Selama hampir dua tahun aku lupa akan hobiku membaca novel, aku begitu sibuk dengan dunia perkuliahan dan skripsi. Sewaktu mengerjakan skripsi aku benar-benar merasa merana dan juga tertekan, bobotku turun sebanyak lima kilo dan napsu makanku hampir menghilang akibat terlalu stres memikirkan bab-bab yang belum selesai aku ketik sedangkan aku juga harus mengejar-ngejar dosen pembimbing.
Ibu prihatin tapi juga terus mendukungku, ia jarang menanyaiku mengenai perkembangan tugas pamungkasku sebagai seorang mahasiswi, justru ia sering mengajakku pergi relaksasi seperi pergi ke tempat spa atau ke salon bersama. Sedangkan Mario, ia tentu saja tidak banyak berkata-kata tapi ia sering tiba-tiba membawakan aku makanan dari restoran yang enak-enak, begitu juga Yangti dan Ana yang sering mengirimiku kue-kue lezat buatan mereka, sayangnya sulit bagiku makan dengan nikmat kala itu.
Pada suatu hari Ibu mengajakku pergi ke salon untuk creambath tapi karena suatu kepentingan mendadak terpaksa aku masuk sendiri ke dalam salon langganan kami yang letaknya di dalam sebuah mal.
Aku terkejut dan ia lebih terkejut lagi. Kepala Harumi San sudah diselubungi oleh alat steamer dan ia sedang melamuni wajahnya sendiri di cermin saat pekerja salon membawa aku untuk duduk di sampingnya persis.
“Halo,” sapaku.
“Halo,” jawabnya dengan agak kikuk.
Kami sempat terdiam, mungkin sama-sama bingung dengan apa yang harus kami katakan lagi antara satu sama lainnya tapi diam begitu saja juga rasanya tidak benar.
“Apa kabar Harumi San?”
“Baik, kamu?” bahasa Indonesia-nya selalu bagus tapi pengucapannya kadang ada yang kaku, mungkin karena di kantor ia lebih sering berbicara dengan bahasa Jepang dengan bosnya yang memang berasal dari Jepang langsung (begitu kata Mario) dan mungkin terkadang darah Jepang dalam nadinya bergelora dan menguasai alam bawah sadarnya atau entahlah kenapa.
“Baik. Sekarang sedang skripsi.”
“Oh, sudah? Cepat ya?”
“Tidak juga memang sudah waktunya.” Aku buru-buru menyesali jawaban tanpa pikir panjang tersebut, air muka Harumi San berubah menjadi kurang sedap. “Maksudnya mau apa lagi kan sudah semester enam. Harumi San sendiri bagaimana? Tambah cantik saja.”
“Ah tidak, tidak benar itu.” Jawabnya sambil mengibas-ngibaskan tangan. Tampaknya Harumi San sudah berada di salon itu sedari tadi sebab mesin uap itu sudah siap untuk dipindahkan begitu juga dengan dirinya yang digiring menuju bak pencuci rambut. Aku mendesah lega.
Harumi San kembali setelah beberapa menit. Meski kepalaku sedang dipijat-pijat dan semestinya aku bisa rileks namun nyatanya otakku begitu stres memikirkan Mario. Harumi San tidak berbicara apa-apa sampai rambutnya selesai di-blow, rambutnya pendek jadi cepat saja prosesnya. Aku pura-pura memejamkan mata menikmati efek pijatan meski sebenarnya benakku sedang kalang-kabut. Harumi San berdeham dan menyentuh lenganku, membuat aku sedikit melonjak karena grogi.
“Apa kabar dengan kakakmu?” tanyanya seolah-olah ia lupa siapa nama Mario sebenarnya.
“Baik dan sehat. Apa kalian tidak pernah berpapasan di kantor?”
Harumi San menggeleng pelan, “Saya lebih bayak berada di pabrik. Dia di kantor pusat di Jakarta Pusat. Apa…,” ia terlihat ragu sejenak. “Apa kakakmu sudah menemukan pacar baru?” seolah-olah pacar tidak ubahnya dengan benda.
“Setahu saya belum, dia sibuk dengan pekerjaanya dan juga degan dunia persahaman yang belum begitu lama ditekuninya. Tapi aku dengar Mas Mario mau ambil S2 juga.”
“Oh, sibuk sekali ya rupanya.” Ia tidak bertanya tapi seperti membuat pernyataan.
Lidahku yang gatal dan memang sudah tergelitik sejak lama tidak mampu lagi menahannya, “Memang mengapa Harumi San dan Mas Mario putus? Kalau saya bertanya pada Mas pasti dia tidak akan mau menjawab sejujur-jujurnya, barangkali Harumi San mau memberi sedikit pencerahan kepada saya, tapi maaf bila saya sudah melanggar privasi dan mengkorek luka di hati Harumi San.”
“Jadi dia tidak memberi tahu kamu dan Mamanya?” tanyanya dengan ekspresi terkejut.
Aku menyorongkan tubuhku ke arahnya dan menatap langsung wajahnya bukan hanya dari pantulan cermin saja seperti tadi, pekerja salon terpaksa juga ikut menggeser tubuhnya.
“Dengan karakter Mas Mario yang sama-sama kita ketahui tentu saja tidak.”
“Aku pun tak tahu alasannya, dia hanya bilang kalau hubungan kami tidak mungkin berlanjut, saya tanya mengapa? Dia bilang, ‘saya ingin sekali membuatmu bahagia, tapi saya begini dan suatu saat saya yakin bahwa saya akan melakukan kesalahan dan kamu tidak mungkin mencegahnya.’ itu alasan putus yang paling aneh buat saya, tapi saya tahu keputusannya sudah bulat dan sebagai wanita tidak baik untuk memohon-mohon.”
“Saya setuju.”
“Tapi saya tahu dia orang baik, hanya saja mungkin bukan jalan kami saja untuk bersama. Semoga kakakmu bisa berbahagia suatu hati nanti.” Harumi bangkit dan menarik tas yang ia letakan di atas meja. “Semoga skripsimu juga lancar Marni, sampaikan salam untuknya dan untuk Mamamu yang baik itu.”
Aku tergugu-gugu melihat ia berjalan menuju meja kasir dan pergi secepat mungkin. Aku tidak menyampaikan hal itu kepada Ibu sebab aku tahu bahwa pasti itu akan memberatkan hati Mario, hingga hari ini aku masih menyimpan rahasia pertemuan itu tapi aku pun semakin penasaran dengan pertentangan batin apa yang dialami oleh kakakku itu. Perkataannya tidak sama persis dengan Sembara tapi setelah aku pikir dengan seksama sekian tahun kemudian ternyata menyiratkan suatu kemiripan. Dan aku terlambat menyadarinya.
***
Aku lulus dengan nilai yang baik meski tidak mendapat predikat yang mentereng seperti Mario. Sebagai hadiah kelulusan Ibu mengizinkan sekaligus mengongkosiku berwisata bersama Sasa ke Taiwan. Waktu lima hari empat malam berlalu dengan cepat namun aku sungguh senang dan gembira. Puas karena makanannya benar-benar cocok dengan lidahku terutama susu pepayanya yang selalu aku beli begitu kami keluar dari hotel di pagi hari. Selama beberapa hari di sana aku merasa gizi yang hilang dari tubuhku selama proses penggarapan skirpsi yang membuat mulutku malas mengunyah terpulihkan sudah (meski tidak benar begitu adanya).
Pada salah satu malam rambut kami dicuci bersih dengan menggunakan teknik cuci rambut tradisioal Taiwan yang cukup aneh tapi cukup menyenangkan. Kami duduk di kursi salon dan tidak perlu membasahi rambut kami terlebih dahulu seperti biasanya di bak cuci untuk memulai keramas. Pertama pekerja salon itu memijat bahu kami yang tegang karena sudah keliling kota selama seharian lalu ia menuang sesuatu ke kepala kami melalui botol berisi cairan yang wanginya seperti sabun bayi dan setelah beberapa detik muncul busa di kulit kepala kami. Rambutku yang panjangnya hampir menyentuh pinggang tidak membuat pekerja yang cukup lancar berbahasa Inggris itu kerepotan, ia malah membentuk rambutku menjadi sebuah pita dengan bantuan busa. Aku tertawa, Sasa tertawa, kami senang sekali. Baru pada tahap akhir mereka menggiring kami pergi ke bak pencuci rambut. Setelah selesai anehnya kepalaku rasanya jadi lebih enteng dari pada sebelumnya, aku pikir itu pasti karena efek pijatannya yang benar-benar terasa mantap.
Sasa membeli beberapa buah kaleng bir, aku baru membuka satu kaleng ketika ia sudah hampir habis dua kaleng.
“Sejak kematian Hani ada malam-malam tertentu di mana aku sulit untuk memejamkan mata.” Ia menarik kursi dan duduk dengan kaki bersilang, memeluk lutunya dan memandangi lampu-lampu neon dan lentera di luar jendela kamar hotel kami.
“Hani sudah damai di sana, Sa.”