Meraki, Sebuah Catatan Kehidupan

Dian Y.
Chapter #18

Reuni

Namanya Attila, seseorang yang begitu berbeda dengan diri Maya baik sikap ataupun pola pikir, dia dan Maya bagaikan air tawar dan air asin di muara sungai. Mereka bisa bersama, bersisian, tapi tetap berbeda dan sangat tampak berbeda dari sudut manapun aku mencoba mengamati mereka berdua. 

Attila tidak jelek, wajahnya memang tidak mirip dengan selebriti atau membuat orang terlalu nyaman untuk berlama-lama menatap wajahnya. Bukan karena ia memiliki bopeng atau cacat yang membuatnya menjadi tidak enak dipandang melainkan karena dengan mudahnya ia membuat lawan bicaranya merasa sungkan dengan sikapnya yang amat formal. Ia memiliki aura dan wibawa yang sangat kuat, diperkuat dengan suaranya yang teramat berat membuat aku merasa canggung sekaligus gugup setiap kali harus bertatapan wajah dengannya.

Attila memakai kaca mata berbingkai dan berkaca tebal. Wajahnya amat serius dengan bentuk rahang yang kuat dan menonjol tajam. Bibirnya kecil dan mungil seperti kuncup bunga tulip. Alisnya lebat dan membentang datar. Rambutnya lurus dan dan disemir dengan pomade hingga tampak sangat rapi. Bagian atas tubuhnya yang lebar menambah kesan tegas dirinya.

“Saya kira cukup pembahasan kita untuk acara lusa. Saya berharap semua akan berjalan lancar dan sekali lagi saya ingatkan loading barang dimulai dari jam sebelas malam.” 

Aku hanya mendengar secara sambil lalu perkataan bosku. Perhatianku sendiri sejak tadi terpaku pada wajah Attila. Harus aku akui lama-kelamaan dia terlihat tampan juga. Dan sejurus kemudian ia mentapku. 

“Betul Marni?”

Aku segera mengangguk meski tidak tahu apa yang dikatakan oleh bosku. Pokoknya pasti hal-hal yang berhubungan dengan acara amal yang akan kami adakan. 

Sekembalinya ke kantor ternyata Maya sudah menunggu di meja kerjaku, ia sedang mencoret-coret sesuatu di sticky notes akan tetapi ia langsung nyengir begitu melihatku. 

“Bagaimana?”

“Lancar-lancar saja, nanti kita semua meeting jam tiga.” Kataku mengingat pesan bos. 

“Bukan, bukan soal acara lusa. Tapi soal Attila.”

“Oh, sepupumu, Pak Attila. Ya seperti kemarin, dia setuju dengan proposal kita, ia menyediakan tempat dan kita menyiapkan artikel yang akan membahas tempatnya secara spesial.”

“Itu pun aku sudah tahu, semua orang di kantor ini juga sudah tahu perkara itu. Bagaimana menurutmu sepupuku itu?”

Pertanyaannya sangat aneh, sangking anehnya sampai keningku mengerut dalam. Aku baru bertemu Attila sebanyak dua kali, pertama untuk melakukan survei tempat dan mengajukan proposal dan yang kedua adalah barusan unuk menemani kepala redaktur meeting dengan Attila sebagai pemilik yang merangkap sebagai manajer juga.

“Profesional.” Aku tidak mungkin mengatakan bahwa sepupunya tampak memiliki cadangan keangkuhan di dalam saku celananya.

“Oooh,” Maya mengangguk-angguk saja seperti maneki-neko atau kucing hoki yang biasanya dipajang di atas meja kasir pada toko-toko milik orang Tionghoa.

Aku memijit-mijit pelipis saat melihat daftar selebriti yang akan menjadi pengisi acara dan barang-barang yang rencananya akan mereka lelang. Ada band Tiga Cerita, band yang sedang naik daun dan yang paling ditunggu-tunggu oleh para pembaca kami yang mayoritas perempuan, band beranggotakan tiga orang dengan vokalisnya bernama Priya, seniorku dulu sewaktu SMA. Priya berencana akan melelang jaket kulit miliknya. 

“Kenapa kamu? Migrain?” Maya menjawil lenganku. 

“Kebanyakan begadang sepertinya,” jawabku asal. 

Hanya kami yang masih duduk di ruang rapat, yang lain sudah kembali ke meja kerja atau sibuk mempersiapkan acara lusa. 

“Pantas matamu seperti mata panda. Kamu harus minta masker ke anak-anak yang menulis review produk, biasanya mereka punya beragam stok produk yang semuanya gratis sebagai ganti ulasan mereka. Minta saja, pasti diberi kok.”

“Iya nantilah, kamu sendiri bagaimana? Sudah selesai dengan cerpen dan cerbung bulan depan? Horoskop juga sudah?”

Ya, penulisan cerpen, cerbung dan horoskop semua ditangani oleh Maya karena bagi bos kami semua itu berada dalam devisi yang sama yaitu dunia fiksi. 

“Sudah, aku bilang bahwa bulan depan Taurus harus bersiap-siap menerima kejutan dan Capricorn harus bersikap lebih luwes terhadap kehidupan.”

Aku tidak memberikan komentar, waktu aku tahu bahwa rubrik horoskop ditulis berdasarkan hasil suka-suka saja aku kehilangan separuh kepercayaanku kepada dunia dan aku berhenti mempercayai ramalan bintang apa pun dan di mana pun. Padahal sebelumnya aku benar-benar membaca rubrik itu dengan perhatian penuh dan menjadi bahan untuk mawas diri. 

“Ngomong-ngomong kamu masih hutang satu cerita padaku.”

Alis Maya terangkat seolah-olah ia sedang menggali kotak ingatannya sendiri di kolam memori yang begitu dalam. 

“Oh!” serunya, “soal perceraianku ya? Akan aku ceritakan tapi selesai jam kerja saja, bisa panjang soalnya ceritanya.”

Aku setuju meski sebenarnya aku juga membayangkan sofa, selimut, es krim dan DVD film Matthew McConaughey dan Kate Hudson yang sudah aku beli selama berhari-hari yang lalu tapi belum juga sempat aku putar dan saksikan. 

Maya duduk di seberangku, ia sudah menyantap seporsi mi aceh dan kini tangannya masih sibuk menggerayangi roti cane yang mengkilat karena diperciki madu. Aku sendiri hanya memesan segelas teh tarik dan seporsi kue ade dan memakannya dengan amat perlahan. 

“Aku mengenalnya di pesawat sekembalinya aku dari Eropa. Sketsa-sketsa awal yang aku tunjukan padamu dan Ana itu adalah oleh-oleh dari perjalananku waktu itu, hadiah yang aku berikan pada diriku sendiri setelah wisuda. Aku tidak berniat jatuh cinta apalagi menikah dalam usia yang relatif sangat muda, aku hanya tahu bahwa aku akan menikah suatu hari nanti tapi tidak memiliki target kapan. 

“Dia duduk di sebelahku, tentu saja aku naik kursi kelas ekonomi dan aku benci duduk di dekat jendela jadi aku selalu memilih kursi yang dekat dengan jalan. Aku suka berpergian tapi juga benci sekaligus cemas saat berada di atas udara, aku selalu ingat peti mati orangtuaku. Cuaca Jakarta sangat buruk saat itu, pesawat mengalami turbulensi dan sulit untuk landing akibatnya kami berputar-putar di udara selama beberapa saat.

“Aku sudah mulai membayangkan neraka seperti yang digambarkan oleh Dante8, aku pikir habis sudah riwayatku. Aku akan bernasib sama dengan kedua orangtuaku. Aku mulai histeris, aku tidak sampai meraung-raung tapi tubuhku cemas dan mulai mencengram apa saja yang dapat aku cengkram termasuk tangannya, ia yang duduk pesis di samping kiriku. 

“Aku sama sekali tidak menyadari tingkahku, pikirku hanya mati, mati dan mati saja. Saat pesawat sudah menyentuh tanah dengan selamat baru aku menyadarinya bahwa aku sangat kacau dan laki-laki itu dengan sabarnya ia tersenyum dan terus memegangi tanganku sambil mengatakan, ‘sudah tidak apa-apa sekarang’ aku merasa malu sekaligus lega.”

Maya menyeruput kopi gayo dan menyisakan jejak bibir berwarna merah darah di cangkir yang berwarna putih itu. 

“Dia, dia sangat baik dan tampan. Aku selalu menyukai pria yang ramah dan mudah tersenyum tidak seperti sepupuku yang seperti burung hantu itu.”

Aku tersenyum dengan sopan meski kalau bisa aku ingin tertawa terbahak-bahak dan menyetujui ucapannya. 

“Yah, tapi kalau tidak ada Attila hidupku pun akan sulit, jadi maafkan aku Tila. Ok, kembali ke pokok cerita. Aku tidak akan menyebut nama pria itu lagi, aku sudah bersumpah pada diriku sendiri dan aku tidak akan melanggarnya untuk alasan apa pun.”

Aku mengangguk sebagai tanda bahwa aku paham dan juga maklum.

“Aku tidak mungkin membiarkan pria yang begitu baik itu lolos begitu saja, jadi aku meminta nomor ponselnya dan menghubunginya beberapa hari kemudian meskipun sebetulnya begitu keluar dari bandara aku ingin buru-buru menghubunginya tapi aku juga tahu bahwa laki-laki tidak boleh terlalu dikejar soalnya mereka kaum yang mudah besar kepala. Aku mengajaknya minum kopi aku bilang itu traktiranku sebagai tanda terima kasih. Dia setuju, kami bertemu dan semudah itu cinta mengetuk hatiku, begitu saja dia datang dan firasatku mengatakan bahwa aku harus hidup bersama dengan pria ini, jika tidak aku akan semakin menyesali keberadaanku dan ketidakbergunaan diriku di muka bumi ini. 

“Rupanya dia juga merasakan hal yang tidak jauh berbeda denganku atau setidaknya begitulah kiraku waktu itu, jadi kami mulai menjalin hubungan serius dan empat bulan kemudian ia melamarku. Om, Tante dan Attila menentang pernikahan itu, tapi aku memaksa. Aku muda, tolol dan terlalu mendalami kisah-kisah romantis. Aku menikah di catatan sipil hanya dihadiri oleh Attila yang juga hadir dengan setengah hati, sementara keluarga besarku yang lainnya tidak sudi. Kami menikah, minggu-minggu awal semua berjalan seperti dalam bayanganku. Inilah kehidupan penuh cinta yang aku idam-idamkan. 

“Aku memiliki harta warisan dari orangtuaku yang jumlahnya lumayan, cukup untuk membuat hidupku nyaman kalau aku mau hidup secara sederhana dan itu rencanaku sebetulnya, bekerja secukupnya dan berlibur secara sederhana dengan uang gaji dan hidup keseharianku dapat aku peroleh dari warisan itu. Tapi mantan suamiku itu meyakinkanku untuk melakukan investasi ke perusahaan yang sedang dirintisnya bersama temannya yaitu tempat gym bergaya modern. Ia sudah mendengungkan gagasan itu sejak pertama kali kami makan malam bersama sebetulnya tapi telingaku terlalu tuli dan mataku terlalu buta untuk dapat melihat apa yang sebenarnya ada di hadapanku.

“Dia mengambil seluruh harta peninggalan orangtuaku tentu dengan persetujuan manusia bodoh ini.” Maya menunjuk dirinya sendiri. “Itu tidak seberapa, ia juga menipuku. Aku sendiri yang memergoki ia sedang bercumbu dengan seorang pria. Ya, dia gay! Jadi aku dua kali tertipu olehnya. Kami bercerai dan aku menjadi si miskin yang…, yang menyedihkan. Dan begitulah penyesalan kedua terbesar dalam hidupku. Aku menyesal telah menikah dengannya dan meski aku tidak yakin apa pernikahan selama setengah tahun itu patut untuk disebut sebagai pernikahan.”

Maya menyibak rambutnya, ia sedang melamun. Aku tidak mengira perempuan cantik yang duduk di seberangku ini memiliki kisah hidup yang tragis. Pembawaanya yang ceria dan ceplas-ceplos bukan tidak mungkin hanya sebagai alibi untuk menutupi lara di dalam hatinya. 

“Laki-laki itu bajingan.”

“Ya, lebih dari bajingan kalau ada kata yang tepat menggambarkannya,” Maya terdiam. “Dia cocok dipanggil sebagai kutu busuk.”

“Ya, kutu busuk memang tidak ada kegunaanya.” 

Lihat selengkapnya