Karena aku sering menceritakan Maya kepada Ana dan begitu pula sebaliknya mereka pun saling berkenalan dan menjadi teman juga meski tidak sedekat dan seintim hubungan dua arah antara aku dan masing-masing dari mereka, namun mereka saling mengenal dengan cukup baik.
“Yang lucunya adalah Maya ternyata senior aku sewaktu di SMA dulu meski kami tidak saling kenal.”
“Ya, karena saat kamu masuk sekolah dia baru saja lulus.” Ucapku sambil memamah permen jeli.
Kami sedang piknik di Kebun Raya, alasan sebenarnya karena Ana memintaku menjemputnya pagi itu sedangkan aku sendiri sedang ikut kelas yoga bersama Maya, jadilah kami bertiga melipir sejenak sekaligus melepas penat di akhir pekan. Orang yang sedang kami bicarakan itu sedang mengungsi ke bawah pohon meranti dan sibuk dengan buku sketsa sedangkan aku dan Ana menerima curahan sinar matahari yang gratis sepanjang masa.
“Semalam katanya kamu mau cerita sesuatu, apa?”
Ana merogoh ke dalam bungkus permen jeli dan memencet-mencet beruang yang begitu manis itu, ia mengigit bibirnya kuat-kuat. “Masih ingat soal cerita ibu kandung Fani?”
“Tentu.”
“Ya, dia datang lagi. Kali ini dia mengatakan bahwa ia sedang sakit dan butuh pertolongan.”
“Seingatku Fani tidak mengambil jurusan kedokteran, untuk apa wanita itu mendatanginya? Mestinya ia pergi ke dokter.”
Ana masih memperminkan beruang malang itu dan sepertinya tanpa niatan untuk segera melumatnya, “Dia bilang bahwa karena Fani anaknya, harusnya Fani membantu biaya pengobatannya.”
“Tapi dia kan membuang Fani? Bagaimana bisa ia meminta hal seperti itu kepadanya?”
Ana mengangkat kedua bahunya, “Aku pun mengatakan hal seperti itu kepadanya tapi rupanya Fani memiliki pemikiran yang berbeda.”
“Maksudmu?”
Ana kembali mengangkat bahunya dan akhirnya beruang itu ia masuk juga ke dalam mulutnya. “Perempuan itu bilang bahwa ada tumor di kepalanya, usianya tinggal sebentar lagi dan karena ia sudah susah payah melahirkan Fani sudah semestinya anak yang keluar dari rahimnya berbakti kepada dirinya.”
“Tapi Fani juga tidak pernah meminta untuk dilahirkan olehnya bukan? Dan ia juga bukan ibu yang baik.” Ucapku dengan sebal. “Dan lagi pula Fani juga masih kuliah, dapat uang dari mana dia andai kata benar mau membantu wanita itu. Apakah Fani akan memberitahu orangtua angkatnya?”
Ana buru-buru menoleh ke arahku dan untuk sesaat melirik Maya yang jauh berada di sisi lain, bahunya tampak tegang. “Kamu tidak boleh memberitahukan kisah mengenai Fani ini kepada siapa pun Mar.”
“Iya aku paham.”
Wajah tegang Ana berlahan melemas begitu pula dengan kedua bahunya. “Mana mungkin ia memberitahu orangtuanya. Fani bilang dia akan mencari pekerjaan sambilan.”
“Apakah itu tidak akan menganggu kuliahnya? Dia kan calon arsitek, bukannya tugas sehari-harinya saja sudah banyak ya? Sering begadang untuk membuat maket hampir setiap minggu. Ya, setidaknya begitulah pengalaman kenalanku waktu kuliah dulu.”
“Aku tidak paham,” sahut Ana dengan lemah. “Fani bilang ia mau mengajaku bertemu dengan ibu kandungnya itu, aku jawab bahwa aku tidak tahu harus bersikap seperti apa di depannya nanti karena aku sudah mengenal orangtua angkat Fani dengan baik, aku seperti merasa berkhianat kepada mereka.”
“Kalau aku jadi kamu, aku pun akan jadi sangat bingung. Tapi apa Fani tidak tersinggung mendengar kamu berkata seperti itu?”
“Dia hanya diam tapi setelahnya ia membahas hal-hal yang lain.” Ana meremas plastik pembukus permen yang kini sudah kosong. “Aku ingin mengatakan sesuatu hal yang baik kepadanya, tapi aku tidak pernah berada di posisinya dan meskipun aku ingin ia membagi sebagian beban dan kegelisahannya padaku, aku tahu aku tetap tidak akan merasakan dan meresapi bahkan seperempat saja kesedihannya.”
Aku menatap air mancur di seberang kami, airnya menyembur tinggi hingga dua meter ke atas udara. Apa yang dikatakan Ana semestinya juga aku katakan kepada Sembara dulu, bila ia mendengarnya dari mulutku mungkin jalan hidupku akan berbeda dan aku bisa tetap memandingi wajahnya kini. Pada masa itu bayangan wajah Sembara masih menempel kuat di dalam kepalaku dan aku tahu dengan berlalunya tahun lama-lama wajahnya akan memudar dan mungkin sirna tapi tidak kesan yang ia timbulkan di dadaku. Betapa kehidupan adalah kerumitan tersendiri.
Maya datang dengan setengah berlari. Wajahnya seterang matahari di atas kami, ia memiliki wajah kotak dengan sudut rahang yang terlihat tajam, hidungnya ramping dan tinggi, matanya lebar dan dalam. Ia mengaku bahwa buyutnya diimpor langsung dari negeri Belanda pada masa pendudukan Hindia Belanda dulu.
“Kalian sedang merundingkan apa?”
“Yang pasti tidak sepenting Perundingan Linggarjati atau Renville.”
Maya menganggap jawabanku lucu jadi ia menyibak rambutnya dan tertawa ringan aja, buku sketsanya terbuka di atas rerumputan.
“Bakat menggambarmu boleh juga,” pujiku.
“Sayang aku tidak membawa cat air, kalau tidak, bisa langsung aku tambahkan warna dan hasilnya bisa lebih bagus lagi.”
Ana meminta izin untuk melihat buku sketsa dengan sampul kulit berwarna cokat tua, tampaknya buku sketsa itu sering digunakan dan lembar kosongnya hanya tinggal bersisa sedikit. Ana terperangah dengan apa yang dilihatnya.
“Bagus sekali Maya. Kota apa saja yang sudah pernah kamu gambar?”
Aku tahu sebenarnya Maya pasti sudah sangat ingin merokok dari tadi, ia mengetuk-ngetuk bungkus rokok ke atas sepatunya. Maya termasuk jenis manusia beradab, ia tahu dan sadar diri bahwa bila tidak sedang bersama sesama perokok baiknya tidak merokok, itu kode etik dan sopan santun tingkat tinggi yang hampir jarang sekali dimiliki oleh para perokok.
Maya menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan Ana, dengan jarinya yang ia cat berwarna kuning lemon ia menunjuk gambar pada halaman yang dibuka Ana. “Ini Sewaktu aku di Lisbon, atap-atap cantik berwana merah dan air laut berwarna pirus ini aku gambar saat berada di atas benteng kastil Castelo De S Jorge kasil yang dibangun pada masa pendudukan Islam oleh bangsa Moor, lalu ini…,” Maya membalik halaman, “Ini agak lucu sebenarnya, setidaknya bagi kita penduduk negeri-negeri yang pernah dijajah, korban dari kolonialisme. Namanya adalah Padrão dos Descobrimentos, monumen ini dibangun untuk mengenang kehebatan bangsa Portugis dan pejelajahan Vasco de Gama dan Ferdinand Magellan dalam membangun rute perdagangan tanpa menggunakan rute kafilah yang sudah digunakan sebelumnya dan memulai era kolonialisme negeri tersebut selama ratusan tahun.
“Kalau yang ini, kalau kalian pernah membaca novelnya Hemmingway, The Sun Also Rises kalian pasti tahu restoran ini! Dan hebatnya restoran ini sudah berdiri sejak tahu seribu tujuh ratusan, letaknya di pusat kota Madrid! Tapi aku sendiri tidak makan di sana sih, habis harganya lumayan mahal untuk ukuran kantongku saat itu.”
Aku memperhatikan gambar itu dengan seksama, sebuah sketsa yang barangkali ia gambar dari seberang jalan dan menampilkan muka sebuah restoran dalam bangunan yang tampaknya memiliki empat lantai (aku pikir begitu dari setiap tingkat balkon yang tergambarkan), di bagian bawah ada beberapa meja dan kursi makan tepat di dekat pintu masuk sedangkan bagian atasnya diberi penutup.
“Kalau ini, saat aku sedang berada di Saint Malo…,”
Aku dan Ana terus menyimak penjelasan Maya, ia membawa kami dari benua Eropa sampai ke Laut Mati di Jordan dengan hanya sesekali jeda utuk menarik napas.
“Mengapa tidak kamu protret saja?” tanya Ana.
“Tentu sudah aku potret juga tapi aku juga membuat sketsa begini, bagiku rasanya lebih personal dan jadi lebih melekat dalam ingatanku. Suasana dan nuansa itu penting.”
Maya hanya dua tahun lebih tua daripada aku tapi aku merasa pengalaman hidupnya sudah sangat jauh di atasku.
“Lalu habis ini kamu mau pergi ke mana lagi?” Ana masih menatap gambar buatan Maya yang menampilkan salah satu sudut kota Hanoi.
“Belum ada rencana atau tepatnya belum ada uang lagi,” katanya sambil terbahak. “Tapi aku ingin sekali mengunjungi benua Afrika, kalian mau ikut?”
Ana menoleh padaku, ia sebelas dua belas denganku tidak memiliki jiwa petualang apalagi jiwa yang liar, kami suka kehidupan yang teratur dan nyaman.
“Mau apa ke sana? Safari? Apa tidak takut dimangsa simba?”