Yangti meninggal setelah mengalami sesak napas, kami membawanya ke rumah sakit dan ia sempat mendapatkan pertolongan pertama meski itu hanya memperpanjang nyawanya selama beberapa jam saja. Ia memang memiliki riwayat penyakit jantung dan asma. Ana dijemput oleh sopir Ibu dan segera saja anggota keluarga yang lainnya pun datang satu persatu. Pemakaman diadakan beberapa hari kemudian dan selama itu aku tidak melihat kehadiran Fani sama sekali, mungkin ia takut karena ada orangtua Ana.
Ana terus menangis selama berhari-hari, aku berusaha menghiburnya, semampuku.
“Bagaimana perasaanmu hari ini?”
“Lebih buruk dari pada hari kemarin.” Ana menutup laptopnya dan memutar tubuhnya ke arahku. “Aku baru saja bertengkar dengan orangtuaku, beberapa jam yang lalu. Mereka berkata bahwa selesai kuliah aku harus kembali ke kampung, aku bilang aku tidak mau, aku mau di sini saja, mengurus rumah ini atau bahkan mengurus bisnis katering Yangti. Sepupu-sepupuku mengatakan bahawa bisnis katering itu akan diurus oleh keluarga besar, tapi aku tidak yakin begitu. Orang suka abai terhadap yang masih hidup tapi begitu yang hidup itu sudah meninggal dan meninggalkan harta semua mendadak menjadi begitu peduli dan merasa dekat dengannya.” Kata Ana dengan getir.
“Bukankah idemu itu baik sekali? Mengapa orangtuamu bisa sampai tidak menyetujuinya?”
Aku sudah dapat meraba alasan orangtua Ana dan terutama ayahnya namun aku ingin mendengarnya sendiri dari mulut Ana.
“Mereka berpikir bahwa semua gara-gara Fani, agar aku bisa tetap dekat dengannya.” Ucap Ana dengan wajah muram.
“Tapi kan Fani ada di Bandung?”
Ana mentapaku dengan tatapan tidak percaya lalu ia menghela napas. “Aku lupa bercerita padamu bahwa ia sudah berhenti kuliah. Dia pekerja penuh waktu sekarang, di Jakarta. Di kantor milik ayah temannya.”
“Tapi dia kan belum lulus kuliah?”
“Tanpa gelar bukan berarti dia tidak bisa mencari nafkah. Banyak orang hebat juga tidak memiliki gelar setinggi langit.” Jawab Ana dengan sengit.
“Bukan begitu maksudku, hanya saja dia sudah susah payah masuk ke universitas negeri dan sekarang ia malah menyerah begitu saja. Apa orangtua angkatnya tidak berusaha mencegahnya?”
Ana terdiam dan menggigit birbirnya lalu mendesah. “Aku tidak tahu mengapa jadi begini.”
“Apanya yang jadi begini An?”
Ana kembali mendesah, aku tidak pernah melihat ia selelah, sesedih dan semenderita itu.
“Orangtua Fani akhirnya tahu mengenai wanita itu, karena selama satu semester kemarin ia tidak masuk kuliah sama sekali, uang kuliahnya ia berikan kepada ibu kandungnya. Fani disidang, orangtua angkatnya tidak senang kalau ia menjalin hubungan dengan ibu kandungnya sendiri dan Fani keberatan, ia memberontak hingga akhirnya orangtuanya memberi pilihan, lanjut bersama mereka atau ia boleh benar-benar kembali ke ibu kandunganya. Fani memilih pilihan yang terakhir. Ibunya…, maksudku ibu angkatnya datang menemuiku untuk meminta tolong menyadarkan Fani, begitu yang ia katakan padaku dan aku berusaha untuk tidak memihak tapi Fani mengancam kalau aku tetap berkontak dengan orangtua angkatnya kami akan putus… Dan tiba-tiba sekarang Yangti pergi…,” bahu Ana mulai naik turun, banjir air mata segera terjadi. “Di saat aku benar-benar membutuhkannya dan di saat aku bahkan belum bisa membalas semua jasa-jasa dan kebaikannya…, oh Tuhan kenapa ini semua harus terjadi di saat bersamaan.”
Aku mendekapnya erat-erat dan ia juga memelukku sampai-sampai tulang rusukku seperti terdesak.
“Aku menyesal tidak melewatkan lebih banyak waktu bersama Yangti, Mar. Andaikan menit-menit yang sudah terajut dapat kita urai kembali.”
Aku membiarkan Ana berbicara apa saja yang ingin dicupakannya tanpa menyela, aku paham sekali saat sedang berduka kita tidak membutuhkan tanggapan, kita hanya ingin dan butuh bahu dan pelukan hangat dari seseorang yang kita kenal dengan baik.
Saat pelukan Ana merenggang dan tangisanya mulai mereda aku menghapus jejak air mata di pipinya.
“Kamu sudah mencurahkan semua air matamu sejak hari kemarin. Sudah cukup, Yangti pasti ingin kamu kembali tersenyum dan menyelesaikan kuliahmu, itu yang utama sekarang.”
“Tapi aku juga tidak mungkin berpisah dengan Fani, Mar. Tidak mungkin dan tidak boleh ada yang memisahkan kami.” Ucap Ana dengan tegas dan setengah menyentak.
Aku tertegun dengan keteguhan pendiriannya yang juga berarti bahwa ia siap melawan semua kehendak orangtuanya. Dia bukan seperti Ana yang manis yang aku kenal selama ini.
“Tapi kamu tahu konsekuensinya bukan?”
Ana kembali menggigit bibirnya, “Aku akan mencari cara agar Bapak dan Bunda mau menerimanya.”
“Mengapa bukan Fani saja yang mencari cara?” kataku dengan jengkel.
“Kamu tidak tahu Mar! Kamu tidak paham!” Ana berdiri dan memeluk dirinya sendiri. “Kamu tidak akan paham kesusahan dan penderitaanya, orang-orang menutup mata padaya.”
“Itu tidak ada hubungannya dengan kesedihannya An, kalau dia memang serius denganmu harusnya ia yang berusaha mati-matian untuk meluluhakan hati Om dan menyakinakan kedua orangtuamu bahwa apa pun yang melekat di masa lalunya bahkan dirinya bukanlah seperti dugaan orangtuamu dan ia bisa menjadi laki-laki yang tepat untukmu! Bukannya kamu yang harus terus-terusan memaklumi dan menutupi segala kekurangannya.”
“Jangan berbicara seolah-olah hanya Fani saja yang memiliki kekurangan, semua orang juga punya Mar. Aku, orangtuaku dan bahkan kamu sendiri! Semua orang tidak luput dari kekurangan.”
Tangis Ana sudah sepenuhnya sirna digantikan dengan letupan emosi yang tidak aku duga-duga akan datang. Rupanya topik apa pun mengenai Fani kini mudah membangkitan keganasan dalam diri Ana.
Aku sudah cukup dewasa untuk memahami jika ada yang marah maka harusnya diri kitalah yang mengerem dan menahan panas di dada bila tidak ingin perang terjadi, tetapi hari itu dadaku kelewat panas dan mulutku pun begitu gatal ingin menyuarakan isi hati yang sudah lama ingin aku sampaikan padanya.
“Jatuh cinta boleh tapi buta jangan An.”
“Omong kosong! Kamu sama sekali tidak berhak bicara seperti itu padaku Mar! Memangnya kamu sudah bisa melupakan Sembara? Kenapa selama ini kamu masih bentah sendiri? Itu karena kamu belum bisa melepaskan bayangannya bukan? Kamu belum mau melepaskan imajinasimu sendiri mengenai dirinya. Cintamu padanya yang bertepuk sebelah tangan itu juga buta!”
“Jangan sok tau dan mau ikut campur dengan urusanku.”
“Dan sebaiknya kamu pun begitu.” Ana bertolak pinggang dan kilatan matanya itu sesuatu yang baru aku lihat ada dalam dirinya. Mata yang indah itu memandangku serupa dangan cara seseorang menatap musuhnya. “Kamu tidak berhak mengomentari Fani sama seperti dengan orang-orang lain. Kalau kamu sungguh sahabatku kamu semestinya membantu aku bukannya malah menyudutkan kami!”
“Astaga siapa yang menyudutkan kalian?” bentakku. “Kamu yang sudah tidak bisa berpikir dengan jernih! Kalau dia benar-benar mencintaimu dia akan memperjuangkan dirimu mati-matian dan mengusahakan dirinya agar layak di mata orangtuamu bukannya sebaliknya! Membuat kamu menjadi jauh dengan orangtuamu sendiri, dengan aku dan bahkan dengan Yangti!”
Aku tidak menyadari bahwa ucapanku ternyata benar-benar mengenai inti kekesalannya hingga ia menamparku. Rasanya tidak sakit, setidaknya tidak langsung terasa yang terasa adalah rasa kaget yang segera memenuhi sel-sel tubuhku. Aku terdiam dan bahkan tidak mengedipkan mata selama beberapa detik sampai perih mulai terasa di pipiku seperti sebuah sengatan yang sangat berancun. Tamparan Sani dulu tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan torehan yang dibuat oleh Ana.
Ana memandangi telapak tangannya sendiri, ia tampak seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan padaku.
“Aku tidak percaya ini….” Aku mulai memegang pipiku, sakit ketika aku berbicara tapi aku terus berbicara sekaligus untuk menahan sakit pada dadaku. “Aku tidak menyangka kamu sejahat ini padaku.”
Aku bisa melihatnya secara jelas, Ana ketakutan. Ia memegang tangan yang sudah melukai wajahku seolah telapak tangan itu bukan bagian dari anggota tubuhnya sendiri.
“Maaf,” ucapnya dengan suara nyaris tidak terdengar.
Aku mengeleng dan aku segera berlari meninggalkan kamar Ana. aku berpapasan dengan kedua orangtua Ana yang ternyata sudah berdiri di pucuk tangga, melihat aku yang terluka dan hancur, mereka sudah bersiap bertanya padaku tapi aku memilih membisu dan berlari pulang.
Pertengkaran antara aku dan Ana rupanya juga menjadi pembicaraan antara orangtua kami. Malamnya aku tidak turun ke ruang makan tapi aku tahu bahwa orangtua Ana datang untuk menemui Ibu, aku tidak tahu apa isi percakapan mereka tapi sebelum aku tidur pintu kamarku diketuk dengan pelan. Ibu masuk membawa segelas susu hangat dan memelukku.
“Kalau perut terlalu kosong akan sukar tidur dan bila hati gelisah hanya musik yang sejatinya bisa menjadi teman penghibur hati.” Ibu mengeluarkan iPod generasi keempat dari saku celana. “Mama masih ada pekerjaan, kalau butuh apa-apa Mama ada di ruang kerja.”
Ibu menyentuh wajahku dengan sangat berhati-hati, aku tahu bahwa kulitku sudah tidak merah dan aku menduga itulah yang menjadi pembicaraan antara Ibu dan orangtua Ana tadi. Ibu mengecup dahiku lebih lama dari biasanya lalu ia pergi dengan menutup pintu kamar dengan sangat berhati-hati seolah-olah aku menderita gangguan jantung yang tidak boleh dibiarkan kaget sedikitpun.
Malam itu aku bisa tidur berkat musik-musik yang disimpan Ibu di ipod-nya yang tentu saja kebanyakan musik klasik. Malam itu perasaanku hancur sekaligus aku bertanya-tanya akan seperti apakah hubunganku dan Ana kedepannya.
***
Meski aku ingin tampak biasa saja tapi nyatanya aku tetap muram dan tetap gelisah. Aku mulai mengulang-ulang pembicaraan dengan Ana di dalam kepalaku, mulai mencari-cari kesalahan terhadap diriku sendiri dan berpikir bahwa sebaiknya aku bicara begini atau begitu dengannya waktu itu.