahkan jauh sebelum matahari merekah. Udara begitu dingin hingga membuat tubuh mengigil dan perlu memakai jaket tebal. Pendingin ruangan tidak dibutuhkan sama sekali. Paru-paruku serasa dibersihkan dari polusi yang selama ini memenuhinya, kami rajin jalan-jalan pagi atau sekedar menggerakkan tangan dan kaki. Bila aku berbicara maka akan keluar kabut putih dari mulutku, setidaknya begitu sampai jam enam pagi. Siang hari pun udara masih dingin meski matahari terang bersinar di atas kami, tubuhku sangat jarang berkeringat selama di sana.
“Wah, kalau Jakarta sedingin ini tentu bisa mengirit biaya listrik di rumah.” Ucapku satu kali.
“Tapi jangan salah Mar, kalau sudah kumat mati lampunya bisa sampai sehari semalam. Untung Bapak sudah membeli mesin diesel kalau tidak rasanya seperti kembali ke tahun empat puluhan deh.”
Aku meringis ngeri, membayangkan tiba-tiba ditemani oleh noni Belanda saat lampu tiba-tiba mati.
Ayah Ana sangat bersemangat ketika mengajak aku berkeliling menyusuri kebun teh dan lahan persawahan yang utamanya ditanami padi dan pohon jeruk. Dunia tempat Ana tumbuh berbeda sekali dengan dunia yang ada dihadapanku selama ini.
“Kehidupan di sini tenang sekali, sangat tenang dan kelewat tenang sampai-sampai kalau aku terbangun di tengah malam aku jadi takut sendiri.”
“Takut dijamu oleh pesta dadakan?” tanya Ana dengan sebelah alis terangkat.
“Untung saja aku tidak peka dengan hal-hal seperti itu. Ya, aku takut memang dengan demit tapi bukan itu, entah mungkin karena suasana atau karena udaranya aku merasa sangat riskan dengan rasa sepi meskipun kamu tidur persis disampingku. Apa kamu pernah merasa begitu selama tinggal di sini?”
“Pernah, tentu saja. Memang benar, udara dan suasana yang syahdu di sini membuat kita mudah termenung dan salah-salah merasakan perasaan sedih yang tidak karuan. Menurut Bundaku, ia menyebutnya sebagai romantisasi kehidupan pedesaan.”
“Ibumu tumbuh di Jakarta tapi bisa merubah hidupnya dan bertahan di sini begitu lama, dia hebat sekali.”
“Jangan salah, ia pernah bilang padaku bahwa pada awalnya ia sudah hampir gila pindah dari kegaduhan kota besar seperti Jakarta ke tempat yang begitu sunyi senyap apalagi kalau sudah lewat waktu sore hari sepi bak kuburan. Butuh waktu bertahun-tahun dan pergi ke Ngawi atau kota Solo setiap akhir pekan untuk membuatnya waras dan bertahan. Tapi sekarang ini dia benar-benar menikmati kehidupan di sini, dia memang sangat mencintai alam dan juga mencintai Bapakku tentunya.” Ana mengerling. “Waktu kanak-kanak aku tidak pernah kesepian tinggal di sini, aku memiliki banyak teman, baik teman sekolah ataupun anak-anak sekitar rumah ini dan anak pekerja di pertanian atau perkebunan, tapi seiring bertambahnya usia entah mengapa tercipta jarak antara aku dan mereka, aku merasa mereka mulai menghindari diriku terutama setelah aku pergi untuk hidup di Jakarta. Bila mengingat hal itu aku jadi sedih sendiri.”
“Tapi sekarang kamu punya banyak teman di Jakarta dan Bogor, bukankah itu tukarannya? Dan Soal Bundamu aku pikir, karena cinta semua hal bisa berubah dan diperjuangkan.”
“Kalau kamu sendiri bagaimana? Andai bertemu dengan seseorang dan dia tinggal di tempat terpecil apakah kamu rela ikut serta dengannya?”
“Sejujurnya aku tidak pernah berpikir sampai ke situ, tapi aku rasa kalau aku benar-benar menyukainya, aku akan ikut saja dengannya meski ke ujung dunia. Kalau kamu, kalau Fani tiba-tiba mengajakmu pindah ke Kutub Selatan apa kamu mau?”
“Tapi tidak sembarangan orang yang dapat tinggal di Kutub Selatan.” Protes Ana. “Hanya orang-orang terntentu dan utamanya peneliti yang dapat mengunjungi tempat itu dan itu pun hanya pada bulan-bulan tertentu saja.”
“Ya, tidak dalam makna sebenarnya hanya karena aku tahu kamu dapat tinggal di desa yang begini sepi ini makanya aku sebutkan tempat yang lebih sunyi lagi, atau kalau kamu keberatan akan aku ganti pertanyaanya, kalau misalnya Fani mendapatkan pekerjaan di Las Vegas, tempat yang begitu berbeda dengan tempat kamu tumbuh, apa kamu mau ikut serta dengannya?”
Tangan Ana berhenti bekerja mengupas biji-biji kuaci, matanya luas memadang jalanan tangga berbatu yang bertundak-tundak dan dikiri-kanannya diibatasi oleh semak-semak yang ditata rapi. Rumah Ana tidak memiliki pagar hanya pelataran yang disemen, terpakir sebuah mobil Kijang dan mobil bak terbuka untuk mengangkut peralatan dan keperluan berkebun.