Mario baru saja berangkat ke Jepang beberapa pekan yang lalau tetapi Ibu sudah ribut membuat rencana untuk mengunjunginya pada musim panas nanti. Pandangan matanya sering terpaku ke kursi makan yang biasa diduduki Mario yang kini kosong melompong. Ibu ternyata bersikap lebih melankolis dari pada perkiraanku sebelumnya.
“Mama akhir-akhir ini sering melamun, sudah rindu sekali ya dengan Mas?”
“Memangnya kamu tidak?”
“Ya rindu, rasanya rumah kok jadi sepi ya? Ya, walaupun Mas Mario kalau di rumah pun jarang bersuara tapi tanpa kehadiran sosoknya tetap saja beda sekali rasanya. Seperti aneh dan ada yang kurang bahkan hilang.”
“Ya benar sekali, itu juga yang Mama rasakan. Tapi tidak mungkin juga bagi Mama untuk menahan Rio atau kamu bila kalian ingin pergi dan membentangkan sayap kalian. Kalian harus menjangkau dunia, kalian harus lebih baik dari pada Mama ataupun Papa.”
Aku mendengar baik-baik perkataan Ibu. Malam itu kami duduk di beranda tanpa mendengarkan musik, sesuatu yang berada di luar kebiasaan Ibu.
“Mama…”
“Hmm…”
“Kalau Marni tiba-tiba harus pergi ke luar kota atau negeri selama berbulan-bulan, apa Mama juga akan merindukan Marni?”
Ibu menatapku dengan tatapan kurang percaya tapi berangsur-angusur senyum keibuan terkebang di bibirnya.
“Cemburu ya ceritanya?”
“Ah enggak, Marni hanya ingin tahu saja Ma.”
“Ya tentu Mama akan rindu setengah mati, meskipun Mama katakan kalian harus menjangkau dunia tapi pasti nanti Mama jadi sulit tidur nyenyak kalau kamu mesti hidup seorang diri di negeri orang, jauh dari siapa-siapa dan bahkan tidak mengenal siapa-siapa. Kalau pun Mama bisa menolong tapi tidak akan segera, nah coba bayangkan andaikan kamu sendiri yang jadi seorang ibu dan memiliki seorang anak gadis di negeri rantauan kira-kira bagaimana perasaanmu sendiri?”
“Tentu Marni sulit untuk tidur nyenyak, andai kata ada yang jahil padanya dan melakukan sesuatu padanya, sesuatu yang fatal, bukannya dunia Marni juga akan ikut runtuh?”
“Nah, jiwa keibuanmu sudah keluar kalau begitu. Jadi kamu juga mau lanjut S2 atau mau menikah dulu?”
“Ah Mama ini apa sih, calonnya saja tidak ada.”
Bibirku pura-pura maju dan merengut. Di atas meja selain teh dan cemilan juga terpasang majalah Top Girl! Semenjak aku bekerja di sana Ibu selalu rutin membaca majalah tersebut dan bahkan juga ikut mempromosikan kepada teman-temannya yang sebenarnya berada di luar demografi pembaca majalah kami.
“Masa sih? Anak Mama cantik begini, masa tidak ada barang satu pria saja yang kepincut? Kok Mama sulit percaya ya?”
Aku mendesah, memang aku katakan bahwa aku sedang menutup pintu hatiku tapi bukan berarti di kantor atau lewat kenalan antar teman tidak ada yang berusaha untuk mengetuk atau bahkan membukanya dengan sedikit paksaan, namun aku masih bersikukuh untuk menahan handelnya agar tidak terbuka sampai aku yakin betul bahwa dia adalah orang yang tepat dan orang yang tepat mungkin hanya akan datang dalam kurung waktu sekali dalam sepuluh tahun, dua puluh tahun, tiga puluh tahun atau bahkan sekali dalam seumur hidup… aku jadi ngeri sendiri memikirkannya.
“Kan bukan masalah siapa yang kepincut dengan Marni, Ma. Tapi apakah kami sama-sama kepincut? Kalau cuma satu sisi saja apa bisa pernikahan menjadi bahagia?”
Ibu meletakkan jari telunjuk ke pipinya dan membuat ekspresi seolah-olah ia sedang terkejut.
“Astaga, anak Mama benar-benar sudah dewasa. Mama benar-benar sudah harus bersiap-siapa menuju fase kehidupan selanjutnya!”
“Fase apa itu?”
“Fase menjadi oma-oma,” jawabnya sembari tersenyum kecil. “Waktu cepat sekali berlalunya, tanpa terasa. Seolah-olah rasanya baru terjadi kemarin, kalian demam di tengah malam, berbarengan sampai Mama dan Papa harus membawa kalian berdua ke UGD. Kamu ingat?”
“Tidak.” Jawabku jujur.
“Ya, soalnya kamu baru dua tahun waktu itu. Sekarang kalian sudah besar-besar begini, sudah bisa cari uang sendiri. Dan rambut Mama sudah ubanan begini, kalau rambut Mama dicat merah kamu malu tidak?”
“Mengapa malu? Paling juga nanti Marni bingung kalau ditanya sama orang, itu mama atau kakak kamu Mar?”
Ibu tertawa renyah, “Ngomong-ngomong kok Ana jarang sekali ke sini Mar? Biasanya dia kan suka nginap di sini? Apa kuliahnya sibuk sekali?”
Senyumku surut dengan perlahan. Aku tidak tahu sesibuk apa Ana waktu itu akan tetapi bertambahnya kedekatanku dengan Maya juga sejalan dengan semakin berjaraknya hubungan aku dengan Ana. Bukan karena aku jadi berat sebelah tapi aku merasa Ana lah yang berusaha menghindari aku semenjak acara amal kemarin dulu itu. Memang tidak boleh berprasangka buruk tapi fikiran dan tebakan itu tidak mau juga hilang dalam benakku bahwa Ana tampaknya diberi tekanan oleh Fani agar menghindari aku dan aku tidak tahu mengapa mesti begitu.
“Sibuk Ma kan sudah mau skripsi, maklum dong kan Marni juga begitu dulu.”
“Ya, betul juga ya.”
Apa yang aku katakan itu termasuk kebohongan putih baik untuk aku ataupun untuk Ana, kalau aku katakan persoalan Ana dan kekasihnya tentu bisa menjadi bumerang tersendiri bagi sahabatku itu mengingat kedekatan Ibu dan Yangti. Tapi kini, aku menyesal tidak menceritakan yang sejujurnya pada Ibu karena mungkin akan membuka gerbang cerita kehidupan yang lebih baik bagi hidup Ana.
***
Kalau suasana hati sedang tidak karuan, aku memiliki kesenangan tersendiri. Berkeliling mal sampai kakiku lelah, kalau sudah begitu biasanya aku akan duduk di coffee shop dan memperhatikan kesibukan orang-orang. Tidak pernah sekalipun aku lelah untuk melihat kesibukkan mereka-mereka yang tidak aku kenali namanya. Aku suka mengarang-ngarang sendiri latar belakang kehidupan mereka dan alasan mengapa mereka bisa sampai ada di waktu dan tempat yang sama denganku, apakah mereka juga sering melamun dan mengandai-andaikan kehidupanku seperti aku melakukannya pada kehidupan mereka? Ya, aku rasa banyak juga orang yang melakukannya selain diriku, habis bukan hanya aku saja yang berpaku tangan di atas meja dan menyesap secangkir kopi itu dengan diirit-irit.
Selain melihat pakaian aku juga selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi toko buku, ada kesenangan tersendiri melihat buku-buku bersegel itu dijajar dengan apik di rak-rak buku. Kadang aku jadi terkenang dengan Rumah Baca yang kini bangunan rumahnya sendiri sudah dirobohkan oleh pemilik barunya, entah mau dibangun jadi rumah model apa tapi terakhir kali aku lewat pondasinya sudah digali.
Setiap kehidupan memiliki masanya masing-masing dan garis lama waktunya berjalan dapat aku pastikan bahwa hanya langit dan para malaikat saja yang tahu, masa Rumah Baca itu benar-benar sudah habis, tapi efek yang ditimbulkannya bagiku masih berlanjut hingga kini. Tertanam dalam benak dan keinginan terdalam pada diriku bahwa suatu hari nanti aku pun ingin memiliki suatu tempat baca seperti Rumah Baca itu, jadi aku pun mulai rajin untuk mengkoleksi berbagai macam buku dan mulai serius menjalani hobi membacaku lagi.
Aku suka menjelajahi rak demi rak di toko buku dengan santai, menarik satu buku dan buku lainnya dan membaca blurp dengan khidmat, aku dengar perlu keterampilan tersendiri untuk dapat menulis beberapa baris kalimat yang dapat memancing calon pembeli untuk membeli buku tersebut selain tentu saja desain sampul juga memiliki nilai dan peran jualan yang lumayan besar. Nama sang penulis juga menjadi faktor yang penting bagi calon pembeli untuk membeli atau membaca buku tersebut, seperti waktu itu aku tahu ada seorang penulis misterius yang namanya sedang diagung-agungkan di komunitas online dan rakan-rekan kerjaku, bahkan Ana pun pernah menyebut-nyebut namanya ketika ia belum memberi jarak.
Alfa Clara. Nama yang bagiku cukup sombong tapi aku tertarik juga membacanya dan berhubung dua novelnya masuk jajaran rak best seller. Saat aku pergi ke kasir aku menyadari bahwa lewat dua orang yang mengantri di depanku adalah Attila. Ia tinggi dan tentu saja lebih tinggi dari pada aku yang hanya sekitar seratus enam puluh tiga lewat sedikit. Aku maju mundur apakah harus menyapanya atau tidak tapi diluar hubungan profesional di waktu dulu itu ia juga sepupunya Maya, temanku yang rasanya tentu saja tidak sopan bila aku mengabaikannya begitu saja.
“Pak Attila?” sapaku saat ia baru saja selesai membayar.
Ia mengenakan kaos polo berwarna corporate gray dengan celana bahan berwarna hitam dan sepatu pantofel. Attila menoleh ia tidak lekas tersenyum malah seperti sedang mengingat-ingat siapa gerangan perempuan yang menyapanya itu dan apakah perlu ia memberi perhatian atau sebaiknya ia berbalik badan dan pergi begitu saja.
“Marni.”
Aku lega ia ingat siapa nama dan diriku, soalnya ada beberapa orang yang sudah mengantri di belakangku. Malu juga aku andai kata ia bertanya balik siapakah gerangan diriku ini dan apa perlunya aku menyapanya.
Diluar prediksiku ternyata Attila cukup ramah dan bisa tersenyum juga diluar kepentingan pekerjaan. Ia bertanya buku apa yang aku beli.
“Oh, novel. Aku belum pernah membaca novel penulis ini tapi aku dengar karyanya cukup bagus jadi aku tertarik dan juga ingin bisa membicarakannya dengan orang-orang. Kalau Pak Attila sendiri?”
“Cuma beli isi bulpen dan lem, kebetulan tadi pagi habis ketemu teman semasa SMA jadi sekalian jalan.”
Lalu aku tidak tahu apa lagi yang harus aku bahas dengannya jadi kami pun sama-sama pamit undur diri. Sebuah pertemuan yang janggal, aneh dan kaku. Lantas yang lebih aneh lagi mobil kami parkir bersebalahan di basement mal.
“Ah, ketemu lagi!” tanpa sadar aku menunjuk dirinya.
“Oh iya!” serunya.
“Kebetulan sekali! Sumpah loh saya gak sengaja parkir disebelah Bapak.” Kataku dengan bercanda. “Apalagi sampai membuntuti Pak Attila.” Aku sendiri tidak tahu mengapa aku berkata demikian.
Attila menengok ke belakang dua kali, mungkin ia sungguh takut bahwa benar-benar ada orang yang membuntuti dirinya dan mobil pabrikan Amerika yang dikendarainya.
“Ya, memang sebaiknya kita lebih hati-hati zaman sekarang. Banyak orang jahat, baik yang kita kenal atau tidak kenal.”
“Iya benar, setuju.”
“Ingat kasus Munir9? Itu bisa kita jadikan contoh.” Attila berbicara dengan suara relatif kecil. “Racun bisa ditaruh di mana saja. Bayangkan arsenik!”
Bagiku itu sangat lucu, tentu bukan karena meninggalnya sang aktivis tapi pembiacaraan Attila yang tiba-tiba mengarah ke sana dan ekspresi ngerinya yang tampak sungguhan.
“Iya saya juga baca perihal itu di koran Pak.”
Attila membenarkan letak kacamatanya yang agak melorot, terdiam sebentar seperti sedang memikirkan sesuatu, “Tolong jangan panggil bapak, Attila saja.”
“Ok, Attila.” Meski agak aneh memanggil namanya begitu saja tapi aku tetap memaskan lidahku. “Ngomong-ngomong Maya ke mana ya? Dari pagi kok gak balas sms aku?”
“Dia ada di rumah, sewaktu aku pergi tadi ia masih tidur tampaknya.” Suara Attila sudah kembali normal.
“Loh?” sekonyong-koyong aku jadi bingung sendiri. “Memang Pak… Eh, Attila tinggal di apartemen yang di Simprug itu juga?”
“Loh kok kamu tahu?” tanyanya dengan terperanjat.
“Soalnya kadang aku mengantar jemput Maya pulang ke apartemen itu.”